♦ 15 Juli 2010 “Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.” “Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang bertubuh tinggi kekar itu. “Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan.” “Itulah yang sangat licik,“ berkata orang yang lebih tua itu, “ia ingin berlindung di belakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali di leher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya.” Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Bagaimanapun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi.” Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, “Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan Kakang itu.” Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, “Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?” Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, “Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali.” “Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu,“ sahut Ki Suracala. Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, “Pergilah! Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawaban dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak Kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa cerita panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, “Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?” “Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti.” “Terima kasih, Ki Suracala,“ sahut Glagah Putih, yang kemudian berkata selanjutnya, “jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada Paman Argajaya.” Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya. Ternyata laki-laki yang berwajah garang itu masih mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka iapun telah menceritakannya kepada laki-laki yang masih terhitung muda itu. “Memang mencurigakan,“ berkata laki-laki muda itu, “tetapi perempuan itu cantik sekali. Menurut penghitunganku, lebih cantik dari kanthi.” Orang yang bertubuh pendek itu pun berkata, “Kau selalu mengatakan perempuan yang kau lihat lebih cantik dari perempuan yang sebelumnya pernah kau kenal. Kau juga mengatakan bahwa Kanthi lebih cantik dari istrimu ketika itu.” “Aku koyak mulutmu,” geram laki-laki muda itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi ia pantas dicurigai jika kemarin ia sudah lewat di depan regol halaman ini. Apalagi dengan pakaian keseharian. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu.” “Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya orang yang berwajah garang. “Kita harus mengetahui, apa maksud kedatangannya kemarin,“ berkata laki-laki muda itu, “kita akan menemui mereka di bulak pategalan.” Kedua orang yang lain tidak menjawab. Demikian laki-laki muda itu bergerak, keduanya pun ikut pula bergerak. Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Mereka menelusuri jalan yang kemarin mereka lalui. Tetapi mereka tidak sempat sampai ke simpang tiga tempat mereka menunggu Kanthi sambil membeli dawet cendol. Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka mereka telah berjalan di tepi sebuah bulak yang tidak terlalu luas. Sebuah jalan simpang berbelok ke kiri. Jalan itu agaknya juga menuju ke sungai, lewat pategalan yang agak luas yang sedang ditanami ketela pohon yang tumbuh di sela-sela pohon buah-buahan. Glagah Putih dan Rara Wulan mulai tertarik melihat tiga orang berdiri di mulut lorong. Nampaknya mereka memang sedang menunggu. Bahkan Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Kau kenal salah seorang dari mereka?” “Ya,” jawab Rara Wulan, “orang yang kemarin berada di regol halaman ketika perempuan yang mencari Kanthi keluar dari halaman rumah Ki Suracala.” “Berhati-hatilah,“ berkata Glagah Putih, “nampaknya mereka bukan orang yang ramah.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Untung kita tidak mengikuti jalan pikiran Kakang Agung Sedayu.” “Tetapi Kakang Agung Sedayu dapat mengerti bahwa kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.” Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab, karena mereka menjadi semakin dekat dengan ketiga orang itu. Sebenarnyalah, ketika mereka lewat di depan mulut lorong itu, laki-laki muda salah seorang dari ketiga orang itu berkata dengan nada keras, “Berbeloklah. Jangan macam-macam, agar kami tidak menyakiti kalian.” “Berbelok kemana?” Rara Wulan-lah yang bertanya, “kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Aku tidak peduli kalian akan pergi ke mana. Tetapi berbeloklah. Kita akan berbicara di pategalan.” “Kami harus segera pulang, Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian. “Aku tidak mau mendengar jawab kalian. Aku perintahkan berbelok. Lakukan, atau kami akan melakukan kekerasan.” Glagah Putih yang sudah berdiri di sisi Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ketiga orang itu bersungguh-sungguh ingin memaksa mereka membelok mengikuti lorong itu. Glagah Putih sempat memperhatikan jalan yang dilaluinya. Beberapa orang lewat memperhatikan mereka. Agaknya mereka mengira bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu bertemu dengan kawan-kawannya, sehingga keduanya berhenti sejenak untuk berbincang-bincang. “Cepat,” geram orang yang masih terhitung muda itu. Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun ternyata Rara Wulan-lah yang menjawab, “Baiklah. Kami akan berbelok. Tetapi kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami minta apa yang ingin kalian katakan, cepat katakan.” “Berbeloklah. Berbelok masuk ke dalam lorong. Jangan berbicara saja di situ.” Orang itu nampak tidak sabar lagi. Rara Wulan dan Glagah Putih memang tidak berbicara lagi. Keduanya pun kemudian berjalan memasuki lorong kecil menuju ke pategalan. Semakin dalam mereka memasuki lorong kecil itu, terasa bahwa lingkungannya menjadi semakin sepi. Lorong itu menjadi semakin sempìt dihimpit oleh pagar pategalan. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka tahu bahwa ketiga orang itu tentu bermaksud tidak baik atas diri mereka berdua. Sebenarnyalah, ketika mereka menjadi semakin jauh dari jalan yang cukup ramai itu, orang yang masih terhitung muda itu dengan serta merta lelah menangkap lengan Rara Wulan dan menariknya lewat pintu pagar, masuk ke pategalan yang sedang ditanami ketela pohon di sela-sela pohon buah-buahan itu. “Jangan ribut,” geram orang itu. Rara Wulan terkejut. Ia memang tersentak ke dalam pategalan dan segera menyeruak di antara batang-batang ketela pohon yang berdaun rimbun. Tetapi Raia Wulan itu berusaha mengibaskan tangannya. Selangkah ia mundur sambil berkata lantang, “Apa artinya ini?” Orang yang masih terhitung muda itu memandangnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang kawannya, “Kendalikan anak muda itu. Aku akan menjinakkan gadis ini.” Wajah Rara Wulan menjadi merah. Namun orang itu berkata, “Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan di sini berdua.” “Kami datang untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya, bahkan sore nanti Paman akan mengirimkan utusannya untuk menemui Ki Suracala,” jawab Rara Wulan lantang. “Bohong,“ sahut orang itu, “jika demikian, kenapa kemarin kau juga datang kemari?” Tetapi ternyata Rara Wulan cukup tangkas untuk menjawab, “Kami belum pernah melihat rumah Ki Suracala. Karena itu kami harus mencari dan menemukannya lebih dahulu. Baru kemudian kami datng untuk menemuinya.” Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Aku tidak percaya. Jika demikian, kenapa kemarin kau memakai pakaian yang berbeda sama sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang?” “Bukankah kemarin kami hanya sekedar mencari untuk mengetahui letak rumah Ki Suracala? Nah, sekarang kami akan datang menemuinya. Bukankah kami harus berpakaian lebih sopan?” “Kau tidak dapat membohongi aku. Kalian berdua tentu mempunyai maksud tertentu. Nah, sebelum kau mengatakannya, maka kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan tempat ini,“ berkata orang itu. “Aku tidak dapat mengatakan yang lain,” jawab Rara Wulan. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Ia berkata sebenarnya.” “Diam kau!” bentak orang itu, “Aku tidak bertanya kepadamu. Tetapi aku bertanya kepada gadis ini.” Glagah Putih hanya menarik nafas panjang, sementara itu dua orang yang lain bergeser mendekatinya dari kedua sisi. Orang yang masih muda itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita berbicara di gubug itu.” “Tidak,“ sahut Rara Wulan. “Kau tidak dapat menolak,“ berkata orang itu. “Tidak ada lagi yang akan dibicarakan,” jawab Rara Wulan. “Masih banyak yang dapat kita bicarakan. Mungkin persoalan yang lain yang tidak menegangkan,“ berkata orang itu. “Tetapi siapakah sebenarnya kau? Apakah kau berkepentingan dengan persoalan yang sedang dibicarakan antara keluarga Paman Argajaya dan Ki Suracala?” “Tentu. Aku keluarga dekat Paman Suracala,” jawab orang itu. Wajah Rara Wulan berkerut. Orang itu menyebut Paman pada Ki Suracala. Karena itu, tiba-tiba saja Rara Wulan teringat kepada anak sepupu Ki Suracala. Bahkan hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kau saudara misan Kanthi? Anak saudara sepupu Ki Suracala?” Wajah orang itu menjadi merah justru karena Rara Wulan menyebut nama Kanthi. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ya. Aku saudara misan Kanthi. Karena itu, aku berkepentingan dengan persoalan yang terjadi di rumah Paman Suracala.” Wajah Kara Wulan menegang. Demikian pula Glagah Putih. Ternyata mereka berhadapan dengan orang yang licik tetapi buas seperti seekor serigala. Pertemuan yang tidak terduga itu membuat jantung Rara Wulan bergejolak. Ia mulai membayangkan nasib Kanthi yang tidak menentu. Sebagai seorang gadis, maka Rara Wulan dapat membayangkan derita yang disandang oleh Kanthi, sementara Kanthi tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkannya. Selagi Rara Wulan merenung, maka orang itu telah memegang pergelangan tangan Rara Wulan sambil berkata, “Marilah, kita berbicara di gubug itu. Kita akan dapat berbincang tanpa ketegangan, serta tidak akan terganggu oleh siapapun juga.” Ternyata Rara Wulan tidak menolak. Ketika orang itu menarik tangannya, Rara Wulan mengikuti saja tanpa melawan. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tahu maksud Rara Wulan. Dan itulah yang dicemaskan oleh Agung Sedayu, justru Rara Wulan tidak berusaha menghindarinya. Tetapi Glagah Putih sendiri bahkan sependapat dengan Rara Wulan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Bahkan iapun telah berjalan pula mengikuti Rara Wulan yang tangannya masih saja ditarik oleh orang itu. Sambil berjalan Rara Wulan sempat berkata, “Siapa namamu, Ki Sanak?” “O,” orang itu tergagap, “namaku Wiradadi. Kenapa?” “Tidak apa-apa,” jawab Rara Wulan, “aku hanya ingin tahu.” Wiradadi tidak berbicara lagi. Ia berjalan semakin cepat sambil menarik tangan Rara Wulan. Kesannya memang sangat tergesa-gesa, sehingga Rara Wulan harus berlari-lari kecil. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka memang terdapat sebuah gubug yang tidak terlalu kecil. Di bawah sebatang pohon belimbing lingir yang besar dan berbuah lebat. Di depan gubug itu terdapat tanah yang luang, seakan-akan merupakan halaman bagi gubug itu. “Marilah. Kita akan berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi. Rara Wulan tidak menjawab. Ia berjalan saja di belakang Wiradadi, sementara orang itu masih memegang pergelangan tangannya. Di halaman yang sempit itu Wiradadi berhenti sejenak. Sambil berpaling ia berkata kepada kedua orang kawannya yang berjalan di sebelah-menyebelah Glagah Putih, “Biarlah anak itu menunggu aku diluar. Aku akan berbicara dengan gadis ini tanpa diganggu oleh siapapun juga.” Kedua orang itu dengan serta-merta telah memegangi lengan Glagah Putih sebelah-menyebelah pula. Orang yang berwajah garang itu berkata, “Berhenti. Kau tunggu di sini.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memang berhenti. Dipandanginya saja Rara Wulan yang masih saja dibimbing oleh Wiradadi menuju ke pintu gubug kecil itu. Namun ketika mereka sampai di halaman kecil di depan gubug itu, maka Rara Wulan tiba-tiba berhenti sambil mengibaskan tangannya. Demikian tiba-tiba sehingga pegangan Wiradadi pun telah terlepas. “Kenapa?“ berkata Wiradadi. “Kita dapat berbicara di sini,“ berkata Rara Wulan. “Tidak,” jawab Wiradadi, “kita berbicara di dalam.” “Sama saja,“ berkata Rara Wulan kemudian, “di sini pun kita dapat berbicara dengan tenang tanpa ketegangan. Nah, katakan, apa yang akan kau katakan.” “Tidak. Aku akan mengatakannya setelah kita duduk di dalam. Di dalam gubug itu ada sebuah amben bambu, yang di atasnya digelari pandan yang bersih,“ berkata Wiradadi. “Tidak banyak yang akan kita bicarakan. Bicaralah di sini,“ sahut Rara Wulan. “Tidak, Anak Manis. Marilah kita berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi sambil menggapai pergelangan tangan Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan melangkah surut sambil berkata, “Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan berbicara di sini.” “Kau jangan keras kepala. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau hanya dapat melakukan perintahku.” “Aku dapat berteriak,“ berkata Rara Wulan. Tetapi Wiradadi tertawa. Katanya, “Kita ada di tengah-tengah pategalan. Seandainya kau berteriak sekeras guntur di langit, maka tidak akan ada yang mendengarnya.” “Jika demikian, tempat ini baik sekali bagiku. Jika kau nanti berteriak-teriak minta tolong, maka tidak akan ada orang yang mendengar dan datang menolongmu,“ berkata Rara Wulan. Dahi orang itu berkerut. Namun kemudian ia bertanya, “Apa yang kau katakan?” “Tempat ini merupakan tempat yang baik untuk menghukummu. Seandainya kau berteriak-teriak memanggil orang-orangmu, maka mereka tentu tidak akan mendengar,” jawab Rara Wulan. Orang itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Rara Wulan berkata, “Wiradadi. Aku-lah yang akan menghukummu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasku di gubug itu. Karena itu, maka kau harus dihukum. Juga tingkah lakumu yang tidak tahu diri.” Glagah Putih yang sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Rara Wulan justru mendahului, “Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya. Itu saja. Karena itu, maka kami tidak mempunyai kepentingan yang lain di sini.” Wiradadi memang menjadi bingung. Justru karena itu, untuk sesaat ia terdiam. Sementara Wiradadi kebingungan, maka Glagah Putih pun berkata, “Karena itu, kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa di sini. Dengan demikian, maka biarkan kami pergi.” Ki Wiradadi memang seperti orang mimpi. Namun ia masih juga berkata, “Kalian tidak boleh pergi. Aku memerlukan gadis ini.” Lalu katanya kepada kedua pengikutnya, “Jaga anak itu.” Tetapi Wiradadi itu menjadi kebingungan lagi ketika Rara Wulan berkata sambil bertolak pinggang dan menunjuk ujung ibu jari kakinya, “Wiradadi. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan memohon ampun atas perlakuan gilamu terhadapku.” Wiradadi justru terdiam. Dipandanginya wajah Rara Wulan. Gadis itu memang cantik, tetapi Wiradadi jadi berpikir lain. Apakah mungkin gadis itu syarafnya agak terganggu? Sementara itu Rara Wulan berkata lagi. Lebih keras, “Cepat. Berjongkok di hadapanku dan mohon ampun. Jika pikiranku berubah, aku tidak akan memberimu ampun lagi.” Wiradadi tidak mau membiarkan dirinya kebingungan. Karena itu, maka iapun menggeram, “Gila. Jadi kau gadis yang begitu mudah kehilangan akal dan bahkan terganggu kesadaranmu?” “Aku tidak peduli. Lakukan perintahku sebelum kau menyesal,“ berkata Rara Wulan. “Persetan,” geram Wiradadi. Namun kemudian iapun berkata, “Aku tidak peduli bahwa kau gila. Tetapi kau gadis cantik. Mari, ikut aku. Masuk ke dalam gubug itu.” Namun Wiradadi terkejut. Ternyata Rara Wulan sudah menampar mulutnya. Wiradadi mengumpat kasar. Namun ia menjadi semakin bingung ketika ia melihat Rara Wulan yang marah itu menyingsingkan kainnya sambil bergeser mendekat. “Agaknya gadis ini benar-benar gadis gila,“ berkata Wiradadi di dalam hatinya. Namun Wiradadi itu kemudian menyadari jenis gadis yang dihadapinya ketika kemudian ia melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dipakai di bawah pakaian luarnya. Wiradadi melangkah surut. Sementara Rara Wulan berkata, “Aku memang ingin mendapat kesempatan seperti ini Wiradadi. Aku datang sekedar melakukan tugas kami, diutus oleh Paman Argajaya. Namun ternyata bahwa kau bersikap seperti seekor srigala. Tingkah lakumu yang liar itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi atas Kanthi.” “Sudahlah,“ berkata Glagah Putih yang kedua lengannya masih dipegang oleh kedua orang pengikut Wiradadi, “kita tidak perlu memperpanjang persoalan ini.” Lalu katanya kepada Wiradadi, “Ki Sanak. Biarkan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita anggap bahwa tidak ada persoalan di antara kita.” Tetapi Rara Wulan menyahut, “Ia sudah menghina aku. Aku tidak mau begitu saja berlalu tanpa memberikan hukuman kepadanya sesuai dengan kesalahannya.” “Gila. Kalian memang gila,” geram Wiradadi, “kau kira kami ini, apa he? Dengar, kalian akan menyesal karena kesombongan kalian. Apapun yang akan terjadi kemudian atas kalian, maka itu adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri.” “Aku juga akan berkata seperti itu,“ jawab Rara Wulan, “apapun yang akan terjadi atasmu, itu adalah akibat dari kegilaanmu sendiri.” Kesabaran Wiradadi benar-benar sudah sampai ke batas. Perempuan cantik itu sudah keterlaluan. Bahkan ia sudah menampar pipinya pula. Karena itu, maka ia tidak mau lebih banyak berbicara lagi. Ia akan menundukkan gadis itu dan memperlakukannya menurut keinginannya. Maka iapun segera bersiap untuk menangkap gadis itu. Kepada kedua pengikutnya ia berkata, “Jaga anak muda itu. Aku akan menyelesaikan perempuan liar ini.” Kata-kata Wiradadi itu hampir tidak selesai diucapkan. Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar mulut Wiradadi. Wiradadi tidak menunggu lagi. Iapun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan mengelak. Meskipun agak lama ia berbaring di pembaringan dan baru satu dua kali ia berlatih di sanggar setelah ia sembuh dari lukanya, namun ternyata bahwa Rara Wulan memang memiliki kelebihan dari Wiradadi. Meskipun Wiradadi agaknya juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi ketika Rara Wulan yang marah itu menyerang seperti badai yang berhembus dari arah lautan, maka Wiradadi itu pun segera terdesak. Rara Wulan tidak memberinya kesempatan. Ketika Wiradadi meloncat mundur menghindari serangan tangannya, maka dengan cepat Rara Wulan meloncat. Ia tidak menyerang dengan tangannya lagi. Tetapi kakinya pun terjulur lurus menghantam dada. Wiradadi terlempar beberapa langkah surut, sehingga punggungnya menghantam dinding gubug itu, sehingga dinding itu terkoyak. Ketika Wiradadi berusaha untuk bangkit, maka Rara Wulan telah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Nah, sekarang lakukan perintahku. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan mohon maaf kepadaku.” Harga diri Wiradadi benar-benar tersinggung. Namun ketika ia akan meneriakkan perintah kepada kedua orang pengikutnya, ia melihat keduanya telah terbaring diam di sebelah-menyebelah anak muda itu. Pingsan tanpa diketahui sebabnya. Dengan sorot mata yang aneh Wiradadi memandang Glagah Putih yang berdiri diam. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya meskipun dua orang yang memegangi lengannya itu pingsan. Namun Wiradadi tidak mau dihinakan oleh Rara Wulan. Karena itu. maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Demikian ia berdiri tegak, maka tangannya telah menarik parangnya. “Anak-anak iblis. Kau apakan kedua orang kawanku itu?“ geram Wiradadi. Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tiba-tiba saja mereka melepaskan lenganku dan jatuh pingsan.” “Ternyata kau memiliki ilmu iblis. Tetapi kau akan menyesal karena kalian berdua akan mati di pategalan ini.” “Jangan banyak bicara,” Rara Wulan, “berjongkoklah dan mohon ampun kepadaku.” Wiradadi tidak menjawab lagi. Tetapi parangnya pun segera berputar. Katanya, “Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan memenggal kepala kalian dan menguburkan kalian di sini.” “Tetapi jika aku tidak pulang siang ini, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan mengetahui bahwa aku menemui bencana di Kleringan. Maka Ki Gede tidak akan mempunyai pilihan lain. Kau, orang tuamu, anak istrimu, pamanmu dan semua keluargamu akan dihancurkan oleh Ki Gede dengan pasukannya. Prastawa akan datang tidak sebagai seorang yang akan diadili di sini. Tetapi ia akan membawa pasukan segelar-sepapan. Kleringan akan menjadi karang abang, Kemana pun kau akan lari, maka kau akan diburu. Bahkan sampai ke liang semut sekalipun.” Wajah Wiradadi menjadi tegang. Namun Rara Wulan tidak ingin Wiradadi ketakutan serta melarikan diri. Ia ingin mencoba untuk berkelahi dan mengalahkannya. Menghukumnya, dan lebih dari itu mempermalukannya. Dendam Kanthi seakan-akan telah menjalar di hatinya pula. Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, “Cepat! Berjongkok!” “Jangan berteriak,” Glagah Putih memperingatkan. “Tidak apa-apa. Srigala licik ini mengatakan bahwa seandainya aku berteriak sekeras guntur sekalipun, tidak akan ada orang yang mendengarnya,” jawab Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rara Wulan memang tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu. sulit baginya untuk mencegah perkelahian yang memang diinginkan oleh Rara Wulan. Wiradadi yang berkali-kali merasa tersinggung harga dirinya dan bahkan dengan sengaja dihinakan oleh Rara Wulan, juga tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka iapun mulai menyerang dengan garangnya. Parangnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan. Beberapa kali Rara Wulan memang berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ia telah melepas selendang yang dipinjamnya dari Sekar Merah. Wiradadi semula tidak menghiraukan selendang itu, namun ketika selendang itu berputar semakin cepat dan terdengar suaranya berdesing disertai getar angin yang menerpa wajahnya, maka hatinya mulai tergetar. Tetapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Ujung selendang itu tiba-tiba telah mulai menyentuh kulitnya. Wiradadi meloncat surut. Kulitnya terasa pedih oleh sentuhan ujung selendang itu. Bahkan kemudian ternyata bahwa kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman. Baru kemudian Wiradadi sadar, bahwa selendang itu memang sejenis senjata yang sangat berbahaya. Demikianlah, maka Wiradadi yang marah itu harus menjadi semakin berhati-hati. Sekali dua kali, ujung selendang itu telah menyengat kulitnya. Semakin lama terasa semakin sering. Wiradadi mulai menjadi semakin cemas. Sentuhan itu terasa semakin sakit dikulitnya. Bahkan kemudian sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering dirasakannya. Tetapi Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Betapapun ia berusaha menyerang dengan ujung parangnya, tetapi usahanya selalu sia-sia saja. Rara Wulan itu baginya bagaikan bayangan yang tidak dapat disentuh sama sekali. Ketika ujung selendang Rara Wulan semakin sering menyakitinya, maka Wiradadi menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ujung selendang yang digantungi bandul timah-timah kecil itu menyambar keningnya, sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang. Wiradadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Keningnya bukan saja menjadi sakit. Tetapi rasa-rasanya tulang pelipisnya menjadi retak Tetapi sebelum Wiradadi sempat memperbaiki kedudukannya, maka bandul timah di ujung selendang itu telah menghantam punggungnya. Wiradadi-lah yang kemudian berteriak keras-keras karena kemarahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, maka ujung selendang Rara Wulan justru telah menghantam mulutnya. Terasa bibirnya menjadi pecah. Sebuah giginya tanggal, dan darah pun mulai mengalir dari mulutnya. Jantung Wiradadi terasa bagaikan membara. Namun ia memang tidak dapat berbuat banyak. Parangnya seakan-akan tidak berarti sama sekali. Selendang itu memang lebih panjang dari parang di tangannya, sehingga sebelum parangnya menggapai sasaran, ujung selendang itu telah mengenai tubuhnya lagi. Bahkan semakin lama semakin sering. Dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri rasa-rasanya sudah menjalar di seluruh tubuhnya. Pada kulitnya terdapat noda-noda merah biru. Bahkan beberapa gores luka dan berdarah sebagaimana darah mengalir dari mulutnya. Akhirnya Ki Wiradadi itu menjadi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa gadis itu tidak akan dapat dilawannya. Jika ia bertahan untuk bertempur terus, maka ia akan dapat menjadi pingsan seperti kedua orang pengikutnya itu. Karena itu, maka Ki Wiradadi itu pun dengan sisa tenaganya telah berusaha untuk melarikan diri. Namun demikian ia berusaha meloncat berlari meninggalkan arena, maka ujung selendang Rara Wulan telah terjulur menggapai kakinya, sehingga Wiradadi itu telah jatuh terjerembab. Wiradadi tidak sempat lagi melarikan diri. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia melihat sepasang kaki yang renggang di depan matanya. Kaki Rara Wulan. “Bangkit dan berjongkok,“ perintah Rara Wulan. Wiradadi menggeram. Namun ujung selendang Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam punggungnya. Wiradadi mengaduh kesakitan. Namun yang didengarnya adalah suara Rara Wulan, “Berjongkok dan mohon ampun kepadaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan Kanthi. Tetapi justru karena kau telah menghina aku. Dengan demikian aku mengerti, bahkan kau pun telah memperlakukan gadis-gadis lain sebagaimana akan kau lakukan atas aku.” “Tidak. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya,” jawab Wiradadi. “Tetapi sesudahnya?” bertanya Rara Wulan. “Aku berjanji untuk tidak melakukannya,” jawab Wiradadi. Namun Rara Wulan dengan cepat menyahut, “Omong kosong. Orang-orang seperti kau ini tidak akan dapat dipercaya.” “Sungguh, aku bersumpah,“ berkata Wiradadi. Tetapi Rara Wulan membentak, “Aku tidak memerlukan sumpahmu! Cepat berjongkok dan minta ampun kepadaku!” Tetapi Wiradadi yang masih mengingat harga dirinya tidak segera melakukannya. Namun Rara Wulan pun menjadi seperti orang yang telah kehilangan nalarnya. Sekali lagi selendangnya terayun dan menghantam punggung Wiradadi, sehingga terdengar Wiradadi itu mengaduh kesakitan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar Rara Wulan meninggalkan Wiradadi yang kesakitan itu. Tetapi Rara Wulan justru menjawab lantang, “Tidak. Ia harus berjongkok dan mohon ampun. Jika tidak, maka ia akan mati di sini. Dua orang yang pingsan itu akan mati juga, sehingga tidak akan ada saksi, apa yang telah aku lakukan di sini.” Glagah Putih memang menjadi gelisah. Persoalannya tentu akan berkembang semakin buruk. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sore nanti jika Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri datang ke rumah Ki Suracala. Sementara itu, Rara Wulan masih juga mengayunkan selendangnya ke punggung Wiradadi, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. “Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau masih juga tidak mau berjongkok dan mohon ampun kepadaku, maka aku akan melecutmu dengan selendangku ini sampai kau mati. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Jika perlu, maka Kakang Prastawa aku minta untuk mengerahkan pasukan menghancurkan semua isi Kademangan Kleringan. Apalagi jika Kademangan ini berusaha melindungi keluargamu.” Seperti yang dikatakan, maka Rara Wulan benar-benar mulai menghitung. Namun sampai kehitungan ketiga, maka Wiradadi pun telah memaksa dirinya untuk berjongkok di depan Rara Wulan sambil berkata, “Baik. Baik. Aku akan minta maaf kepadamu.” “Mohon ampun. Bukan minta maaf. Cepat lakukan, sebelum aku mencambukmu lagi.” “Aku mohon ampun,“ suara Wiradadi hampir tidak terdengar. “Aku tidak mendengar suaramu. Ulangi!” bentak Rara Wulan. Wiradadi terpaksa mengulanginya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis yang garang, dan lebih dari itu, ilmunya ternyata lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu, maka Wiradadi pun terpaksa mengulangi dengan kata-kata yang lebih keras, “Aku mohon ampun.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berkata, “Marilah, kita tinggalkan tikus-tikus cecurut itu.” Glagah Putih mengangguk. Namun ia berkata, “Benahi pakaianmu.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah masuk ke dalam gubug, meskipun ia tetap berhati-hati. Ketika ia memasuki pintu gubug itu ia berhenti sejenak, berpaling kepada Wiradadi sambil berkata, “Kau juga akan ikut masuk?” Wiradadi tidak berani menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat di dalam hati. Rara Wulan pun kemudian membenahi pakaiannya di dalam gubug itu. Hanya beberapa saat, ia-un segera keluar lagi. Dikenakannya selendangnya seperti semula, sebagaimana seorang perempuan mengenakan selendang. Kemudian tanpa mengatakan sepatah katapun, Rara Wulan melangkah meninggalkan pategalan itu, diikuti oleh Glagah Putih. Ketika mereka keluar dan mulut lorong, maka Glagah Putih berdesis, “Kau bersikap terlalu keras Rara.” “Kau dapat berkata begitu karena kau tidak mengalami penghinaan yang mendasar. Kau tahu apa yang akan dilakukannya atas diriku? Tidak ada ampun bagi siapapun yang demikian. Untung aku masih mampu mengendalikan diri dan tidak membunuhnya.” “Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi itu sudah terjadi di kepala orang itu. Itu satu kenyataan bagi angan-angannya. Dan karena itu sudah sepantasnya ia menerima hukuman, yang seharusnya jauh lebih berat dari yang aku lakukan,” jawab Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti.” “Aku akan ikut. Jika aku harus mempertanggung-jawabkan perbuatanku, aku akan melakukannya,” jawab Rara Wulan. “Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tentu tidak akan mengijinkan kau ikut sore nanti.” “Kenapa? Bukankah yang terjadi tadi harus dipertanggung-jawabkan? Bukankah aku akan dapat menjadi saksi atas sifat dan watak orang itu?“ sahut Rara Wulan. Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa perasaan Rara Wulan sudah menjadi gelap, sehingga sulit baginya untuk dapat berbicara dengan tenang. Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Kita akan mengambil jalan lain. Bukan jalan yang paling baik yang menuju ke Tanah Perdikan.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Wiradadi dapat menjadi gila. Ia akan dapat mengerahkan banyak orang untuk memburu kita dan mencegat kita sebelum kita memasuki Tanah Perdikan. Karena itu, kita memilih jalan yang lain, sehingga jika ada sekelompok orang yang menyusul kita, mereka tidak akan segera menemukan kita, sehingga kita mencapai batas Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan, kita akan dapat berbuat lebih banyak.” “Apa salahnya jika sekelompok orang dungu itu menyusul kita?“ bertanya Rara Wulan “Bukankah lebih baik jika kita tidak bertemu dengan mereka, yang sudah dapat kita bayangkan akibatnya?” bertanya Glagah Putih dengan kata-kata yang berat menekan. Rara Wulan tidak menjawab. Namun ketika Glagah Putih mengajaknya berbelok melalui jalan kecil, mereka pun berbelok. Meskipun Glagah Putih belum pernah melalui jalan-jalan sempit di Kademangan Kleringan, namun dengan mengenali arah perjalanannya, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke perbatasan Tanah Perdikan Menoreh di lereng pegunungan. Untunglah bahwa kawan perjalanannya bukan seorang gadis sebagaimana gadis kebanyakan. Ketika mereka melewati jalan berbatu padas dan bahkan kemudian mulai miring di kaki pegunungan, maka Rara Wulan tidak lagi menghiraukan pakaiannya. Ia telah menyingsingkan lagi kain panjangnya, sehingga pakaian khususnya-lah yang nampak dikenakannya. Namun ternyata bahwa Wiradadi tidak mengerahkan orang-orangnya untuk mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Tubuhnya terasa nyeri, sedangkan tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Dua orang pengikutnya yang pingsan itu pun mulai menjadi sadar kembali. Perlahan-lahan mereka mulai menemukan ingatannya, apa yang telah terjadi atas diri mereka. Namun mereka tetap tidak mengetahui, apa yang diperbuat oleh anak muda itu. Ketika mereka siap untuk memaksa anak muda itu agar tidak berbuat sesuatu, tiba-tiba saja mata mereka menjadi berkunang-kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap. Demikian kedua orang itu melihat Wiradadi yang kesakitan, maka mereka menjadi gugup. Orang yang bertubuh pendek itu bertanya dengan kata-kata yang terbata-bata, “Apa yang terjadi?” Mata Wiradadi menjadi merah oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Sambil menyeringai menahan sakit, Wiradadi yang masih merasa sakit untuk berdiri tegak itu berkata, “Ternyata kalian memang tikus cecurut seperti yang dikatakan perempuan liar itu. Apa yang kalian lakukan, sehingga tiba-tiba saja kalian berdua pingsan?” “Anak itu mempunyai ilmu iblis,“ desis orang yang berwajah garang. “Omong kosong! Kalian mencoba untuk menutupi kedunguan kalian!“ bentak Wiradadi. “Kami benar-benar tidak mempunyai kesempatan,“ berkata orang yang bertubuh pendek. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi apa yang terjadi dengan Ki Wiradadi?” “Tutup mulutmu!” bentak Wiradadi. Ia mencoba untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia menggerakkan kakinya, maka terasa nyeri yang sangat telah menyengat punggungnya. Meskipun demikian, Wiradadi memaksa dirinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak segera kembali. Untuk mengurangi kesan buruk atas dirinya, maka Wiradadi telah turun ke sungai untuk mandi. Ia harus menghapus titik-titik darah yang meleleh dari mulutnya, serta balur-balur luka di tubuhnya. Jika ia mandi, maka tubuhnya akan nampak segar kembali, meskipun mula-mula tentu terasa perih. Namun Wiradadi tetap saja merasa ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atau tidak. Tetapi rasa-rasanya dendam telah membuat jantungnya membara. Ketika Wiradadi kemudian pulang ke rumah Ki Suracala, maka keadaannya memang nampak lebih baik. Bekas-bekas perkelahiannya tidak lagi nampak jelas. Dengan demikian maka orang-orang yang bertemu di jalan pulang, tidak mengetahui bahwa Wiradadi baru saja mengalami kesulitan menghadapi seorang gadis yang garang. Namun Wiradadi ingin memberitahukan apa yang telah terjadi atas dirinya kepada ayahnya. Kepada pamannya, dan kepada orang-orang lain yang ada di rumahnya, meskipun harus dibumbuinya dengan kebohongan. Jika sore nanti benar-benar utusan Ki Argajaya datang, maka mereka harus mengalami perlakuan yang sama sebagaimana gadis itu memperlakukan dirinya. Sebenarnyalah, ketika Wiradadi itu sampai di rumah, iapun langsung bertemu dengan ayahnya, dengan Ki Suracala dan dengan seorang pamannya yang lain. Ki Suradipa. “Apa yang terjadi atas dirimu?” bertanya Ki Suratapa, ayahnya. Ia adalah sepupu Ki Suracala, yang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Umurnya memang lebih tua dari Ki Suracala, meskipun tidak terpaut terlalu banyak. Sedangkan seorang lagi sepupu Ki Suracala adalah orang yang bertubuh tinggi kekar, yang sikapnya justru sangat keras terhadap keluarga Ki Argajaya. Wiradadi memang ragu-ragu menceritakan, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu, terutama kepada Ki Suracala sendiri. Karena itu, ketika ia berjalan pulang, dua orang pengikutnya telah dibekalinya dengan cerita dusta, sebagaimana diceritakannya kepada ayah dan paman-pamannya. “Kami tahu bahwa kedua orang itu kemarin sudah mengamati rumah ini,“ berkata Wiradadi, “karena itu, aku berniat untuk bertanya kepada mereka, untuk apa mereka kemarin datang kemari dan kemudian hari ini mereka datang pula. Ketika kami menemui mereka di luar padukuhan, ternyata mereka membawa beberapa orang kawan.” “Jadi mereka tidak hanya berdua?” bertanya Ki Suratapa. “Ya. Lebih dari lima orang. Mereka membawa aku ke pategalan. Dan mereka telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang.” “Dan kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?” bertanya Ki Suratapa. “Aku, maksudmu kami bertiga, telah melawan. Tetapi jumlah mereka lebih banyak, sehingga kami berada dalam kesulitan,” jawab Wiradadi. “Kenapa salah seorang dari kalian tidak memberitahukan kepada kami?” bertanya Ki Suradipa. “Ternyata bahwa kami tidak perlu melakukannya, Paman,” jawab Wiradadi, “mereka telah melarikan diri.” “Dan kalian tidak mengejarnya dan menangkap seorang dari mereka?” bertanya Ki Suradipa. “Mereka telah berlari memencar. Sementara itu, kami memang tidak ingin membuat padukuhan ini, dan apalagi kademangan ini, menjadi gaduh,” jawab Wiradadi. “Tetapi bukankah ada di antara mereka seorang perempuan?” bertanya Ki Suratapa. “Ketika terjadi perkelahian, maka perempuan dan anak muda yang datang kemari itu sudah pergi. Mereka meninggalkan kawan-kawannya, sehingga sulit bagi kami untuk melacak jejaknya.” Ki Suratapa itu pun menggeram. Dengan nada garang ia berkata, “Iblis yang tidak tahu diri. Tentu siasat Argajaya yang licik.” “Siapa yang licik di antara kita dan keluarga Ki Argajaya?” bertanya Ki Suracala. “Kau juga gila,” geram Suratapa, “kita sudah sepakat untuk memilih jalan terbaik. Kenapa kau masih ragu-ragu?” “Apakah benar kita sudah sepakat?” bertanya Ki Suracala. “Jadi kau mau apa? Kau akan membiarkan cucumu lahir tanpa ayah?” bertanya Ki Suratapa. “Bukankah aku mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik daripada menyangkutkan keluarga Ki Argajaya?” “Kau masih saja dungu,” geram Ki Suratapa, “aku bermaksud baik. Jika Prastawa kawin dengan anakmu, maka kau akan dapat berharap ikut berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh. Anak Argapati itu tentu akan lebih senang mengikuti suaminya di Sangkal Putung dan akan mengabaikan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, hanya tinggal Prastawa yang ada di antara keluarga Ki Argapati.” “Tetapi Ki Argajaya bukan sejenis lembu perahan yang akan menurut saja diperas tanpa berbuat sesuatu. Ia akan dapat berbuat banyak sebagai adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Menoreh tidak akan mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Jika demikian maka mereka akan berhadapan dengan Kademangan Kleringan. Kau kira Tanah Perdikan berani menghadapi Kademangan Kleringan? Aku yakin, bahwa aku akan dapat mempengaruhi Ki Demang Kleringan, jika Argajaya berniat menggerakkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh untuk kepentingan pribadinya. Aku pun mengira, bahwa Ki Argapati tidak akan memberikan kesempatan Argajaya berbuat demikian. Nama Argajaya itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh sudah tersisih sejak ia memberontak melawan kakaknya. Namun ternyata bahwa anaknya masih dianggap seorang pemimpin yang baik di Tanah Perdikan.” “Ternyata kau tidak dapat membaca keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau kira Ki Demang Kleringan berani melawan Tanah Perdikan Menoreh? Kecuali jika Ki Demang ingin melebur Kademangan ini menjadi debu,“ berkata Ki Suracala. “Kami akan membatasi persoalan ini sebagai persoalan keluarga. Kami akan menyinggung harga diri keluarga Ki Argajaya agar tidak mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Nah, kita akan mencobanya sore nanti,” desis Suradipa. Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apa yang akan kalian lakukan sore nanti?” “Kita akan melihat, apakah keterangan mereka memuaskan atau tidak. Jika mereka masih berbelit-belit dan tidak mau dengan tangan terbuka menerima tawaran kita agar Prastawa segera menikah dengan Kanthi, maka kita akan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang Argajaya memperlakukan Wiradadi,“ berkata Ki Suratapa. “Itu tidak adil,“ berkata Ki Suracala. “Apa yang tidak adil? Bukankah itu justru adil sekali?” Ki Suradipa justru bertanya. “Terus terang, aku tidak yakin akan kebenaran cerita Wiradadi,“ berkata Ki Suracala. “Kau selalu berprasangka buruk,” geram Ki Suratapa. “Aku peringatkan, bahwa kau tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menentukan sikap. Kau berada di bawah kekuasaan kami. Kau harus mengakui kenyataan buruk tentang anakmu. Ia telah menjerat Wiradadi yang sudah beristri. Seharusnya ia tahu, bahwa tingkah lakunya sangat tercela bagi seorang gadis. Lebih dari itu, maka anakmu harus mengetahui bahwa tidak boleh terjadi perkawinan di antara saudara pada keturunan ketiga. Sedangkan keturunan kedua justru tidak ada keberatannya. Perkawinan antara saudara sepupu tidak menjadi pantangan bagi kita.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada berat, “Suracala. Kau harus mempertimbangkan satu kemungkinan bahwa sebenarnya Kanthi memang sudah merasa mulai mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Baru kemudian karena Prastawa ingkar, maka ia telah menjebak Wiradadi, kakangnya sendiri. Namun sayang, justru pada keturunan ketiga.” “Tidak. Bohong. Itu fitnah. Anakku tidak pernah berhubungan dengan Prastawa lebih dari hubungan persahabatan, sebagaimana aku dengan Adi Prastawa,” jawab Ki Suracala. “Apakah kau tidak pernah mendengar pengakuan kanthi, bahwa ia memang mencintai Prastawa?” bertanya Ki Suradipa. “Seandainya demikian, mereka tentu tidak akan melakukan larangan itu,” jawab Ki Suracala Ki Suratapa dan Ki Suradipa tertawa. Dengan nada tinggi Ki Suratapa berkata, “Kau memang keras kepala. Karena itu, kami akan menentukan kehendak kami tanpa minta persetujuanmu. Ingat, kau tidak akan dapat melawan kehendak kami. karena kami bermaksud baik terhadap Kanthi. Kami memang merasa kasihan kepadanya.” Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mendukung sikapnya. Tetapi ia yakin bahwa Prastawa memang tidak bersalah. Namun Ki Suracala memang menjadi cemas, bahwa sore nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Utusan Ki Argajaya akan dapat mengalami kesulitan. Bahkan mungkin bencana. “Wiradadi memang iblis,” geram Ki Suracala di dalam hatinya. Namun Ki Suracala pun memperhitungkan bahwa Ki Argajaya tidak akan dapat berbuat banyak. Seandainya ia mengalami kesulitan, maka kakaknya, Ki Argapati, belum tentu akan mau ikut campur, meskipun Prastawa terhitung salah seorang di antara para pemimpin pengawal di Tanah Perdikan. Ki Argajaya yang sudah bertahun-tahun tersisih, agaknya tidak akan dapat menggerakkan hati Ki Gede. Bahkan mungkin Prastawa justru akan dapat disisihkan, karena fitnah yang dilemparkan oleh keluarga Wiradadi yang menyangkut anak gadisnya, Kanthi. Ki Suracala memang menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras, melontarkan gejolak di dalam hatinya. Ingin rasa-rasanya ia meneriakkan kebenaran yang terjadi atas anak gadisnya yang ternyata memang sedang mengandung itu. Tetapi suaranya tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya. Yang dapat dilakukan memang hanya menunggu dengan berdebar-debar, apa yang akan terjadi sore nanti, jika utusan Ki Argajaya benar-benar datang ke rumahnya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Suratapa telah mempersiapkan sekelompok orang yang dapat membalas sakit hati anaknya. Tetapi Ki Suratapa sudah berpesan, agar mereka tidak bertindak lebih dahulu sebelum ada perintahnya. Ia harus mendengar lebih dahulu, hasil pembicaraan yang akan dilakukan. “Jika hasilnya baik, sehingga perkawinan itu akan segera dapat dilaksanakan, maka kita akan melupakan kesalahan mereka atas Wiradadi. Tetapi jika mereka masih menunda-nunda, maka mereka akan mengalami nasib buruk,“ berkata Ki Suratapa. Orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban, namun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar menjawab, “Kami sudah cukup sabar menunggu. Jangan kecewakan cantrik-cantrikku.” “Aku mengerti,” jawab Ki Suratapa, “tetapi ingat, bahwa di Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu mereka, karena sudah agak lama aku meninggalkan Kleringan. Jika sekarang aku kembali, itu adalah karena ada persoalan yang menyangkut anakku di sini.” “Kemana kau pergi selama ini? Bukankah kau hanya bergeser sedikit ke barat dan tinggal di Pringsurat?” “Ya,” jawab Suratapa, “meskipun tidak terlalu jauh, tetapi perhatianku sama sekali tidak pernah lagi tertuju pada Kademangan ini, apalagi Tanah Perdikan Menoreh.” “Jangan cemas. Padepokanku tidak akan mengecewakanmu. Terserah kepadamu, percaya atau tidak.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Bagaimanapun juga, menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kita harus berhati-hati. Seandainya mata kita buta, tetapi kuping kita tentu mendengar. Sebaliknya seandainya kuping kita tuli, kita pun dapat melihat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang berilmu tinggi.” “Apakah kau memperkirakan bahwa Ki Argajaya akan memanfaatkan kedudukan kakaknya?” bertanya orang itu. “Aku kira tidak. Bagaimanapun juga ia masih mempunyai harga diri. Kecuali itu, Ki Gede tidak akan mudah melupakan pengkhianatan adiknya itu, sehingga mungkin justru Prastawa-lah yang akan disingkirkan,” jawab Ki Suratapa. “Segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi satu hal yang sudah pernah aku katakan dan masih tetap berlaku. Aku tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan mengerahkan pasukan pengawalnya. Padepokanku, bahkan bergabung dengan Kademangan Kleringan sekalipun, tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi jika hanya sekelompok orang, apalagi keluarga dekat Ki Argajaya atau orang-orang upahannya, aku akan menghancurkan mereka.” “Tetapi jika benar kata-kata Wiradadi, agaknya Argajaya sudah benar-benar menjadi gila,“ berkata Suratapa. “Jika hanya kelompok-kelompok kecil seperti itu, maka persoalannya akan mudah diatasi. Bahkan jika perlu, kita ambil saja Argajaya itu sendiri, untuk memaksa Prastawa memenuhi keinginanmu serta keluarga Suracala.” “Kakang Suracala juga hampir menjadi gila,” geram Suratapa. “Suracala bukan apa-apa,” jawab orang itu. “Nah, hati-hatilah. Bersiaplah. Aku tidak tahu berapa jumlah utusan Ki Argajaya. Tetapi sudah tentu tidak sejumlah pengawal di Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Suratapa. Orang itu tertawa. Katanya, “Kau nampak sangat cemas.” “Kita harus membuat perhitungan yang cermat. Argajaya tidak akan berani berbuat gila dengan mengirimkan orang kemari dan menyerang Wiradadi, jika ia tidak merasa memiliki kekuatan.” ”Kenapa ia menyerang Wiradadi? Apakah ia mengetahui persoalan yang menyangkut Wiradadi?” bertanya kawan Suratapa itu. “Seharusnya tidak. Tetapi mungkin justru Wiradadi-lah yang dijumpainya, sehingga secara kebetulan ia menjadi sasaran kegilaan Argajaya, atau bahkan Prastawa.” “Apakah mungkin mereka termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh? Justru pengawal terpilih yang dikirim oleh Prastawa untuk menakut-nakuti kalian, karena kalian telah menakut-nakuti ayahnya. Sementara itu Prastawa merasa pasti bahwa ia tidak bersalah?” “Nah, bukan aku yang menjadi cemas. Tetapi kau sudah menjadi ragu-ragu pula,“ berkata Ki Suratapa. “Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bebanku ringan. Jika persoalannya kemudian melibatkan Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak bertanggung jawab. Aku dapat pergi begitu saja dan membiarkan kademangan ini digilas oleh kekuatan Tanah Perdikan.” “Setan kau,” geram Suratapa. Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, “Jangan cemas. Jika utusannya sore nanti tidak membuat persoalannya menjadi jernih, maka kami akan melakukan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami telah menyiapkan sepuluh orang berilmu tinggi. Lima orang dari perguruanku sendiri, sedangkan lima orang dari perguruan lain. Bukan karena aku tidak mempunyai orang cukup, tetapi melibatkan perguruan lain akan mempunyai pengaruh yang baik jika terjadi permusuhan yang panjang di kemudian hari. Setidak-tidaknya ada kawan untuk memanggul beban. Nanti sore aku akan melibatkan tiga perguruan yang besar dari barat.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Namun orang itu kemudian berkata, “Tetapi seperti yang kau janjikan. Kami akan mendapat imbalan yang cukup.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mempunyai berpuluh-puluh ekor lembu dan kerbau. Kau tahu itu. Sementara itu keluarga Wiradadi perlu diselamatkan.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Bukankah kau tahu, siapakah mertua Wiradadi itu?” “Ya. Tetapi kenapa ia tidak kau libatkan sekarang?” bertanya orang itu. “Untuk sementara mereka tidak usah mengetahui apa yang terjadi di sini. Tetapi jika perlu, maka kami dapat membohonginya, sebagaimana kami membohongi Argajaya. Jika. mertua Wiradadi sudah termakan, maka persoalannya akan meluas.” Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun mengerti, kenapa Ki Suratapa belum melibatkan mertua Wiradadi. Agaknya jika mungkin, persoalan antara Wiradadi dan Kanthi akan disembunyikan saja. Namun jika tidak mungkin, maka fitnah atas Prastawa akan diperluas lagi. Demikianlah, maka semua persiapan dilakukan seandainya pembicaraan Ki Suracala dengan utusan Ki Argajaya itu gagal. Mereka akan memperlakukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tindak kekerasan, sebagaimana mereka lakukan atas Wiradadi sesuai dengan laporan Wiradadi itu sendiri. Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Mereka telah memberitahukan apa yang terjadi di Kademangan Kleringan itu kepada Ki Jayaraga. “Nanti sore aku akan ikut,“ berkata Rara Wulan dengan tegas. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah yang ikut mendengarkan laporan Rara Wulan dan Glagah Putih itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata persoalannya menjadi semakin rumit. “Tetapi itu bukan salah kami, Mbokayu,“ berkata Rara Wulan kemudian kepada Sekar Mirah. “Mereka mencegat kami.” Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Memang bukan salah kalian.” “Karena itu, nanti sore aku harus ikut. Aku akan menjelaskan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa orang yang bernama Wiradadi itu memang srigala.” “Tetapi kita tidak akan dapat mengatakan bahwa kau telah bertemu dengan Kanthi,“ berkata Sekar Mirah. “Kenapa? Aku tidak takut. Biarlah hal itu dikatakan. Jika mereka mendendam kami berdua, kami tidak keberatan,” jawab Rara Wulan. “Aku percaya. Tetapi yang juga akan mengalami kesulitan adalah Kanthi itu sendiri. Bukankah ayahnya tidak lagi mampu melindunginya karena tingkah laku saudara sepupunya itu?“ sahut Sekar Mirah. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Mbokayumu benar, Rara. Kau dan Angger Glagah Putih, dan berangkali kita semuanya, akan dapat meninggalkan mereka dan kembali ke Tanah Perdikan ini. Tetapi bagaimana dengan Kanthi? Bagaimana pula dengan Ki Suracala?” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Memang, kasihan Kanthi.” “Karena itu, kita tidak dapat membawa-bawa nama Kanthi. Tetapi kita sudah mengetahui kebenaran dari persoalan yang kami hadapi. Jelasnya, Prastawa tidak bersalah,“ berkata Sekar Mirah. Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, “Tentang apakah kau dapat ikut atau tidak, sebaiknya kita bicarakan nanti dengan Kakangmu Agung Sedayu dan Kakang Swandaru.” “Tetapi bagaimana dengan pendapat Mbokayu sendiri? Dan bagaimana dengan Ki Jayaraga?” bertanya Rara Wulan. “Apa sebenarnya keberatannya jika aku ikut? Aku tidak akan mengganggu pembicaraan Ki Jayaraga. Tetapi jika mereka berdusta, aku dapat menjadi saksi.” “Berdusta tentang apa? Tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau tentang Prastawa?” bekerja Sekar Mirah. Rara Wulan memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentang semuanya. Tentang semuanya.” Sekar Mirah menarik nafas panjang. Rara Wulan nampaknya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Wiradadi atasnya, sehingga kemarahannya masih saja melonjak-lonjak. Sambil mengangguk-angguk Sekar Mirah pun berkata, “Baiklah. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu. Kakang sudah mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal, agar kita tidak terlalu malam sampai di Kleringan.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya masih nampak gelap. Sementara itu Sekar Mirah berkata, “Sekarang, beristirahatlah Rara. Kau tentu letih.” Rara Wulan mengangguk kecil. Iapun kemudian telah pergi ke biliknya. Namun Rara Wulan sama sekali tidak beristirahat, Ia justru memasuki sanggar seorang diri. Tetapi Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Mereka tahu bahwa Rara Wulan ingin melepaskan gejolak yang menghimpit jantung di dadanya. Sebenarnyalah Rara Wulan pun telah melakukan latihan-latihan berat seorang diri. Seakan-akan ia ingin tahu puncak kemampuannya selama ia berguru kepada Sekar Mirah. Bahkan kemudian, iapun telah berlatih dengan selendang yang masih belum dikembalikan kepada Sekar Mirah, karena ia tahu bahwa Sekar Mirah tidak hanya memiliki selembar. Seperti yang dikatakan, ternyata Agung Sedayu pulang lebih awal dari biasanya. Iapun segera minta agar Glagah Putih pergi menemui Swandaru untuk mengatakan bahwa Agung Sedayu telah berada di rumah. “Sebentar lagi kami akan datang. Kita akan segera berangkat ke Kleringan,“ pesan Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Karena itu, kami minta Swandaru berdua mempersiapkan diri.” Demikian Glagah Putih berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru, maka Sekar Mirah pun telah memberitahukan persoalan yang dihadapi Rara Wulan dan Glagah Putih di perjalanan. “Orang itu memang keterlaluan, “desis Agung Sedayu. “Sore ini Rara Wulan memaksa untuk ikut,“ berkata Sekar Mirah pula, “nampaknya kemarahannya masih memanasi jantungnya.” “Dimana ia sekarang?” bertanya Agung Sedayu. “Ia berada di sanggar. Sudah cukup lama,” jawab Sekar Mirah. Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu pun minta pertimbangan, bagaimana sebaiknya dengan Rara Wulan. “Seandainya kita melarangnya, mungkin ia akan menyusul meskipun hanya sendiri,“ berkata Ki Jayaraga. “Apakah Glagah Putih tidak dapat mencegahnya?” bertanya Agung Sedayu pula. “Agaknya terlalu sulit untuk menahan agar anak itu tidak pergi,” jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu memang menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Jayaraga, “Apakah lebih baik anak itu kita bawa, daripada ia berbuat sesuatu di luar pengetahuan kita?” Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, “Aku kira memang demikian. Tetapi ia harus berjanji bahwa ia akan menurut perintah kita. Gadis itu tidak boleh berbuat menurut kehendaknya sendiri.” Namun Sekar Mirah pun berkata, “Nampaknya pembicaraan akan menjadi keras.” “Aku juga menduga demikian. Bahkan seandainya Rara Wulan tidak terlibat dalam perkelahian sekalipun, persoalannya akan menjadi rumit. Mereka menghendaki kita memberikan jawaban hanya soal waktu. Kapan pernikahan dilaksanakan. Padahal Prastawa tidak akan menikahinya, karena ia memang tidak seharusnya bertanggung jawab.” “Memang nampaknya tidak ada pilihan lain. Kita tidak tahu, apakah mereka sudah mempersiapkan sekelompok orang untuk menyambut kedatangan kita dengan caranya,“ berkata Ki Jayaraga. “Kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Agung Sedayu pun kemudian minta agar Sekar Mirah memanggil Rara Wulan. Jika ia memang akan ikut, sebaiknya ia mandi dan berbenah diri. “Kita akan segera berangkat. Jika kita terlalu lama, maka Swandaru akan terlalu lama menunggu,“ berkata Agung Sedayu. Demikianlah, maka Sekar Mirah pun segera memanggil Rara Wulan yang berada di dalam sanggar. Ketika Sekar Mirah memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah datang, maka Rara Wulan pun segera akan berlari. “Kau mau kemana, Rara?” bertanya Sekar Mirah. “Aku akan minta kepada Kakang Agung Sedayu agar diperkenankan untuk ikut pergi ke Kleringan,” jawab Rara Wulan. “Aku sudah mengatakannya,” jawab Sekar Mirah. “Lalu?” wajah Rara Wulan menadi tegang. Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakangmu tidak berkeberatan.” “Jadi aku boleh ikut?” bertanya Rara Wulan. “Ya. Kau boleh ikut,” jawab Sekar Mirah. Rara Wulan pun segera meloncat memeluk Sekar Mirah dan menciumnya sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan berkemas.” “Tetapi ada syaratnya, Rara,“ berkata Sekar Mirah kemudian. “Syaratnya apa?” bertanya Rara Wulan dengan dahi berkerut. “Rara harus menurut segala perintah Ki Jayaraga,” jawab sekar Mirah, “karena Ki Jayaraga adalah orang yang diserahi memimpin kita semuanya sebagai utusan Ki Argajaya.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berjanji.” Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah berpakaian rapi pula. Karena Rara Wulan akan ikut, maka Glagah Putih pun akan ikut pula. Kepada anak yang tinggal di rumahnya, Agung Sedayu berpesan agar ia melayani Wacana sebaik-baiknya. “Bantulah jika diperlukan, keadaannya sudah berangsur baik,” berkata Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu minta diri, Wacana yang sudah dapat duduk dan bahkan berjalan selangkah-selangkah itu bertanya, “Apakah kalian akan pergi ke sebuah peralatan?” “Tidak,” jawab Agung Sedayu. “Kami sedang diutus oleh Ki Argajaya untuk membicarakan anaknya, Prastawa.” “Melamar?” bertanya Wacana pula. “Juga tidak,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. “Jadi?” desak Wacana yang keheranan. “Justru membatalkan satu pembicaraan tentang pernikahan Prastawa. Tetapi sejak pertama, pembicaraan tentang pernikahan itu sudah tidak wajar,” jawab Agung Sedayu. Wacana hanya mengangguk-angguk saja. Persoalan yang dibawa oleh Agung Sedayu itu tentu berbelit, sehingga untuk menjelaskannya diperlukan waktu. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian seisi rumah itu pun telah berangkat. Mereka lebih dahulu singgah di rumah Ki Gede. Kemudian bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi, mereka berangkat ke Kademangan Kleringan. Namun sebelum mereka berangkat, maka Agung Sedayu telah memberikan sedikit cerita tentang peristiwa yang terjadi atas Rara Wulan, sehingga mereka pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, “Pandan Wangi telah bersiap menghadapinya. Karena persoalannya telah jelas. Kita tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Sementara itu, bagi mereka sikap ini berarti kekerasan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi betapapun beban itu memberati keberangkatan kita, tetapi kita harus berusaha. Sejauh dapat kita lakukan.” Swandaru justru tertawa. Katanya, “Satu harapan yang sia-sia. Sebaiknya kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Meskipun demikian, tidak ada di antara kita yang menunjukkan sikap seperti itu. Kita semuanya tidak ada yang semata-mata membawa senjata.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Senjata Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak nampak karena berada di bawah baju mereka. Sementara itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan membawa selendang, Sedangkan Pandan Wangi membawa sepasang pisau belati di lambung, di bawah bajunya yang longgar. Pisau belati memang hanya pendek saja, sehingga sama sekali tidak nampak justru karena Pandan Wangi memakai baju yang longgar. Adapun Glagah Putih telah mengenakan ikat pinggang kulitnya, yang juga merupakan senjatanya yang diandalkannya. Hanya Ki Jayaraga saja-lah yang memang tidak membawa senjata. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk mempergunakan ikat kepalanya, baik sebagai perisai maupun sebagai senjata, jika diperlukan. Meskipun Ki Jayaraga tidak memiliki ikat kepala khusus sebagaimana Ki Waskita. Ki Gede yang sudah mendapat penjelasan tentang keadaan yang akan dihadapi oleh sekelompok orang yang pergi ke Kademangan Kleringan itu, memang menjadi berdebar-debar. Namun Ki Gede memang tidak menawarkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya menurut Ki Gede memang persoalan pribadi. “Berhati-hatilah,” pesan Ki Gede, “namun bagaimanapun juga kalian harus berusaha untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mempergunakan kekerasan. Mungkin Angger Swandaru benar, bahwa harapan itu akan sia-sia. Tetapi segala sesuatunya yang belum terjadi itu tidak lebih dari satu kemungkinan, yang masih dipengaruhi oleh keadaan terakhir dari persoalan itu sendiri. Tetapi juga mungkin sekali pengaruh lain.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena yang mengatakannya adalah mertuanya, maka ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, beberapa saat kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajaya itu telah berangkat. Prastawa sendiri tidak ikut bersama utusan itu. Namun ketika ia berdiri di regol saat utusan itu berangkat, Prastawa sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah aku harus mempersiapkan sekelompok pengawal terpilih dan memasuki Kademangan Kleringan?” “Jangan,“ berkata Agung Sedayu, “jika hal itu kau lakukan, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ki Demang Kleringan akan dapat tersinggung.” “Jika Ki Demang Kleringan tersinggung, ia mau apa? Jika ia melibatkan diri dalam persoalan ini, maka aku akan menggilas Kleringan dengan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.” “Tidak. Itu tidak perlu. Serahkan segala-galanya kepada kami. Kami akan berusaha membuat penyelesaian terbaik.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa cemas atas keselamatan orang-orang yang telah dipilih menjadi utusan ayahnya untuk pergi ke Kleringan itu. Namun Prastawa berusaha untuk meyakini bahwa yang pergi ke Kademangan Kleringan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu menurut perhitungannya, Ki Demang Kleringan tentu tidak akan melibatkan dirinya. Bahkan mungkin Ki Demang tidak tahu menahu persoalan yang menyangkut dirinya itu. Keberangkatan beberapa orang ke Kademangan Kleringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang yang berpapasan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana. “Kami akan pergi ke Kleringan,” jawab Agung Sedayu, “ada persoalan sedikit menyangkut hubungan Kleringan dan Tanah Perdikan, setelah orang-orang di perkemahan itu terusir.” “Apakah orang-orang Kleringan akan membuat persoalan?” bertanya seorang anak muda. “Tidak. Bukan itu. Tetapi bagaimana kita akan bersama-sama menangani perkemahan yang ditinggalkan oleh para penghuninya, karena sebagian dari perkemahan itu berada di Tanah Perdikan, tetapi ada pula yang berada di Kademangan Kleringan.” “Kenapa Ki Gede tidak memanggil saja Ki Demang Kleringan, sehingga beberapa orang Tanah Perdikan harus pergi kesana?” bertanya anak muda yang lain. “Karena selain pembicaraan yang sungguh-sungguh, kami akan melihat keadaannya,” jawab Agung Sedayu pula. Jawaban itu agaknya dapat memberi kepuasan sedikit kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan itu. Sementara itu. Ki Suratapa benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendakinya. Kawannya sudah mempersiapkan sepuluh orang berilmu tinggi untuk melakukan tindak kekerasan, jika pembicaraan yang akan dilakukan itu gagal. Dengan kesadaran bahwa di Tanah Perdikan ada orang-orang yang berilmu tinggi, maka sepuluh orang yang dipilih adalah orang-orang yang menurut perhitungan mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Mereka bukan sekelompok orang dari satu perguruan. Tetapi kawan Ki Suratapa itu telah membawa orang-orang terbaik dari tiga perguruan yang lain. “Seandainya yang datang sebagai utusan Ki Argajaya itu berjumlah dua puluh orang sekalipun, maka kami tentu akan dapat mengatasinya,“ berkata kawan Ki Suratapa itu. “Aku dan Suradipa tentu tidak hanya akan tinggal diam,“ berkata Ki Suratapa. “Hanya Suracala saja-lah yang tidak dapat kami harapkan. Wiradadi dan kedua orang kawannya, yang tadi siang sudah harus menghalau sekelompok orang dari Tanah Perdikan, tentu masih mendendam.” “Kalian tidak perlu turut campur,“ berkata kawan Ki Suradipa itu, namun katanya selanjutnya, “kecuali jika kalian sendiri menginginkan untuk membalas dendam dengan tangan kalian sendiri.” “Ya,” jawab Suratapa, “Wiradadi tentu ingin menangkap orang yang siang tadi telah memperlakukannya dengan kasar. Atau salah seorang dari mereka, jika nanti ikut datang kemari.” Kawan Ki Suratapa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami akan berada di luar padukuhan. Jika kami harus bertindak, maka kami akan lebih bebas melakukannya. Karena itu, maka apapun yang harus kami lakukan, kau harus mengirimkan orangmu menemui kami di bulak di luar padukuhan.” “Sekali lagi aku ingatkan meskipun kalian sudah mengerti, bahwa di Tanah Perdikan banyak terdapat orang berilmu tinggi.” “Ya. Tetapi kami sudah siap. Meskipun demikian, kami tetap ragu-ragu bahwa Ki Gede akan membantu adiknya yang telah mengkhianatinya. Meskipun demikian, aku pun ingin mengingatkanmu, bahwa kami tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan langsung melibatkan pasukan pengawalnya.” “Menurut perhitunganku, hal itu tidak mungkin dilakukan,” jawab Ki Suratapa. “Baiklah. Apapun yang akan terjadi kemudian adalah tanggung jawabmu Suratapa. Tetapi jangan cemaskan tentang orang-orang yang bakal datang sore ini.” Dengan demikian, maka sepuluh orang yang sudah dipersiapkan itu telah mengambil tempat di luar padukuhan. Mereka berada di pategalan. Namun dua orang di antara mereka duduk di pinggir jalan, untuk melihat siapa saja yang bakal datang ke rumah Ki Suracala. Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi barat, maka seorang yang ditugaskan oleh Ki Suratapa untuk melihat-lihat keadaan, dengan bergegas lewat jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu. Ketika kedua orang yang menunggu itu melihatnya, maka orang itu pun dihentikannya. “Apakah mereka sudah datang?” bertanya salah seorang dari mereka. “Ya, aku sudah melihat mereka,” jawab orang itu. “Berapa orang?” “Belum jelas. Tetapi kurang dari sepuluh. Separuh dari mereka adalah perempuan,” jawab orang itu. “Perempuan?” “Ya. Mereka nampaknya utusan resmi Ki Argajaya. Menilik pakaiannya, mereka seperti orang yang sedang pergi melamar. Resmi sekali.” “Licik. Ki Argajaya bersembunyi di belakang punggung perempuan. Tadi pagi ia mengutus anak-anak. Bahkan seorang di antaranya juga perempuan. Agaknya ia tidak mempunyai cara yang lebih jantan untuk membuat penyelesaian masalahnya.” “Sudahlah,“ berkata orang itu, “aku akan menyampaikan kabar ini kepada Ki Suratapa.” Kedua orang itu tidak mencegahnya, sehingga orang itu pun segera berlari-lari kecil menuju ke padukuhan. Kedua orang itu pun segera memberitahukan kedatangan orang-orang Tanah Perdikan itu kepada kawan-kawannya. Mereka memang menjadi sangat kecewa, bahkan ada yang mengumpat-umpat ketika mereka tahu bahwa yang datang separuh di antaranya adalah perempuan, sehingga dengan demikian, maka kemungkinan terjadinya kekerasan menjadi kecil. “Aku sudah kehilangan banyak waktu. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa di sini, maka waktu yang hilang itu benar-benar tidak berarti lagi.” “Kita masih menunggu. Jika perlu, maka perempuan-perempuan itu justru akan dapat menjadi bahan taruhan jika Ki Argajaya menjadi keras kepala.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang berkumis lebat berkata dengan suaranya yang mengguntur, “Sudah aku katakan, bahwa aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku. Jika mereka membawa perempuan kepadaku, itu salah mereka.” “Apapun yang dapat kita lakukan, tetapi kita masih tetap terikat pada tugas yang sudah kita bicarakan dengan Suratapa. Karena itu, maka kita harus menunggu, apa saja yang dapat kita lakukan atas orang-orang yang datang ke padukuhan itu.” “Jika aku berbuat atas tanggung jawabku sendiri, maka tidak seorang pun yang mampu mencegah aku,” jawab orang berkumis lebat itu. “Kau dapat melakukannya setelah tugas pokok kita selesai. Ingat, yang menentukan adalah Suratapa.” Orang itu tidak menjawab. Sementara orang yang berkepala botak berkata, “Kita lihat, siapa saja yang lewat.” “Jika kita semuanya turun ke jalan, maka mereka tentu akan membuat perhitungan tentang kehadiran kita.” “Tetapi mereka sudah ada di sini. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka akan kembali, kita justru akan menggiring mereka agar mereka berjalan terus.” Ternyata yang lain pun sependapat. Karena itu, maka sepuluh orang itu pun telah pergi ke pinggir jalan. Namun mereka masih juga berusaha untuk tidak semata-mata berkumpul sepuluh orang. Tetapi mereka berusaha untuk menebar. Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, lewat sebuah iring-iringan kecil. Mereka adalah Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Swandaru, Glagah Putih, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan. Ketika mereka melewati beberapa orang yang duduk di pinggir jalan meskipun menebar, panggraita mereka sudah tersentuh. Nampaknya orang-orang yang duduk di pinggir jalan itu bukan para petani yang memiliki kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelah jalan itu. Tetapi sepanjang orang-orang itu tidak berbuat sesuatu, maka Ki Jayaraga dan para pengiringnya sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dengan tenangnya orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu melintasi mereka, orang-orang yang menebar di pinggir jalan sambil memperhatikan sekelompok orang yang lewat itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Di antara utusan Ki Argajaya itu terdapat tiga orang perempuan. Seorang di antaranya masih terlalu muda. Sedangkan yang dua orang, adalah perempuan yang mulai menjadi masak. Yang sangat menarik perhatian, ketiganya adalah perempuan-perempuan yang cantik. Justru mereka menggunakan pakaian yang terpilih. Sehingga dengan demikian maka utusan Ki Argajaya itu nampaknya benar-benar utusan yang resmi. Demikian iring-iringan itu lewat, maka sepuluh orang yang menebar itu telah berkumpul kembali. Orang yang berkumis lebat itu berkata, “Aku dapat dibuat gila karenanya.” “Ki Argajaya memang cerdik sekali. Ia mengirim utusan resmi yang separuh di antaranya adalah perempuan. Dengan demikian, sulit bagi Ki Suratapa untuk bertindak dengan kekerasan jika ia masih mempunyai harga diri,“ berkata kawan Ki Suratapa. “Kenapa?” bertanya orang yang berkumis lebat, “Bukankah itu salah Argajaya sendiri? Bagiku, kita tidak akan peduli siapapun yang datang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan Ki Suracala, maka mereka akan dibereskan di sini.” “Tentu tidak semudah itu. Meskipun Ki Suratapa sudah berjanji bahwa akibat yang timbul dari rencananya ini bukan tanggung jawab kita, tetapi apakah kita akan melakukan kekerasan terhadap sekelompok utusan resmi, yang separuhnya terdiri dari perempuan?” “Aku berpikir sebaliknya,“ berkata seorang yang bertubuh agak pendek tetapi sedikit gemuk, “perempuan itu akan dapat menjadi taruhan. Jika Argajaya tidak memenuhi tuntutan Suratapa, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pulang ke rumah mereka.” “Jika demikian, maka harga diri Tanah Perdikan Menoreh-lah yang tersinggung. Keluarga Suratapa akan dapat digilas sampai lumat. Bahkan keluarganya yang berada di Pringsurat sekalipun.” “Bukankah jika terjadi demikian bukan tanggung jawab kita?” bertanya orang yang berkumis lebat. “Itu menyalahi pembicaraan kita dengan Ki Suratapa. Kecuali jika Ki Suratapa menghendaki demikian.” Orang berkumis lebat itu tidak menjawab. Tetapi agaknya ia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Tiga orang perempuan yang ada di dalam iring-iringan itu adalah perempuan-perempuan yang sangat cantik. Bahkan seandainya ia diberi hak untuk memilih, maka ia akan mengalami kesulitan. Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu sudah mendekati padukuhan. Ketika mereka kemudian memasuki regol, maka dari belakang dinding halaman di sudut padukuhan, Wiradadi dan kedua orang pengikutnya ternyata telah mengintip mereka dari balik rumpun bambu. Jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda dan gadis yang pagi tadi datang ke padukuhan itu, telah ikut pula bersama sekelompok utusan Ki Argajaya. “Setan anak itu,” geram Wiradadi. “Bukankah satu kebetulan,“ berkata orang yang berwajah garang itu, “kita akan dapat membalas dendam.” “Apakah kau masih berani bertempur melawan mereka?” bertanya Wiradadi. “Ada sepuluh orang di bulak. Kita bergabung dengan mereka.” jawab orang yang berwajah garang itu. Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Perempuan yang telah mempermalukan aku itu harus menyesali perbuatannya. Ia tidak akan terlepas dari tanganku.” Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu telah mendekati rumah Ki Suracala. Glagah Putih yang sudah mengetahui letak rumah itu, berjalan di depan. Dalam pada itu. Ki Suracala sudah mendapat pemberitahuan bahwa utusan dari Tanah Perdikan sudah datang. Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka. Untuk menghormati tamunya, maka Ki Suracala telah mengenakan pakaian yang pantas. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin dianggap seorang yang tidak mengenal unggah-ungguh. “Buat apa kau memakai pakaian lengkap seperti itu?” bertanya Ki Suratapa. “Bukankah utusan Ki Argajaya juga mengenakan pakaian yang baik dan pantas? Bahkan kedua orang anak yang datang pagi tadi pun berpakaian rapi sesuai dengan tugas mereka.” “Aku tidak peduli,“ berkata Ki Suradipa. “Itu terserah kepadamu,” jawab Ki Suracala, “tetapi aku peduli atas kedatangan mereka.” “Tetapi ingat Suracala,” geram Suratapa, “kau harus tahu diri. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu sekarang ini. Apalagi jika mertua Wiradadi mengetahui apa yang terjadi. Mungkin seluruh keluargamu sudah dibunuhnya, karena ia tentu tidak mau nama keluarga anaknya tercemar karena tingkah laku gadis liarmu itu.” “Tidak, itu fitnah,” geram Ki Suracala. “Sekali lagi aku peringatkan. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu. Hidup mati Kanthi berada di ujung lidahmu,“ berkata Ki Suratapa. Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa keselamatan Kanthi, dan bahkan seluruh keluarganya, tergantung pada sikapnya. Ki Suracala memang mempercayainya. Bahkan mertua Wiradadi yang garang akan dapat berbuat apa saja atas Kanthi, yang dianggapnya dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga anaknya itu. Saudara sepupunya yang bengis itu, untuk melindungi keselamatan anak lelakinya, akan dapat saja melemparkan fitnah, seakan-akan Kanthi sengaja menggodanya sehingga perbuatan yang tercela itu telah terjadi. Namun demikian, sebenarnya hati Ki Suracala tidak membenarkan langkah yang diambil oleh sepupunya itu dengan mengorbankan Prastawa, anak Ki Argajaya, justru karena Ki Argajaya sejak lama tersisih dari keluarga Tanah Perdikan Menoreh karena pengkhianatannya yang menelan banyak korban itu. Namun bagaimanapun juga, Ki Suracala harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ki Suratapa sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk memaksakan kehendaknya. Dalam pada itu, sejenak kemudian, utusan Ki Argajaya dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai ke depan regol halaman rumahnya. Seseorang yang diperintahkan oleh Ki Suracala menunggu, segera mempersilahkan mereka masuk. Ki Suracala sudah mempersiapkan diri untuk menerima mereka. Ki Suradipa juga sudah berada di pendapa pula. Dengan ramah dan dengan unggah-ungguh yang utuh, Ki Suracala menerima utusan Ki Argajaya. Mereka pun kemudian dipersilakan untuk naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Suratapa dan Ki Suradipa juga ikut menerima tamu-tamu itu. Ki Suracala pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan tamunya di perjalanan, serta keluarga yang mereka tinggalkan. Baru kemudian Ki Suracala telah memperkenalkan kedua orang saudara sepupunya itu. Ki Jayaraga yang ditugaskan untuk memimpin utusan itu pun telah memperkenalkan diri pula. Disebutnya dirinya sendiri sebagai saudara sepupu Ki Argajaya. Kemudian diperkenalkannya orang-orang yang menyertainya seorang demi seorang. Ketika Ki Jayaraga menyebut nama Pandan Wangi, istri Swandaru, sebagai putri Ki Gede Menoreh, maka Ki Suratapa, Ki Suradipa dan bahkan Ki Suracala sendiri menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga anak Ki Gede Menoreh itu tentu datang atas sepengetahuan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atas anak perempuannya, sudah tentu Ki Gede tidak akan tinggal diam. Ki Suratapa sudah mulai merasa bahwa perhitungannya tidak seluruhnya benar. Ia mengira bahwa Ki Gede dan keluarganya tidak akan mempedulikan nasib Ki Argajaya, dan bahkan nasib Prastawa. Namun ternyata bahwa anak perempuan Ki Gede itu sendiri telah datang ke rumah Ki Suracala. Kedatangan Pandan Wangi agaknya benar-benar berpengaruh. Bagaimanapun juga mereka harus memperhitungkan sikap Ki Gede di belakang utusan yang datang itu. Tetapi Ki Suratapa masih mempunyai satu jalan. Mengungkit harga diri keluarga Ki Argajaya, sehingga tidak berlindung di bawah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Karena persoalannya sangat terbatas pada persoalan pribadi dan harga diri sebuah keluarga. Beberapa saat Ki Suracala masih belum menyinggung persoalan yang sebenarnya. Ia masih saja berbicara tentang berbagai hal di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Bahkan mereka juga berbicara tentang orang-orang yang ada di perkemahan, yang terusir oleh kekuatan dari Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan pun telah dihidangkan, sehingga pembicaraan pun terputus untuk beberapa saat. Baru kemudian, setelah minum beberapa teguk, maka Ki Suracala pun telah bertanya, “Ki Sanak. Sebagaimana Ki Sanak katakan tadi, bahwa kedatangan Ki Sanak adalah mengemban tugas dari Ki Argajaya. Nah, barangkali Ki Sanak dapat menguraikan pesan dari Ki Argajaya itu?” Ki Jayaraga yang rambutnya sudah ubanan itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Ki Suracala. Kami sudah menerima pesan-pesan Ki Suracala. Jika hari ini kami datang sebagai utusan Ki Argajaya, maka persoalan yang pernah Ki Suracala sampaikan kepada Ki Argajaya itulah yang ingin kami bicarakan sekarang ini.” Sebelum Ki Suracala menjawab, maka Ki Suratapa sudah menyahut, “Lalu, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan itu? Tetapi tidak terlalu lama lagi, karena keadaan Kanthi sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersembunyi lebih lama.” “Maaf, Ki Suratapa,” jawab Ki Jayaraga, “bukan maksud kami menunda-nunda persoalan. Tetapi sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Ki Suracala sendiri. Bahkan masih tersisa satu hari lagi.” “Ya. Memang masih ada waktu,“ sahut Ki Suracala. Tetapi Ki Suradipa segera memotong, “Tugas Ki Sanak tinggal menyampaikan keputusan Ki Argajaya, kapan ia akan melangsungkan pernikahan Kanthi dengan Prastawa. Bukankah tinggal menyebut hari, pasaran dan tanggal. Kenapa ragu-ragu?” Ternyata orang berwajah garang itu memang licik. Sementara Ki Jayaraga belum menjawab, Ki Suradipa sudah mendahului, “Tentu saja semakin cepat akan menjadi semakin baik.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya. Semakin cepat persoalan ini selesai, tentu semakin baik.” Ki Suradipa mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus. Jika demikian, sebut saja, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan anaknya. Nanti setelah persoalan pokok yang kita bicarakan selesai, kita dapat berbicara tentang apa saja. Mungkin tentang pelaksanaannya atau tentang hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan pernikahan itu. Biaya, misalnya.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya yang ditujukan kepada Ki Suracala, “Maaf. Ki Suracala. Sebelumnya, baiklah aku menyampaikan pesan Ki Argajaya lebih dahulu. Bukan tentang hari-hari pernikahan, tetapi tentang kebenaran persoalan itu sendiri.” “Cukup,” potong Ki Suratapa, “sudah aku katakan bahwa kami hanya mau mendengar pesan Ki Argajaya tentang saat pernikahan. Yang lain tidak.” “Tentu kita akan sampai kepada persoalan pernikahannya itu sendiri. Tetapi bukankah pernikahan itu bukan satu persoalan yang berdiri sendiri?” berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, “Karena itu. maka jika kita berbicara tentang pernikahan itu, maka kita tentu akan berbicara tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan itu sendiri. Misalnya, siapa orangnya, bagaimana sikap keluarganya, dan kenapa pernikahan itu harus berlangsung. Tanpa kejelasan tentang hal itu, maka pernikahan itu akan menjadi kabur. Siapa yang akan menikah, apakah orang tuanya sependapat, atau apakah kedua orang yang akan menikah itu sudah setuju atau bahkan menolak.” “Jangan berputar-putar Ki Jayaraga,“ berkata Ki Suradipa, “kami tidak mempunyai minat untuk berbicara tentang hal-hal yang lain kecuali pernikahan itu sendiri.” “Tetapi bukankah harus dijelaskan, siapa yang akan menikah dengan siapa. Tentu bukan aku.” “Itu sudah jelas. Jangan mengada-ada. Yang menikah adalah Prastawa dengan Kanthi. Mereka harus menikah karena hubungan mereka telah melampaui batas sehingga Kanthi mengandung. Sementara itu hubungan antara keduanya semula sudah direstui oleh orang tuanya. Nah, apa lagi?“ berkata Ki Suratapa. “Itulah yang ingin kami cocokkan,” jawab Ki Jayaraga, “bukan karena kami tidak mempercayainya, tetapi mungkin ada kekeliruan atau salah paham. Menurut pengakuan Prastawa, ia sama sekali tidak pemah berhubungan dengan Kanthi dalam pengertian yang menyebabkannya mengandung. Prastawa mengaku bahwa ia kenal baik dan akrab dengan Kanthi. Tetapi tidak lebih dari persahabatan biasa. Apalagi sampai melakukan pelanggaran seperti yang dimaksudkan.” “Siapa yang mengatakan itu?” bertanya Ki Suradipa. “Prastawa sendiri,” jawab Ki Jayaraga. “Kami sudah menduga bahwa Prastawa yang licik itu tidak akan berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Itulah sebabnya kami harus mempergunakan cara yang khusus untuk memaksa Prastawa berani bertanggung jawab,” geram Suradipa. “Soalnya bukan tidak berani bertanggung jawab, tetapi Prastawa tidak melakukannya,“ berkata Ki Jayaraga, “hal itu berkali-kali dikatakannya. Baik di hadapan ayahnya, Ki Argajaya, maupun di hadapan Ki Gede Menoreh.” “Ia berbohong. Apakah kalian akan melindungi seorang pengecut yang berbohong?” bertanya Ki Suratapa. “Ki Suracala,“ berkata Ki Jayaraga kepada Ki Suracala, “Ki Suracala adalah ayah gadis yang mengandung itu. Kami mengusulkan, agar Prastawa dan Kanthi dipertemukan di hadapan orang-orang tua yang berpengaruh dari kedua belah pihak. Biarlah keduanya berbicara dengan jujur. Apakah Prastawa memang bersalah.” “Tidak,“ Ki Suratapa hampir berteriak, “tidak ada gunanya. Prastawa tentu tetap berbohong. Kebohongan yang mantap tentu akan memberikan kesan bersungguh-sungguh. Dan itu akan dapat dilakukan oleh Prastawa.” “Tetapi kita harus berusaha untuk sampai pada satu kebenaran. Jika keduanya berbicara sendiri-sendiri, maka tidak akan pemah dapat dicari kenyataan yang sebenarnya terjadi,” berkata Ki Jayaraga. “Tidak. Aku sudah mengatakan tidak. Aku hanya ingin ketetapan waktu pernikahan, itu saja,” garam Ki Suratapa. “Tetapi bukankah ayah Kanthi adalah Ki Suracala?” bertanya Ki Jayaraga. Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi merah. Sementara itu Ki Suracala menjadi sangat gelisah. Namun Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mau banyak berbicara lagi. Waktu yang kami berikan masih tersisa satu hari. Namun karena kalian sudah ada di sini sebagai utusan Ki Argajaya, maka kita akan menetapkan saja hari pernikahan itu, dengan janji untuk ditepati oleh kedua belah pihak.” “Tetapi kami tidak mendapat wewenang untuk itu,“ jawab Ki Jayaraga. “Kalian menyampaikan keputusan ini kepada Ki Argajaya. Biarlah Ki Argajaya mematuhinya.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berpaling kepada Pandan Wangi sambil berkata, “Apakah menurut pendapat Angger Pandan Wangi, kita dapat bertindak sebagaimana dikatakan oleh Ki Suratapa?” Pandan Wangi menggeleng lemah. Sementara itu, Swandaru duduk dengan sangat gelisah, ia sudah mulai tidak telaten dengan pembicaraan yang berkepanjangan itu. “Tidak, Ki Jayaraga,“ berkata Pandan Wangi kemudian, “wewenang yang ada pada kami adalah menyampaikan kebenaran itu.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Nah, kau dengar? Angger Pandan Wangi adalah anak perempuan Ki Gede. Bahwa Angger Pandan Wangi disertakan dalam kelompok utusan ini, karena Ki Gede ingin tahu dengan pasti apakah Prastawa bersalah atau tidak. Jika Prastawa memang bersalah, maka Ki Gede sendiri akan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka Prastawa akan mendapat perlindungan.” “Persoalan ini adalah persoalan Ki Suracala dengan Ki Argajaya. Tentu saja Ki Gede dapat mengerahkan pasukannya untuk memaksakan kehendaknya. Tetapi itu adalah sikap yang sangat licik. Ia telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk melindungi kesalahan kemenakannya.” “Tidak. Ki Gede belum memutuskan untuk melindungi Prastawa. Ki Gede sedang berusaha untuk melihat kebenaran dari persoalan ini. Karena itu, maka aku berpendapat sebaiknya Prastawa dan Kanthi dipanggil bersama-sama untuk berbicara langsung, dengan jujur menyatakan kebenaran itu.” “Tidak. Itu tidak perlu,” jawab Ki Suratapa, “dalam keadaan yang demikian, Kanthi akan dapat menjadi ketakutan, dan tidak akan berani mengatakan kebenaran itu.” “Bukankah ia akan disertai oleh ayahnya, dan barangkali kalian berdua?” jawab Ki Jayaraga. “Tidak. Kami tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi,“ berkata Ki Suratapa. “Selebihnya, aku ingin menegaskan bahwa persoalannya adalah persoalan antara keluarga Ki Suracala dengan keluarga Ki Argajaya. Kecuali jika seperti Prastawa, Ki Argajaya tidak berani mempertanggung-jawabkan tingkah laku anaknya, sehingga Ki Gede terpaksa ikut campur dan menyalah-gunakan kekuasaannya.” “Tidak. Ki Gede tidak akan menyalah-gunakan kekuasaannya,” potong Swandaru yang tidak sabar. “Jika kebenaran itu sudah kami yakini, maka kami akan menyelesaikan persoalan ini tanpa dukungan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Maksudku, pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.” Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi tegang. Sejak mereka mengetahui bahwa Ki Gede mengirimkan langsung anak perempuannya, maka mereka sudah menjadi gelisah. Karena jika terjadi sesuatu dengan anak perempuannya, maka Ki Gede tentu tidak akan diam saja. “Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang licik,“ berkata Ki Suratapa di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan melibatkan Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Ki Argajaya telah mengikut sertakan anak perempuan Ki Gede, maka maksudnya tentu sudah jelas. Tetapi dengan demikian, maka kebenaran itu tidak akan pernah ditegakkan.” Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba saja Rara Wulan memotong, “Apakah yang kau maksud dengan kebenaran dalam persoalan ini? Kenyataan dari kejadian yang telah terjadi, atau kenyataan yang terjadi di dalam angan-anganmu?” Agung Sedayu terpaksa menggamitnya sambil berdesis, “Biarlah Ki Jayaraga menegaskannya, Rara.” Tetapi Swandaru justru menyahut, “Aku pun akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Apa yang dimaksud dengan kebenaran yang harus ditegakkan itu?” Wajah Ki Suratapa menjadi tegang. Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Kami menunggu keputusan Ki Suracala. Seperti tadi aku katakan, sebaiknya kita memanggil Prastawa dan Kanthi bersama-sama. Kita minta keduanya berbicara dengan jujur, agar persoalan yang sebenarnya dapat kita lihat.” “Jawabannya tidak berbeda dengan jawabanku,” Ki Suratapa hampir berteriak. Namun Ki Jayaraga berkata, “Jika di sini tidak ada Ki Suracala, maka aku akan mendengarkan keterangan orang yang mewakilinya. Tetapi di sini ada Ki Suracala, yang justru lebih banyak berdiam diri.” Sebenarnyalah bahwa perasaan Ki Suracala bagaikan diremas oleh persoalan yang dihadapinya. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan wajahnya menjadi pucat sekali. “Kalian tidak perlu memaksanya berbicara,” geram Ki Suradipa, “ia sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada kami.” Tetapi Ki Jayaraga seolah-olah tidak mendengarnya. Dengan suaranya yang masih saja sareh dan tenang ia bertanya, “Katakanlah, apa yang terbaik menurut Ki Suracala.” Suasana benar-benar telah mencengkam. Jantung Ki Suracala rasa-rasanya akan meledak. Ia tahu bahwa Prastawa tidak bersalah. Bahkan ia telah difitnah. Tetapi ia berada di bawah ancaman kedua sepupunya. Bahkan bayangan kegarangan mertua Wiradadi telah menghantuinya pula. Dalam keadaan yang kalut dimana kebenaran tidak dapat diutarakannya, maka tiba-tiba saja Ki Suracala itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya telah menutupi wajahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja menangis. Ki Suratapa dan Ki Suradipa yang melihat Ki Suracala menangis, hampir bersamaan membentak, “He! Kau kenapa?” Ki Suracala tidak dapat menjawab. Bahkan laki-laki itu terguncang karena menahan tangisnya. “Setan kau. Kenapa kau menjadi cengeng?“ Ki Suratapa hampir berteriak, “Kau seorang laki-laki, Suracala. Betapapun berat beban perasaanmu, kau tidak akan menangis.” Ki Suracala tidak menjawab. Ia masih berjuang untuk mengatasi gejolak perasaannya. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa tidak melihat lagi kemungkinan untuk memaksakan kehendaknya. Ternyata Ki Argajaya mempunyai cara tersendiri untuk memancing agar Ki Gede terlibat ke dalamnya, dengan menempatkan anak perempuannya menjadi salah satu dari utusannya ke rumah Ki Suracala. Dengan demikian, maka Ki Suratapa dan Ki Suradipa pun menjadi mata gelap. Mereka tidak lagi dapat berpikir jauh. Niatnya adalah menangkap tiga orang perempuan yang ada di dalam sekelompok utusan Ki Argajaya. Jika Prastawa tidak mau menikahi Kanthi, maka perempuan-perempuan itu tidak akan dilepaskan. Tetapi jika Ki Gede melibatkan diri dengan mengerahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka ketiga perempuan itu akan dibunuh saja. Ancaman itu harus didengar oleh Ki Argajaya dan Ki Gede. Karena itu, maka jika terjadi benturan kekerasan, tidak semua orang dalam sekelompok utusan itu akan dibunuh. “Satu dua di antara mereka akan tetap hidup, memberitahukan ancaman itu kepada Ki Argajaya dan Ki Gede.” Karena itu, maka Ki Suratapa yang sudah menjadi kehilangan akal itu pun berkata, “Ki Jayaraga. Jika kau tidak dapat mengatakan kapan pernikahan itu dilakukan, atau kau tidak mau membicarakannya sekarang, maka pembicaraan selanjutnya tidak ada gunanya. Aku minta kalian meninggalkan tempat ini.” Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia tidak mengira bahwa akhir dari pembicaraan itu hanya sampai di situ. Ia mengira bahwa akan terjadi benturan kekerasan karena kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah. Namun ternyata saudara-saudara sepupu Ki Suracala itu hanya mengusirnya saja. Namun sebenarnyalah bahwa pengusiran itu bukan langkah terakhir bagi Ki Suratapa dan Ki Suracala. Mereka masih mempunyai sepuluh orang upahan yang menunggu di bulak. Jika utusan dari Tanah Perdikan itu lewat di bulak itu, maka mereka akan disergap. Tiga orang perempuan itu akan menjadi tanggungan. Setidak-tidaknya seorang di antara laki-laki dalam kelompok utusan itu harus hidup dan menyampaikan pesan Ki Suratapa kepada Ki Argajaya dan Ki Gede Menoreh. Karena persoalannya tidak lagi dapat dibicarakan, maka Ki Jayaraga pun menganggap bahwa tidak ada gunanya untuk berbicara lebih jauh. Ki Jayaraga menganggap bahwa dengan demikian, maka Prastawa telah bebas dari tuntutan mereka. Atau akan ada utusan lagi dari keluarga Ki Suracala yang akan menyampaikan syarat-syarat pembicaraan yang baru. Namun demikian, penggraita Ki Jayaraga, bahkan semua orang dalam kelompok utusan itu, tidak yakin bahwa Ki Suratapa benar-benar akan melepaskan mereka begitu saja. Apalagi mereka mengetahui bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah dicegat di tengah bulak pula, sehingga peristiwa buruk itu akan dapat terulang. Meskipun demikian, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Baiklah Ki Suracala. Jika Ki Suracala sama sekali tidak dapat memberikan jawaban, sementara itu Ki Suratapa dan Ki Suradipa menganggap bahwa pembicaraan selanjutnya sudah tidak perlu, maka kami akan minta diri. Langit sudah mulai buram, sehingga malam akan segera turun.” Ki Suracala benar-benar tidak dapat menjawab. Ia tahu benar apa yang akan dilakukan oleh kedua sepupunya atas orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh jika pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu. Namun ia tidak dapat meneriakkan hal itu, karena ia tahu bahwa persoalannya akan menyangkut keselamatan Kanthi dan keluarganya. Sementara itu, lampu minyak memang sudah dinyatalan di ruangan-ruangan, dan di pendapa, bahkan oncor pun telah dipasang di regol halaman. Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga minta diri, maka tiba-tiba tiga orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Suracala tanpa turun dari punggung kudanya. Kuda-kuda yang tegar itu pun kemudian telah berhenti di depan pendapa rumah Ki Suracala. Baru kemudian ketiga orang itu meloncat turun dari kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu pada patok di sisi tangga pendapa, maka ketiga orang itu pun segera naik ke pendapa. Kedatangan ketiga orang itu benar-benar telah mengejutkan Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Orang itu adalah mertua Wiradadi yang garang. Orang yang mereka takuti, karena mertua Wiradadi adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa bangkit berdiri menyambut orang yang datang itu, maka Ki Jayaraga dan orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu pun telah bangkit pula untuk ikut menghormati mereka, meskipun mereka belum tahu siapakah yang telah datang itu. Betapapun segannya, Swandaru pun telah ikut berdiri pula. Kepada Glagah Putih ia berbisik, “Siapakah mereka itu?” Glagah Putih menggeleng. Desisnya, “Aku belum tahu.” Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. “Kami mengucapkan selamat datang,“ berkata Ki Suratapa. “Terima kasih, “jawab orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang dan bercambang lebat. “Aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi di sini,” geram orang itu, “karena itu aku datang untuk mengambil Kanthi, perempuan liar yang telah merusakkan rumah tangga anakku.” Wajah-wajah mereka yang berdiri di pendapa itu menjadi tegang, termasuk utusan Ki Argajaya. Sementara itu orang itu pun berkata selanjutnya, “Aku pun ingin bertemu dan berbicara dengan Wiradadi. Aku ingin tahu apakah Wiradadi yang bersalah atau Kanthi yang bersalah. Setelah aku tahu dengan pasti, maka aku akan mengambil keputusan. Aku tidak mempunyai belas kasihan kepada siapapun yang telah menista kehidupan keluarga anakku.” Ketegangan telah mencengkam pendapat itu. Ki Suratapa yang berusaha membuat penyelesaian sendiri tanpa setahu ayah mertua Wiradadi, ternyata tidak berhasil. Ternyata orang itu sudah mengetahui apa yang terjadi. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Kakang Wreksadana, di sini kami sedang berusaha untuk mencari kebenaran tentang seorang anak muda yang bernama Prastawa.” “Aku sudah tahu. Kalian menduga Kanthi telah mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Tetapi karena Prastawa tidak mau bertanggung jawab, maka Kanthi telah menjebak Wiradadi, sekedar untuk menyandarkan keadaannya yang tidak dapat disembunyikan lagi.” “Ya. Kakang,“ jawab Ki Suratapa, “dengan demikian maka Prastawa-lah yang harus bertanggung jawab atas keadaan Kanthi sekarang ini.” “Apapun yang terjadi dalam hubungan antara Prastawa dan Kanthi, aku tidak peduli. Tetapi bahwa Wiradadi sudah terjebak, itu merupakan persoalan bagi anak perempuanku, dan sudah tentu bagiku,” jawab orang yang disebut Wreksadana itu. Ki Suratapa menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang itu pun berteriak, “Panggil Wiradadi!” Suasana memang menjadi bertambah tegang. Sementara itu Ki Suracala yang justru menjadi tegang melihat keadaan itu berkata, “Ki Wreksadana, silahkan duduk.” “Terima kasih. Aku tidak akan lama. Aku hanya akan berbicara dengan Wiradadi sebentar. Kemudian mengambil Kanthi.” Tidak ada seorangpun yang berani membantah. Sementara itu utusan Ki Argajaya hanya dapat menunggu, apakah yang akan terjadi kemudian. Sejenak kemudian, maka Wiradadi pun telah diajak ke pendapa itu pula. Ternyata orang itu telah menjadi gemetar. Wajah mertuanya yang menyala itu membuat darahnya serasa telah membeku. “Wiradadi,“ berkata Ki Wreksadana, “aku sudah tahu semuanya. Di antara orang-orang yang dikumpulkan oleh ayahmu itu, terdapat beberapa di antaranya adalah orang-orangku pula. Jadi kalian tidak dapat membohongi aku. Kau dan Kanthi telah melakukan hubungan terlarang. Aku tidak peduli, apakah sebelumnya tersangkut nama Prastawa. Yang ingin aku tanyakan, apakah kau atau Kanthi yang mula-mula memancing sehingga terjadi perbuatan yang tidak pantas itu?” Wiradadi memang tergagap. Tetapi otaknya yang licik itu dengan cepat mampu bekerja. Yang kemudian dipikirkan oleh Wiradadi adalah justru keselamatannya sendiri. Ia tidak peduli apa yang akan dialami oleh orang lain. Bahkan penderitaan yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka Wiradadi tidak peduli bahwa keterangannya akan dapat mencekik Kanthi sekalipun. Karena itu, dengan licin Wiradadi menjawab, “Ayah tentu dapat membayangkan, apa yang terjadi atas diriku di sini, di rumah Paman, justru saat Kanthi memerlukan jalan keluar. Saat itu aku benar-benar terjebak di dalam biliknya sehingga aku tidak mungkin lagi menghindar.” “Jadi, kau dalam hal ini tidak bersalah? Kau hanya menjadi korban keliaran Kanthi?” bertanya Ki Wreksadana. “Ya Ayah. Aku memang menjadi sangat menyesal bahwa hal itu terjadi, sementara itu aku sangat mencintai istriku.” “Jika demikian, maka Kanthi yang pantas dihukum. Ia telah merampok suami orang, justru dengan maksud yang sangat buruk. Bukan karena ia mencintai Wiradadi, apalagi cinta yang mendapat tanggapan.” “Tentu Ayah. Aku sama sekali tidak tertarik pada Kanthi. Saat itu aku tidak menduga sama sekali bahwa aku telah dijebaknya dalam biliknya, justru karena ia masih saudaraku justru pada garis ketiga. Garis terlarang bagi seseorang untuk berumah tangga, seandainya kami saling mencintai sekalipun.” “Bagus. Jika demikian hati istrimu akan menjadi tenteram. Tetapi dengan demikian, bawa Kanthi kemari. Aku akan membawanya. Ia harus mendapatkan hukuman langsung dari istri Wiradadi.” “Tidak,“ tiba-tiba saja Ki Suracala menjadi tegar, “aku akan mempertahankan anakku. Ia tidak bersalah. Ketika Kanthi dalam keadaan putus asa karena isyarat yang diberikan oleh Prastawa, bahwa Prastawa tidak mencintainya, maka Wiradadi itu datang kemari. Ia memanfaatkan kekosongan di hati Kanthi.” “Diam!” bentak Ki Wreksadana, “aku tidak bertanya kepadamu.” “Tetapi aku Ayah Kanthi,” jawab Suracala. “Aku tidak peduli. Jika kau berkeras mempertahankan anakmu, maka kau pun akan aku anggap ikut bersalah. Kau tentu telah membantu anakmu menjebak Wiradadi.” “Bohong!” tiba-tiba saja Rara Wulan yang tidak dapat menahan diri berteriak, “Wiradadi bohong. Aku tahu bahwa wataknya tidak lebih baik dari seekor srigala. Kanthi baginya tidak lebih dari seekor kelinci. Apalagi dalam keadaan putus asa.” “Siapa kau?” bertanya Wreksadana. “Aku adalah salah seorang antara gadis-gadis yang mengalami perlakuan kasar Wiradadi. Untunglah aku dapat mempertahankan kehormatan dan memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadaku!” teriak Rara Wulan. Wajah Ki Wreksadana menjadi tegang, sementara wajah Wiradadi menjadi merah. Dengan suara lantang Ki Wreksadana berkata, “Gadis gila. Kenapa kau turut campur? Aku tahu, kau tentu salah seorang dari keluarga Prastawa. Kau datang membawa fitnah atas menantuku Wiradadi.” “Tidak. Kau-lah yang tidak jujur dalam persoalan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang kau berikan kepada Wiradadi sama sekali tidak berarti. Kau kira orang lain tidak tahu bahwa apa yang kau lakukan tidak lebih dari satu pagelaran lelucon, buat memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah? Aku, Ki Suracala, Kanthi, bahkan semua orang tahu, bahwa sebenarnya kau tidak mencari kebenaran. Tetapi kau ingin seakan-akan kau sudah bertindak adil di hadapan banyak orang.” “Tutup mulutmu!” bentak Ki Wreksadana. Tetapi Swandaru telah menyela, “Teruskan Rara. Berkatalah terus. Aku senang mendengarnya.” Sebenarnya Rara Wulan pun berkata selanjutnya, “Pertanyaan-pertanyaanmu dan jawaban-jawaban Wiradadi juga kau gunakan untuk mengangkat harga diri anak perempuanmu, bahwa seolah-olah suaminya tidak pernah berpaling kepada perempuan lain. Tetapi sebenarnyalah menantumu adalah seorang laki-laki yang lebih ganas dari srigala lapar.” “Kau kira orang lain dapat mempercayai kata-katamu?” teriak Ki Suratapa, “Bagaimana mungkin kau dapat membebaskan diri dari Wiradadi, seandainya ia benar-benar mengingininya? Apalagi memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadamu.” “Baru tadi siang hal itu terjadi. Ketika aku pulang dari rumah ini, Wiradadi dan dua orang pengikutnya telah mencegat kami di pategalan dan berusaha menyeretku masuk ke dalam gubug. Tetapi ternyata kemampuannya tidak lebih dari kemampuan anak-anak yang baru dapat berjalan selangkah-selangkah.” “Gila! Kenapa kau dapat membual demikian kasarnya di hadapan kami?” teriak Ki Wreksadana. “Aku tidak membual. Jika kalian ingin membuktikan, aku tantang sekarang Wiradadi berkelahi di halaman ini. Kalian akan menjadi saksi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah!“ Rara Wulan pun berteriak pula. Wajah Wiradadi menjadi pucat. Untunglah bahwa cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan telah menyaput wajah itu, sehingga Ki Suratapa tidak dengan segera melihatnya. Dalam ketegangan itu, Ki Wreksadana pun berkata, “Perempuan itu mencoba mengalihkan persoalan yang sebenarnya. Ki Suratapa, aku minta kau selesaikan perempuan ini. Sekarang aku minta agar Kanthi dibawa kemari. Aku memerlukannya. Ia harus datang menemui anak perempuanku, minta ampun dan menerima hukuman apapun yang akan diberikan oleh anak prempuanku itu, sehingga untuk selanjutnya Kanthi tidak akan pernah dapat merampok suami orang lain lagi.” “Tidak,” jawab Ki Suracala, “Kanthi tidak akan dibawa kemana-mana oleh siapapun.” “Ki Suracala. Kau tidak dapat menolaknya. Anakmu memang harus mendapat hukuman karena kesalahannya.” Rara Wulan-lah yang berteriak lebih keras lagi, “Kanthi tidak bersalah, kau dengar? Kanthi tidak bersalah!” Ki Wreksadana akhirnya kehabisan kesabaran. Dengan garangnya ia berkata kepada Ki Suratapa, “Usir perempuan itu. Jika yang lain mencoba menghalanginya, selesaikan saja mereka.” Ki Suratapa memang menjadi bingung. Orang-orangnya tidak ada di halaman rumah itu, tetapi mereka menunggu di bulak. Ki Wreksadana melihat kebimbangan itu. Dengan lantang ia berkata, “Orang-orangmu ada di sini. Aku membawa mereka kemari. Sebagian dari mereka sebenarnya adalah orang-orangku, sehingga aku tahu apa yang terjadi di sini. Juga tentang utusan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan mereka. Aku hanya ingin membawa Kanthi. Tetapi jika mereka sengaja melibatkan diri, apa boleh buat.” “Ki Wreksadana,“ berkata Ki Suracala, “apa yang dikatakan Angger Rara Wulan adalah benar. Kau tentu hanya sekedar ingin menyelamatkan perkawinan anakmu dengan Wiradadi. Kau ingin memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah, meskipun bagimu itu hanya sekedar pura-pura. Aku tidak peduli kepura-puraanmu, Ki Wreksadana. Tetapi kau tidak perlu mengorbankan orang lain. Kau tidak perlu mengorbankan Kanthi yang sudah terlalu banyak menderita itu. Jika aku terlibat dalam kecurangan ini terhadap Ki Argajaya, karena aku sampai sesaat tadi masih takut mati. Tetapi sekarang tidak. Aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian itu lagi. Aku sependapat dengan saudara-saudaraku dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kita harus menemukan kebenaran sekarang ini. Bukan fitnah dan bukan kebohongan serta kepura-puraan lagi.” Jantung Ki Wreksadana bagaikan membara. Terdengar ia memberikan isyarat dengan sebuah suitan nyaring. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berada di bulak itu telah berada di luar regol halaman, sehingga sejenak kemudian mereka sudah memasuki halaman. “Aku tidak mempunyai pilihan lain,” geram Ki Wreksadana, “aku akan membawa Kanthi dengan kekerasan. Siapa yang mencoba menghalangi, akan dihancurkan. Jika terjadi kematian, sama sekali bukan tanggung jawab kami, karena kami sudah memperingatkan sebelumnya.” “Jadi tanggung jawab siapa?” bertanya Swandaru. Namun Ki Suracala justru melangkah maju sambil berkata lantang, “Aku tidak akan menyerahkan Kanthi. Apapun yang terjadi, aku akan mempertahankannya. Ia adalah anakku. Karena itu, maka harganya sama dengan nyawaku.” “Setan kau Suracala. Agaknya kau memang ingin mati. Seharusnya kau biarkan anak perempuan yang liar mendapat hukuman. Tetapi kau justru melindunginya.” “Apakah ia liar, apakah ia gila atau apakah ia sampah sekalipun, tetapi ia adalah anakku,” jawab Ki Suracala. Ki Wreksadana tidak sabar lagi. Iapun memberi isyarat kepada kedua orangnya dan orang-orang yang baru datang itu sambil berteriak, “Kita selesaikan orang-orang yang mencoba menghalangi rencanaku!” “Premana,“ tiba-tiba terdengar suara Ki Jayaraga, “sampai rambutmu ubanan ternyata kau masih liar dan ganas. Jika kau berbicara tentang Kanthi yang kau anggap gadis yang liar, bagaimana dengan dirimu sendiri?” Ki Wreksadana memandang Ki Jayaraga dengan mata yang tanpa berkedip. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa kau iblis tua?” “Apakah kau lupa kepadaku? Memang sudah lama kita tidak bertemu. Mula-mula aku lupa kepadamu. Tetapi setelah kau banyak berbicara dan kemudian kau berniat memaksakan kehendakmu, maka aku segera teringat bahwa yang bernama Wreksadana itu adalah Premana yang tampan, berilmu tinggi dan disukai banyak gadis-gadis cantik. Aku kira anak perempuanmu itu juga cantik, Premana. Tetapi sayang, bahwa menantumu mempunyai tabiat yang kurang baik. Kau tentu tahu itu. Tetapi menantumu itu tidak lebih dari sebuah cermin bagimu. Kau dapat melihat wajahmu sendiri didalamnya, se hingga kau dapat melihat cacat-cacat yang melekat pada dirimu.” “Tutup mulutmu! Siapa kau?” teriak Wreksadana. “Untuk menyenangkan hati anak perempuanmu, serta sedikit memulas wajah cerminmu, maka kau melemparkan kesalahan itu kepada Kanthi, anak Ki Suracala. Sebenarnyalah bahwa Kanthi sudah terlalu menderita dengan peristiwa yang menimpa dirinya. Bukan berarti bahwa Kanthi tidak bersalah. Menurut pendapatku, Kanthi tetap bersalah. Tetapi tentu tidak seberat keputusan yang kau jatuhkan. Karena itu, jika kau akan menghukum, hukumlah Wiradadi. Biarlah Ki Suracala menghukum anaknya yang bersalah.” “Siapa kau? Siapa kau?” Wreksadana berteriak semakin keras. “Kau ingat kepada Jayaraga?” “Jayaraga,“ Ki Wreksadana mengingat-ingat, “Jayaraga. Jadi kau iblis yang sering berkeliaran di pesisir utara itu?” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ya Premana. Aku memang sering berkeliaran di pesisir utara. Tetapi aku juga berkeliaran sampai kemana-mana. Gombel, Bawen, Banyu Biru, memutari kaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Juga menelusuri Kali Opak dan Kali Praga. Terakhir aku berkeliaran di Pegunungan Menoreh.” “Lalu kenapa kau sekarang berada di sini?” bertanya Ki Wreksadana. “Aku sedang menjadi utusan Ki Argajaya untuk mencari kebenaran tentang anaknya, Prastawa, yang dituduh telah melakukan pelanggaran hubungan dengan Kanthi.” “Bagus. Kau sudah tahu bahwa Prastawa tidak berkaitan dengan persoalan Kanthi dan anak perempuanku. Karena itu, untuk selanjutnya jangan turut campur urusan kami.” “Maaf, Premana. Aku sudah terlanjur mendengar ancamanmu. Sementara itu aku tahu bahwa Kanthi tidak mutlak bersalah. Karena itu, maka aku tidak akan dapat menutup mata dan telinga. Aku harus ikut menegakkan kebenaran di sini.” “Setan kau Jayaraga. Sejak kapan kau mengenal kebenaran?” “Premana. Semua muridku mati sebagai orang-orang jahat. Seandainya ada yang masih hidup pun, ia jahat pula. Kecuali satu. Murid yang aku ketemukan setelah pribadinya terbentuk. Nah, karena itu, biarlah aku berusaha untuk membersihkan nama perguruanku dengan perbuatan baik di sisa hidupku.” “Jadi kau benar-benar akan melibatkan diri?” bertanya Wreksadana. “Ya. Sejak semula hubungan kita memang kurang baik. Seandainya hubungan itu menjadi semakin buruk, apa boleh buat.” Ki Jayaraga melangkah maju mendekati Ki Wreksadana, “Sudah waktunya tingkah lakumu itu kau hentikan. Wreksadana, coba aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur. Buat apa sebenarnya Kanthi akan kau bawa? Tentu tidak akan kau serahkan kepada anak perempuanmu. Mungkin memang kau bawa Kanthi kepadanya. Kau paksa ia untuk mohon ampun. Tetapi setelah itu? Kau kira aku tidak tahu tabiatmu?” “Setan kau Jayaraga. Kau benar-benar iblis yang terkutuk. Kau harus mati sekarang, agar kau untuk selanjutnya tidak akan mengganggu aku lagi.” Ki Jayaraga pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu kedua orang pengiring Ki Wreksadana telah bersiap pula. “Jangan di pendapa,“ berkata Ki Jayaraga, “di halaman kita dapat bermain gobag sodor, karena halaman itu cukup luas.” Pertemuan antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana yang disebut Premana itu telah mencengkam suasana. Nampaknya Ki Wreksadana tidak berkeberatan untuk turun dari pendapa. Ketika ia sudah mulai bergeser, maka iapun berkata, “Jayaraga. Jadi kau benar-benar ingin ikut campur dalam persoalan ini?” “Aku tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang kuat seperti kau memaksakan kehendakmu dengan sewenang-wenang kepada orang-orang yang lemah, sehingga tatanan kehidupan ini tidak akan lebih dari kehidupan di dalam rimba yang buas. Atau katakanlah bahwa kehidupan kita sebagai mahluk yang memiliki akal budi, tidak lebih dari kehidupan binatang di hutan.” “Kau memang iblis. Bersiaplah untuk mati Jayaraga. Aku setuju dengan usulmu. Kita bertempur di halaman.” Ki Jayaraga itu pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu, Swandaru dan yang lain sambil berdesis, “Berhati-hatilah. Kita sudah mulai. Nampaknya lawan kita cukup kuat.” Swandaru-lah yang menjawab, “Ternyata yang terjadi berbeda dari yang kita duga. Kita ternyata justru mendapat lawan yang lain.” “Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “tetapi sepuluh orang di halaman itu tentu juga orang-orang berilmu tinggi.” Swandaru mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan melawan salah seorang dari pengiring Ki Wreksadana itu. Nampaknya ia juga seorang berilmu tinggi.” “Ya. Aku setuju. Ia nampaknya memang berilmu tinggi,” jawab Ki Jayaraga. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, “Hadapi yang seorang lagi. Aku akan turun ke halaman.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah turun ke halaman, mendekati Ki Wreksadana yang sudah menunggu. Swandaru pun melangkah pula. Namun sekali-sekali ia memandang Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya. Swandaru memang menjadi agak heran, bahwa bukan Agung Sedayu sendiri yang menghadapi salah seorang pengawal Ki Wreksadana, yang tentu juga seorang yang berilmu tinggi. “Apakah anak itu akan dapat mengimbangi lawannya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia masih berusaha menahan diri. Jika hal itu diucapkannya, maka hati anak muda itu akan menyusut, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi kemampuannya. Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Rara Wulan, ”Masuklah. Cari Kanthi. Lindungi perempuan itu. Mungkin ada orang yang licik yang menyusup masuk ke ruang dalam. Jika perlu, panggil salah seorang dari kami.” Rara Wulan mengangguk. Ia memang tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya gadis itu telah menyusup lewat pintu pringgitan dan hilang di ruang dalam. Sementara itu, Ki Suratapa yang marah melihat sikap Ki Suracala itu pun menggeram, “Ternyata kau telah merusak segala pembicaraan yang sebelumnya pernah kita sepakati.” “Aku tidak pernah menyepakati untuk menyerahkan Kanthi kepada Ki Wreksadana,” jawab Ki Suracala. “Tetapi semuanya ini masih tetap dalam bingkai persoalan yang timbul karena Kanthi!” bentak Ki Suratapa. “Hanya orang gila yang akan menyerahkan anaknya, betapapun besar dosanya sehingga darahnya menjadi hitam sekalipun, kepada orang lain untuk dihukum dengan semena-mena tanpa menimbang kesalahannya dengan saksama. Apalagi Ki Wreksadana tidak berhak menghukum Kanthi.” “Aku yang akan memaksamu menyerahkan Kanthi,“ berkata Suratapa. “Aku tidak peduli siapa kau!” Ki Suracala pun membentak, “Aku siap melindungi anakku, apapun yang akan terjadi.” Ki Suratapa tidak dapat menahan diri lagi. Dengan garangnya ia menyerang Ki Suracala yang bergeser ke tangga pendapa. Ternyata Ki Suracala pun lebih senang bertempur di halaman daripada di pendapa rumahnya. Sementara itu Ki Suradipa memang licik. Ia mengetahui bahwa yang mencoba melindungi Kanthi hanyalah seorang perempuan muda. Karena itu, maka iapun segera meloncat masuk lewat pintu pringgitan untuk mencari Kanthi. Di halaman, Ki Jayaraga sudah siap bertempur melawan Ki Wreksadana. Sedangkan Swandaru menghadapi salah seorang pengawalnya. Demikian pula Glagah Putih. Sedangkan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap bersiap meghadapi sepuluh orang yang semula telah dipersiapkan oleh Ki Suratapa di bulak, untuk mencegat utusan dari Tanah Perdikan itu jika mereka kembali. Namun yang mengejutkan adalah kedatangan dua orang yang memasuki regol halaman. Cahaya lampu minyak yang redup menggapai wajah mereka, sehingga hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berkata, “Ki Argajaya.” Ki Argajaya berdiri tegak di depan regol. Di sebelahnya Prastawa nampak gelisah. “Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi,“ berkata Ki Argajaya. “Karena itu aku wajib menyusul kemari. Adalah tidak pantas jika aku dan Prastawa duduk sambil minum minuman hangat di rumah, sementara orang-orang yang datang atas namaku harus menyabung nyawanya.” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Persoalannya telah bergeser dari persoalan semula. Kami sedang berusaha melindungi Kanthi dari tindak sewenang-wenang.” “Apa yang terjadi dengan Kanthi?” bertanya Ki Argajaya. “Ceritanya panjang Ki Argajaya,” jawab Agung Sedayu. Ki Argajaya menyadari, bahwa bukan waktu untuk mendengarkan sebuah dongeng yang betapapun menariknya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang sudah siap untuk bertempur berkata, “Selamat datang Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh Angger Agung Sedayu, kita sedang melindungi Kanthi dari sergapan seekor srigala, setelah disergap oleh srigala yang lain.” Ki Wreksadana tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia tidak peduli akan kehadiran Ki Argajaya. Karena itu, maka iapun segera menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya. Ki Jayaraga tidak lengah meskipun ia sempat berbicara dengan Ki Argajaya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki Jayaraga dengan cepat meloncat menghindar. Sementara itu, Swandaru pun telah mulai bertempur pula. Demikian pula Glagah Putih yang telah mengambil jarak. Dalam pada itu, maka Ki Argajaya dan Prastawa pun segera menempatkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, seorang di antara mereka yang semula siap mencegat utusan Ki Argajaya itu berkata, “Jadi perempuan-perempuan ini juga merasa mampu untuk bertempur?” Sekar Mirah yang telah menyingsingkan kain panjangnya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja selendangnya telah dikibaskannya dengan cepatnya. Orang yang berbicara itu terkejut. Semula ia tidak mengira bahwa selendang itu demikian cepatnya mematuk ke arahnya. Karena itu, maka dengan serta-merta orang itu meloncat surut. Namun bandul-bandul timah kecil di ujung selendang itu meluncur lebih cepat. Karena itu, maka ujung selendang itu telah sempat menggapai dada orang itu. Orang itu mengeluh tertahan. Namun kemudian iapun segera mengumpat kasar. Terasa dadanya menjadi sakit dan nafasnya pun seakan-akan telah tersendat. “Iblis betina,” geramnya. Kemarahannya telah menjalar lewat darahnya yang mendidih ke seluruh tubuhnya. Namun dadanya itu memang terasa sakit dan panas. Ternyata sepuluh orang yang marah itu tidak menunggu lebih lama. Mereka pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Sepuluh ujung senjata telah tejulur ke arah lima orang yang berada di dalam kepungan. Ki Argajaya sudah cukup lama tidak memegang tombaknya. Tetapi demikian tangannya mulai bergetar, maka rasa-rasanya tombaknya itu telah bergerak dengan sendirinya. Meskipun demikian, iapun berdesis, “Aku tidak bermimpi masih akan mengangkat senjata lagi. Tetapi ternyata aku telah disudutkan oleh keadaan, sehingga aku terpaksa menarik tombakku dari plonconnya.” “Bukan salah Ki Argajaya,“ desis Agung Sedayu. Ki Argajaya tidak menyahut lagi. Serangan-serangan mulai datang beruntun. Pandan Wangi yang memang telah menyiapkan dua pisau belati di pinggangnya, telah menggenggamnya pula. Meskipun pisau belati itu hanya pendek saja, tetapi di tangan yang terampil, maka pisau itu menjadi sangat berbahaya. Orang yang berkumis lebat yang ikut mencegat utusan Ki Argajaya di bulak itu menggeram, “Ternyata mereka bukan perempuan-perempuan yang pasrah untuk taruhan.” “Baru tahu kau sekarang,“ desis kawannya. Orang itu ternyata tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sepasang pisau belati Pandan Wangi telah menjepit senjatanya, sebuah parang yang besar. Untunglah bahwa kawannya yang lain sempat membantunya dengan serangan yang deras menebas ke arah leher Pandan Wangi. Sebuah kapak yang besar itu terayun dengan deras sekali. Tetapi Pandan Wangi cukup tangkas. Meski-pun ia harus melepaskan parang lawannya, namun ia sempat menghindari serangan kapak yang besar itu. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Namun Ki Argajaya ternyata masih sempat melihat Ki Suracala yang bertempur melawan Ki Suratapa. Dua orang sepupu yang harus bermusuhan karena masing-masing membela kepentingan anaknya. Salah atau tidak salah. “Kenapa Ki Suracala?” bertanya Ki Argajaya kepada Agung Sedayu yang bertempur tidak jauh daripadanya. “Ia sedang melindungi anaknya. Kita berdiri di pihaknya,” jawab Agung Sedayu. Ki Argajaya tidak bertanya lagi. Lawannya dengan serta-merta menyerangnya. Namun tombak Ki Argajaya sempat berputar dan mulai mematuk dengan cepatnya. Prastawa sendiri telah mempergunakan pedangnya. Ia memang agak mengalami kesulitan menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata perhatian orang-orang itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar cambuk Agung Sedayu yang meledak dengan kerasnya. Swandaru terkejut mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Bukan karena suara cambuk yang keras itu. Namun ledakan cambuk itu menunjukkan bahwa Agung Sedayu seakan-akan masih belum memanjat sampai tataran yang lebih tinggi lagi. Tetapi Agung Sedayu Sendiri memang harus menilai ungkapan kemampuannya itu, karena seorang di antara lawan-lawannya justru telah tertawa pula. Dengan nada lantang orang itu berkata, “He, gembala dungu. Jika kau hanya dapat melecut lembu atau kerbau yang sedang menarik bajak, sebaiknya kau tidak berada di halaman ini.” Justru orang lain yang mendengar kata-kata itu, jantungnya menjadi panas. Bahkan Sekar Mirah rasa-rasanya ingin mendorong suaminya untuk lebih bersungguh-sungguh menghadapi lawan yang jumlahnya terlalu banyak itu. Namun justru Agung Sedayu sendiri tidak menanggapinya. Ia masih saja melecutkan cambuknya dengan ledakan yang menggetarkan seisi halaman itu. Dalam pada itu Wreksadana pun berteriak pula, “Kenapa kalian biarkan sais yang sombong itu masih tetap di situ?” Orang yang diupah Ki Suratapa untuk memimpin kawan-kawannya itu menggeram, “Aku akan membunuhnya mendahului kawan-kawannya.” Orang itu memang segera menyerang Agung Sedayu. Serangan-serangannya memang mendebarkan. Senjatanya dengan cepat terayun menebas mengarah ke leher Agung Sedayu. Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindar. Cambuknya berputar sekali. Kemudian satu ledakan yang keras terdengar saat ujung cambuknya menggapai tubuh lawannya itu. Lawannya bergeser selangkah. Ujung cambuk itu memang mengenai kulitnya. Tetapi hanya sentuhan yang tipis, karena orang itu dengan cepat menghindar. Dengan daya tahannya yang tinggi, maka orang itu dapat mengabaikannya sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu yang hanya wantah itu. Namun dengan demikian orang itu menjadi lengah. Ia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu orang yang bersenjata cambuk itu. Karena itu, maka dengan garangnya ia menyerang tanpa kendali lagi. Senjatanya terayun mengerikan memburu Agung Sedayu yang berloncatan. Namun demikian ia berusaha menggapai dada Agung Sedayu dengan menjulurkan senjatanya, maka Agung Sedayu tidak menghindarinya. Tetapi dengan dilandasi oleh ilmu dan kemampuannya, maka cambuknya telah berputar menjerat senjata orang itu. Demikian Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka senjata orang itu tidak dapat diselamatkannya lagi. Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak pernah mengira bahwa lawannya memiliki kemampuan dan kekuatan yang demikian besarnya. Bahkan ketika kemudian sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka ledakan cambuk itu tidak lagi terdengar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuk itu ternyata telah mengoyak lengan lawannya. Terdengar teriakan tertahan. Lawannya itu pun dengan serta merta meloncat mengambil jarak. Sementara itu, kawannya yang melihat keadaannya, dengan cepat telah menyerang Agung Sedayu pula. Agung Sedayu tidak memburu lawannya yang sudah dilukainya. Tetapi ia melihat Prastawa yang mulai terdesak. Namun iapun melihat bagaimana Sekar Mirah yang sedang memutar selendangnya telah membuat lawannya terdesak. Tetapi lawannya yang lain pun segera menyerangnya pula dari arah yang berbeda. Dalam sekilas Agung Sedayu melihat, bahwa orang-orang di Tanah Perdikan itu akan segera mengalami kesulitan jika jumlah lawannya yang sepuluh orang itu tidak segera berkurang. Di sisi lain, Pandan Wangi dengan pisau rangkapnya berloncatan dengan tangkasnya. Dengan senjata pendeknya Pandan Wangi tetap merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan tangan kirinya ia menebas serangan lawannya. Kemudian dengan loncatan panjang, senjata di tangan kanannya mematuk ke arah dada. Sementara itu, Ki Argajaya yang menurut pengakuannya sendiri tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan tombaknya lagi, namun ternyata ia masih juga Ki Argajaya yang garang. Dengan keras ia mendesak lawan-lawannya. Meskipun ia mulai nampak menjadi lamban karena Ki Argajaya tidak pernah lagi berlatih mempergunakan tombaknya, tetapi tangannya masih menggetarkan lawan-lawannya. Ketika Swandaru mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu yang berubah, ia sempat menarik nafas panjang. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Nah, ternyata Kakang Agung Sedayu telah sedikit mengalami kemajuan.” Bahkan sesaat kemudian, Swandaru mendengar lagi hentakan cambuk Agung Sedayu. Tidak dengan ledakan yang memekakkan telinga, tetapi getarannya mengguncang udara di halaman itu. Tetapi Swandaru tidak sempat melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu bertempur bersama-sama dalam satu putaran pertempuran yang kalut. Sementara itu, Swandaru bertempur di sisi lain melawan salah seorang pengawal Ki Wreksadana yang ternyata memang berilmu tinggi. Di lingkaran pertempuran yang lain, Glagah Putih menghadapi pengawal Ki Wreksadana yang seorang lagi. Juga seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali Glagah Putih memang berloncatan surut mengambil jarak agar ia dapat bertempur di tempat yang bebas di sudut halaman. Namun setiap kali Swandaru mengerutkan dahinya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk segera menyelesaikan lawannya agar ia dapat membantu Glagah Putih, karena Swandaru mencemaskan anak muda itu. Sementara itu Ki Suradipa yang licik itu tengah mencari Kanthi di ruang dalam. Ia memperhitungkan jika ia dapat menguasai Kanthi, maka ia akan dapat memaksa orang-orang yang sedang bertempur itu untuk berhenti. Ia dapat memaksa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk meninggalkan tempat itu dengan taruhan Kanthi. Tetapi ia tidak melihat Kanthi di ruang dalam. Tetapi ia mendengar keributan telah terjadi di serambi samping. Sehingga karena itu maka iapun telah berlari pula ke serambi. Ki Suradipa itu terkejut. Ternyata telah terjadi pertempuran di longkangan dalam di depan serambi itu. Karena itu, maka iapun segera berlari mendorong pintu dan turun ke longkangan. Ki Suradipa melihat dua orang yang mengerang kesakitan. Di bawah cahaya lampu minyak di seketheng, ia melihat Wiradadi duduk bersandar dinding serambi, sementara seorang yang lain masih sedang bertempur melawan seorang perempuan. Jantung Ki Suradipa menjadi berdebar-debar. Di sudut longkangan, di bawah sebatang pohon kemuning, dua orang perempuan sedang memeluk Kanthi yang ketakutan. Ibunya dan kakak perempuannya. Ki Suradipa itu menggeram marah. Ia harus dapat menguasainya. Namun ia belum sempat mendekati perempuan itu, ketika laki-laki yang sedang bertempur melawan seorang perempuan itu terdorong beberapa langkah surut dan kemudian kehilangan keseimbangannya. Meskipun demikian, orang itu berusaha untuk segera dapat bangkit berdiri. Tetapi orang itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk tegak. Sementara kawannya yang berusaha untuk bangkit itu pun tidak berhasil. Demikian ia mencoba menapak, maka iapun telah terduduk kembali. Ki Suradipa mengumpat kasar. Perempuan yang bertempur itu adalah perempuan yang datang lebih dahulu bersama anak muda yang bertempur di halaman, untuk memberitahukan bahwa utusan Ki Argajaya akan datang. “Agaknya anak itu tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia telah mengalahkan Wiradadi. Kini bahkan perempuan yang masih semuda Kanthi itu telah mengalahkan tiga orang sekaligus, termasuk Wiradadi itu sendiri,“ berkata orang itu di dalam hati. Namun Ki Suradipa tetap pada niatnya untuk menguasai Kanthi. Ia sadar bahwa ia harus menyingkirkan perempuan yang garang itu lebih dahulu. Ketika kemudian Rara Wulan berdiri tegak sambil menggenggam kedua ujung selendangnya, Ki Suradipa itu berkata, “Aku akan menyelamatkan Kanthi. Sebaiknya kau tidak usah turut campur.” Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Kau termasuk orang-orang yang ingin mencelakakannya. Karena itu enyahlah. Jangan mencoba untuk menyentuhnya.” “Perempuan liar. Kau dapat mengalahkan Wiradadi dan dua orang kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang dungu itu. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat mencegah aku,“ berkata Ki Suradipa. Rara Wulan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia memang menyadari bahwa Suradipa tentu memiliki kelebihan dari Wiradadi dan kawan-kawannya. Tetapi Rara Wulan tidak akan beringsut dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk melindungi Kanthi dari kesewenang-wenangan. Apalagi ketika ia mendengar pembicaraan antara Ki Wreksadana dengan Ki Jayaraga. Karena itu, maka ketika Ki Suradipa bergeser maju, Rara Wulan mulai menggerakkan selendangnya sambil berkata, “Aku sudah memperingatkanmu, jangan sentuh anak itu.” Ki Suradipa tidak menjawab. Tetapi kemarahannya sudah merambat sampai ke ubun-ubun. Sambil menggeram Ki Suradipa itu mencabut pedangnya dan bergeser semakin dekat. Kanthi, ibunya dan kakak perempuannya menjadi semakin tegang. Mereka tahu bahwa Ki Suradipa adalah seorang laki-laki yang keras dan bahkan garang. Ki Suracala sendiri merasa tidak dapat menolak kehendaknya serta kehendak Ki Suratapa. Tetapi ketiga orang perempuan itu sudah melihat sendiri bagaimana gadis itu mengalahkan ketiga orang lawannya. Ketika kemudian Ki Suradipa mulai menjulurkan pedangnya, maka Rara Wulan pun telah memutar selendangnya pula. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Ki Suradipa berusaha untuk dengan cepat menyingkirkan perempuan itu, agar dengan cepat pula dapat membawa Kanthi ke halaman depan. Orang-orang Tanah Perdikan itu tentu akan menghentikan pertempuran jika ia kemudian mengancam Kanthi. Namun Rara Wulan yang sadar benar akan nasib Kanthi telah berusaha untuk mempertahankannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia melawan Ki Suradipa yang bertempur dengan garangnya. Namun ternyata bahwa Rara Wulan memiliki bekal yang lebih lengkap. Meskipun terhitung baru pada tataran dasar, tetapi Rara Wulan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk menempa dirinya. Karena itu, maka ternyata Suradipa pun tidak mudah untuk dapat menundukkannya. Sementara itu. pertempuran di halaman pun menjadi semakin sengit. Ki Jayaraga yang berhadapan dengan Ki Wreksadana pun telah meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Ternyata kedua orang yang memang telah saling mengenal itu masih harus kembali menjajagi kemampuan masing-masing, setelah untuk waktu yang lama mereka tidak bertemu. Swandaru yang sedang bertempur itu mencoba untuk melihat barang sekilas pertempuran antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana. Tetapi karena Ki Jayaraga agaknya telah mengenalnya, maka Swandaru tidak berusaha untuk menggantikan Ki Jayaraga. Namun sebagaimana ia mencemaskan Glagah Putih, maka Swandaru pun berharap agar Ki Jayaraga mampu mengimbangi lawannya, yang nampaknya sangat yakin akan kemampuannya sendiri. Namun Swandaru sendiri ternyata harus bertempur dengan sengitnya. Lawannya ternyata memang seorang yang berilmu tinggi pula. Bahkan setelah bertempur beberapa saat, Swandaru dapat meraba lewat unsur-unsur gerak lawannya, bahwa lawannya itu memiliki jalur ilmu yang sama dengan Ki Wreksadana. Mungkin muridnya. Tetapi mungkin saudara seperguruannya. “Jika orang ini sekedar murid Ki Wreksadana, tentu aku tidak perlu melayaninya. Aku lebih senang bertempur melawan sekelompok orang,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. Ternyata ia menganggap bahwa Agung Sedayu cukup cerdik memilih lawan. Dalam pertempuran berkelompok seperti itu, maka sulit untuk memberikan penilaian yang tepat atas kemampuannya. Bahkan seandainya ilmunya masih di bawah tataran yang seharusnya. Tetapi dengan mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu, maka Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu tidak lagi jauh ketinggalan dari tataran yang diharapkannya. Dalam pada itu, ketika pertempuran antara Swandaru dan lawannya menjadi semakin sengit, maka Swandaru justru menyempatkan diri untuk bertanya, “Apakah kau murid Ki Wreksadana?” “Setan kau. Aku adalah adik seperguruannya,” jawab orang itu. “O,“ Swandaru meloncat menghindari serangan orang itu. Namun mulutnya sempat berkata, “Aku kira kau muridnya yang paling dungu.” “Kau memang terlalu sombong. Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku,” geram orang itu. Swandaru tertawa. Tetapi dengan cepat ia harus meloncat ke samping ketika kaki lawannya terjulur lurus ke arah dada. Demikianlah, mereka pun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Namun demikian Swandaru masih sempat berusaha untuk melihat keadaan Glagah Putih. Tetapi cahaya lampu minyak di pendapa dan di regol ternyata terlalu lemah untuk menggapai lingkaran pertempuran di sudut halaman itu. “Jika lawan Glagah Putih itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana, maka anak itu akan segera mengalami kesulitan,“ berkata Swandam di dalam hatinya. Namun Swandaru memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin lama semakin tinggi, sehingga Swandaru pun harus melakukannya pula. Benturan-benturan kekuatan yang terjadi kemudian, telah memperingatkan kedua belah pihak agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri memang harus meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi lawannya. Ternyata tanpa ditanya oleh Glagah Putih, lawannya itu telah bercerita tentang dirinya. “Kau akan menyesal anak muda, bahwa kau telah mencoba untuk melawan aku.” Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia menyerang semakin deras. Meskipun demikian lawannya masih juga sempat berkata, “Anak Muda, kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal. Karena kau telah berhadapan dengan saudara seperguruan Ki Wreksadana.” Glagah Putih bergeser sedikit menjauh. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi kau saudara seperguruan Ki Wreksadana?” “Ya,” jawab orang itu. “Baiklah,“ berkata Glagah Putih, “jika demikian aku memang harus berhati-hati.” “Setan kau,” geram lawan Glagah Putih itu. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi saudara seperguruan Ki Wreksadana. Namun saudara seperguruan Ki Wreksadana itu harus menghadapi kenyataan, bahwa anak yang masih sangat muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Jika semula ia menganggap lawannya itu tidak lebih dari gejolak anak muda yang tidak berperhitungan, namun kemudian ia harus menyadari bahwa anak muda itu mempunyai bekal yang cukup lengkap untuk turun ke medan menghadapinya. Karena itu, semakin lama lawan Glagah Putih itu justru semakin dipaksa untuk meningkatkan ilmunya, karena anak muda itu selalu mendesaknya. Serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya. Dalam pada itu, Ki Wreksadana sendiri benar-benar harus membentur ilmu yang sangat tinggi. Ki Wreksadana memang orang yang sangat ditakuti. Tetapi lawannya yang dikenalnya pernah berkeliaran di pesisir utara itu juga seorang yang disegani. Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat Ki Wreksadana semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi selapis demi selapis, Ki Jayaraga pun meningkatkan ilmunya pula. “Kau masih tetap iblis sebagaimana saat kau menyusuri pesisir utara,” geram Ki Wreksadana. Ki Jayanegara tertawa. Meskipun kemudian serangan Ki Wreksadana membadai, namun Ki Jayaraga masih sempat menyahut, “Ya. Dan kau masih juga seekor serigala yang rakus, licik dan buas. Tetapi seharusnya kau mulai sadar, Permana. Anakmu juga seorang perempuan. Bukankah anakmu merengek dan bahkan hatinya menjadi pedih ketika ia tahu suaminya selingkuh? Apakah yang terjadi itu merupakan pantulan dari perbuatanmu? Apakah yang pernah kau lakukan terhadap banyak perempuan itu terjadi juga atas anakmu? Di mana-mana kau beristri, tetapi dimana-mana pula istrimu kau tinggalkan karena kau tertarik perempuan lain. Bedanya, mertuamu bukan seorang yang garang bagaimana kau sendiri, sehingga menantumu jadi sangat ketakutan. Tetapi apapun yang terjadi atas menantumu, hati anakmu sudah terlanjur terluka.” Ki Wreksadana yang marah itu berusaha untuk menghentikan Ki Jayaraga. Ia menyerang semakin garang. Namun Ki Jayaraga masih juga dapat bertempur sambil berbicara berkepanjangan. Namun ketika serangan Ki Wreksadana menjadi semakin sengit, maka Ki Jayaraga memang harus terdiam. Ia harus memusatkan penalarannya kepada serangan-serangan Ki Wreksadana yang berbahaya itu. Bahkan hampir menyentuh kulitnya. Dengan demikian, maka keduanya telah telibat dalam pertempuran yang semakin panas. Kemarahan Ki Wreksadana yang semakin menyala di dalam dadanya, telah meyulut ilmunya pula. Dalam pertempuran yang keras dan garang itu, maka perlahan-lahan tangan Ki Wreksadana seakan-akan semakin lama menjadi semakin menggetarkan. Tidak banyak orang yang melihat, tetapi Ki Jayaraga yang bertempur melawannya melihat dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa, telapak tangan Ki Wreksadana seakan-akan telah membara. Ketika tangan itu menyambar tubuhnya, Ki Jayaraga sempat meloncat menghidarinya. Namun terasa panas mengapai kulit tubuhnya itu. “Kau mulai bersungguh-sungguh, Permana,“ desis Ki Jayaraga. “Aku tahu bahwa kau mempunya ilmu yang jarang ada duanya. Kau mampu menyemburkan api dari telapak tanganmu. Tetapi itu tidak berbahaya bagiku. Karena aku sendiri bermain-main dengan api pula, maka aku mempunyai penangkalnya,“ berkata Ki Wreksadana sambil menyerang. “Jika demikian, maka kau juga mengetahui bahwa aku pun dapat menangkal bara apimu?” bertanya Ki Jayaraga “Tidak. Kau tidak akan dapat menangkal semburan bara apiku. Dasar ilmu kita berbeda. Mungkin kau dapat menangkal serangan api sejenis apimu yang tidak berbahaya. Apimu kau hembuskan melampaui jarak dan menjalar lewat getar udara. Aku dapat melihat arus lidah apimu di udara dan meredam panasnya. Tetapi kau tidak dapat melakukannya atas apiku. Sentuhan telapak tanganku akan langsung menghanguskan kulit dagingmu.” Ternyata Ki Jayaraga menjawab, “Kau benar. Sentuhan tanganmu akan dapat menghanguskan kulit dagingku. Tetapi itu jika kau berhasil menyentuh aku.” Ki Wreksadana mengumpat. Dengan garangnya ia menyerang Ki Jayaraga. Kedua tangannya bergerak bergerak dengan cepat, menggapai tubuh Ki Jayaraga. Ki Wreksadana itu kemudian seakan-akan tidak lagi mempergunakan tangannya untuk menyerang, karena tekanan serangan tidak pada besarnya tenaga dan kekuatan, tetapi pada daya kekuatan bara telapak tangannya Ki Jayaraga memang harus menjadi semakin hati-hati. Ia harus menghidari sentuhan dengan telapak tangannya. Jika Ki Jayaraga harus menangkis serangan lawannya karena ia tidak sempat lagi menghindari, maka Ki Jayaraga berusaha untuk menebas tangan lawan di pergelangan. Tetapi Ki Wreksadana menyadari kesulitan Ki Jayaraga. Karena itu maka Ki Wreksadana menyerang semakin garang. Sementara itu, Swandaru pun menjadi semakin gelisah. Bukan semata-mata karena dirinya sendiri, Swandaru juga memikirkan keadaan medan itu seluruhnya. Ia melihat Ki Jayaraga beberapa kali harus berloncatan surut. Seakan-akan lawannya mempunyai beberapa kelebihan sehingga mampu mendesak orang tua itu. Sementara itu dengan menilai lawannya yang ternyata juga berilmu tinggi, maka ia mencemaskan keadaan Glagah Putih, yang lawannya mungkin memiliki kemampuan seimbang dengan lawannya sendiri. Sedangkan di lingkaran pertempuran yang agak jauh di seberang pendapa, istrinya sedang bertempur dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Demikian pula adik perempuannya dan saudara seperguaruannya, yang dinilai kurang greget untuk meningkatkan ilmunya, apalagi sepeninggal gurunya. Namun Swandaru untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu ternyata mengalami kesulitan. Lawannya ternyata berilmu tinggi, karena ia adalah saudara seperguruan Ki Wreksadana. Tetapi Swandaru, murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu juga menggelisahkan lawannya. Bagi lawannya, Swandaru masih terhitung muda. Tetapi orang yang agak gemuk itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan sangat tinggi. bersambung
PengantarCerita Api Di Bukit Menoreh. Selamat berjumpa kami sampaikan kepada teman-teman semua. Mulai hari ini, akan saya coba menampilkan serial cerita silat Api Di Bukit Menoreh karya monumental Bapak Singgih Hadi Mintarja (SH Mintarja) , tetapi dengan sedikit perubahan disana sini tanpa mengubah esensi cerita.Category Archives Buku 281 – 290 Buku 281 Seri III Jilid 81 ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih pun kemudian duduk di amben bambu yang besar di ruang dalam bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Diceritakannya apa yang telah dilihatnya di kebun belakang. Ditunjukannya lingkaran besi baja yang bergerigi itu kepada Agung Sedayu. Gerigi yang hampir saja mengoyak kulitnya. “Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ desis Glagah Putih. “Ya,” Agung … Baca lebih lanjut → Buku 282 Seri III Jilid 82 admin ♦ 15 Juli 2010 Meskipun Prastawa tidak mengikuti apa yang terjadi atas seorang kawannya itu, namun nalurinya seakan-akan telah memperingatkannya agar ia cepat menyelesaikan lawannya. Ketika ia mendengar seseorang mengaduh kesakitan tidak jauh dari padanya, maka Prastawa telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan cepat ia berusaha untuk menyerang lawannya di sela-sela putaran bindinya. Ketika ujung pedangnya berdesing dekat kening lawannya, … Baca lebih lanjut → Buku 283 Seri III Jilid 83 admin ♦ 15 Juli 2010 Tangan Glagah Putih memang tergetar. Tetapi dengan cepat ia sudah menguasai pedangnya sepenuhnya. Sementara itu, lawannya telah meloncat jauh surut. Meskipun goloknya masih di tangannya, namun hampir saja goloknya itu terlepas. Telapak tangannya terasa panas bagaikan tersengat api. Benturan yang terjadi itu memang terlalu keras. Untuk beberapa saat golok yang besar itu tertunduk di sisi … Baca lebih lanjut → Buku 284 Seri III Jilid 84 admin ♦ 15 Juli 2010 “Ya. Kadang-kadang mereka memang berada di antara para pengawal. Tetapi di pagi hari mereka biasanya ada di rumah. Seandainya mereka ikut meronda, maka lewat tengah malam mereka pulang,“ jawab Prasanta. “Baiklah. Tunggulah sampai esok pagi. Kau akan mendengar keputusanku,“ berkata Resi Belahan. Malam itu juga Resi Belahan telah memanggil orang-orang terpenting di antara orang-orang yang … Baca lebih lanjut → Buku 285 Seri III Jilid 85 admin ♦ 15 Juli 2010 “Ya Paman. Jika pertempuran telah terjadi, maka aku akan membawa pasukan terkuat di sisi barat ke selatan.” “Jangan terlambat. Kita harus memperhitungkan kemungkinan buruk bagi pasukan yang ada di sisi selatan,” berkata Ki Gede. “Aku akan menemui pemimpin pengawal di sisi barat,” berkata Prastawa kemudian. “Jangan lewat jalan di depan rumah Agung Sedayu,” pesan Ki … Baca lebih lanjut → Buku 286 Seri III Jilid 86 admin ♦ 15 Juli 2010 Dua orang pengawal itu pun berlari-lari mengambil sebuah lincak bambu kecil di serambi dan dibawa kembali turun ke halaman. Dengan sangat hati-hati Rara Wulan telah diangkat dan diletakkan keatas lincak itu untuk diusung ke pendapa. Sekar Mirah benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak ingat lagi lukanya sendiri. Sementara Ki Gede setelah memungut kembali tombaknya, telah naik … Baca lebih lanjut → Buku 287 Seri III Jilid 87 admin ♦ 15 Juli 2010 Sekali-sekali Glagah Putih juga bertemu dengan sekelompok pengawal yang meronda menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa di padukuhan-padukuhan lain, para pengawal tentu juga bersiaga sepenuhnya. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Agung Sedayu, maka suasananya pun tidak berbeda dengan suasana seluruh pedukuhan. Sepi dan lengang. Meskipun lampu-lampu minyak tetap menyala, … Baca lebih lanjut → Buku 288 Seri III Jilid 88 admin ♦ 15 Juli 2010 Ketika mereka memasuki regol halaman, maka Sabungsari berdesis, “Agaknya Ki Rangga Wibawa sudah ada di rumah.” “Mungkin. Jika Ki Rangga berangkat pagi-pagi, maka ia sudah lama berada di rumah,” jawab Glagah Putih. Sabungsari mengangguk-anggguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun ternyata keduanya tidak melihat seekor kuda pun berada di halaman. Karena itu, maka Glagah Putih justru … Baca lebih lanjut → Buku 289 Seri III Jilid 89 admin ♦ 15 Juli 2010 Beruntunglah bahwa beberapa saat kemudian, ada beberapa orang lagi yang datang menemui mereka. Demikian mereka mendengar bahwa Pandan Wangi dan Swandaru datang, dua tiga orang bebahu telah memerlukan datang untuk sekedar berbincang dengan mereka. Seperti yang direncanakan, maka ketika senja turun Swandaru pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa justru … Baca lebih lanjut → Buku 290 Seri III Jilid 90 admin ♦ 15 Juli 2010 “Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.” “Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang … Baca lebih lanjut → Navigasi pos
KaryaEmas SH Mintardja Api Di Bukit Menoreh Bagian I sd IV (396 Jilid) Bekas Koleksi sudah di Jilid rapi (detail kondisi dan foto di atas) Semua asli tanpa foto copy Api di Bukit Menoreh (S H Mintardja) yang terdiri dari 396 episod , Novel Silat Indonesia yang mungkin terpanjang saat ini. Serial Api Di Bukit Menoreh Agung Sedayu adik Untara, tokoh utama Pasukan Pajang yang♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Nampaknya Kanthi telah menjadi benar-benar berputus-asa. Karena itu, kedatangan Rara Wulan merupakan sebuah harapan baru baginya, karena Kanthi merasa pernah mendapat perlindungan darinya. Sehingga dengan demikian, dekat dengan Rara Wulan dapat memberikan ketenangan baginya.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Namun kemudian Sekar Mirah itu pun berdesis, “Tetapi justru di sini Kanthi akan menjadi dekat dengan Prastawa. Anak muda yang pernah diangan-angankannya, Namun yang kemudian seakan-akan telah menghempaskannya ke dalam keputus-asaan.” “Aku sempat memperbincangkannya dengan Ki Jayaraga. Kami juga mencemaskan bahwa tiba-tiba tanpa disengaja Kanthi bertemu dengan Prastawa, sehingga membuat luka di hatinya menjadi parah kembali,” sahut Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Tetapi waktu itu kami berpendapat, bahwa untuk sementara kita harus menyelamatkan Kanthi lebih dahulu. Mungkin kita dapat menemui Prastawa dan memberitahukan tentang keadaan Kanthi, sehingga Prastawa jangan melintas lewat jalan di depan.” Sekar Mirah mengangguk-angguk, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar langkah mendekati pintu dapur. Sejenak kemudian Rara Wulan bersama Kanthi telah masuk ke dapur. “O,” Sekar Mirah pun bangkit. Demikian pula Glagah Putih. Sementara Rara Wulan berkata, “Kanthi ingin ke pakiwan. Jika ia mandi, agaknya tubuhnya akan menjadi segar.” “Silahkan Kanthi,” sahut Sekar Mirah, “mandilah. Nanti kau akan dapat beristirahat dengan baik.” Diantar Rara Wulan, maka Kanthi pun telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Demikian Rara Wulan dan Kanthi keluar dari dapur untuk pergi ke pakiwan, maka Wacana telah masuk ke dalam dapur. Dengan kerut di kening Wacana itu bertanya, “Siapakah perempuan yang bersama Rara Wulan itu?” “Kanthi,” jawab Glagah Putih yang masih berada di dapur. “Jadi itukah Kanthi yang sering kalian bicarakan?” bertanya Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk. “Kanthi yang menjadi putus-asa dan kehilangan kendali itu?“ desak Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk lagi. Wacana menarik nafas dalam-dalam Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa ia justru ikut kemari?“ “Pikirannya sedang kalut,” jawab Sekar Mirah, “ia telah mencoba membunuh diri sebelum Rara Wulan dan Glagah Putih kemarin sampai di Kleringan.” Wacana ternyata juga terkejut. Dahinya berkerut dalam. Namun kemudian sambil menunduk ia berdesis, “Kasihan. Ia memerlukan pertolongan yang dapat mengembalikannya bergairah memandang masa depannya.” “Ya,” jawab Sekar Mirah sambil mengangguk-angguk. Wacana tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian meninggalkan dapur itu. Glagah Putih dan Sekar Mirah saling berpandangan sejenak. Tetapi keduanya tidak berbicara lagi. Glagah Putih pun kemudian juga meninggalkan Sekar Mirah sendiri di dapur. Sekar Mirah yang kemudian tinggal di dapur seorang diri, termenung sambil menunggui api yang memanasi periuk. Namun angan-angannya telah menerawang mengamati jalan kehidupan Kanthi. Ketika kemudian Glagah Putih pergi ke serambi samping, maka dilihatnya Wacana termenung sendiri. Demikian Glagah Putih duduk di sebelahnya, maka Wacana itu pun berdesis, “Agung Sedayu menjadi cemas, bahwa kalian tidak pulang kemarin.” “Kami pulang lewat senja dari Kleringan,” jawab Glagah Putih. “Kalian tempuh perjalanan dari Kleringan semalam suntuk?” bertanya Wacana pula. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kami harus menyesuaikan diri dengan keadaan Kanthi. Ia tidak dapat berjalan cepat. Apalagi jalan yang turun naik lewat pegunungan. Bahkan di malam hari. Setiap kali kami harus beristirahat, kadang-kadang untuk waktu yang agak lama. Tetapi cara itulah yang terbaik yang dapat kita tempuh waktu itu.“ Wacana mengangguk-angguk. Ia memang dapat membayangkan perjalanan yang lambat dan sering berhenti beristirahat. Apalagi berjalan di malam hari dalam kegelapan. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Agung Sedayu yang telah berjanji untuk segera pulang, benar-benar telah memenuhi janjinya. Tetapi dahinya berkerut ketika ia melihat Glagah Putih dan Wacana menyongsongnya. Keduanya telah keluar lewat pintu seketheng, turun ke halaman depan. “Kau sudah kembali Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Kau membuat kami gelisah. Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian?” bertanya Agung Sedayu pula. “Tidak, Kakang.” “Syukurlah. Dimana Ki Jayaraga sekarang?” bertanya Agung Sedayu lebih lanjut. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Mungkin ia sudah berada di dalam biliknya. Nampaknya Ki Jayaraga baru membenahi diri.” “Baiklah. Aku sudah berjanji kepada Mbokayumu untuk segera pulang dan menyusulmu ke Kleringan. Tetapi karena kalian sudah kembali, maka nanti aku akan kembali ke barak,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kami pulang sambil membawa Kanthi.” “Kanthi? Kenapa dengan Kanthi?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi ketika Glagah Putih akan menjawabnya, Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Nanti kita berbicara bersama-sama dengan semuanya. Aku akan menemui Mbokayumu. Dimana Mbokayumu?” “Tetapi Kakang,” berkata Glagah Putih, “sebelum Kakang bertemu dengan Kanthi, sebaiknya aku memberitahukan bahwa di rumahnya Kanthi telah mecoba untuk membunuh diri.” “O,“ Agung Sedayu pun terkejut pula. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Itukah agaknya, maka Kanthi ikut kemari?” “Antara lain, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Baiklah. Aku akan berbicara dengan mbokayumu.” berkata Agung Sedayu sambil menuntun kudanya untuk diikat di sebelah pendapa. Agung Sedayu pun kemudian telah pergi ke dapur dan berbicara dengan Sekar Mirah, sementara Rara Wulan telah mengajak Kanthi ke biliknya. “Kita dapat berdua di sini,” berkata Kara Wulan. Kanthi mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan kalian di sini.” Dalam pada itu, di dapur, Sekar Mirah telah menjelaskan kepada Agung Sedayu sebagaimana diceritakan oleh Glagah Putih tentang Kanthi. Sekar Mirah pun telah mengatakan pula bahwa Glagah Putih harus menemui Prastawa dan minta agar untuk sementara tidak melintas lewat di depan rumah mereka. Agung Sedayu mendengarkan pemberitahuan itu dengan saksama. Kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Nanti sore kita dapat duduk bersama dan berbicara bersama-sama.” “Kau akan berbicara tentang Kanthi dan niatnya membunuh diri?” bertanya Sekar Mirah. “Ah, tentu tidak,” jawab Agung Sedayu, “kita berbicara tentang rumah kita yang terasa menjadi semakin sempit.” Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Bagaimana jika semakin sempit? Apakah kita akan membangun lagi untuk memperbesar rumah ini?” Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Jika panen kita berlimpah selama sepuluh musim, maka tabungan kita akan dapat kita pergunakan untuk memperbesar rumah ini satu wuwung lagi.” Sekar Mirah pun tertawa pula. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata pula, “Tetapi bukankah kita tidak jadi pergi ke Kademangan Kleringan?” “Untuk apa?” bertanya Sekar Mirah. “Barangkali kau sudah terlanjur berniat pergi,” jawab Agung Sedayu. “Ah, kau,“ desis Sekar Mirah. “Jika kita tidak jadi pergi, maka aku akan kembali ke barak lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kenapa? Bukankah Kakang sudah memberitahukan bahwa Kakang akan pulang, dan sudah memberikan pesan-pesan?” “Ya. Tetapi agaknya ada berita penting datang dari Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Berita tentang apa?” bertanya Sekar Mirah. “Kanjeng Adipati Pati meningkatkan kesiagaan prajuritnya,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalan apa sebenarnya yang merenggangkan hubungan antara Mataram dan Pati?” “Sebab yang langsung dapat diketahui orang lain adalah peristiwa yang terjadi di Madiun itu,” jawab Agung Sedayu. “Apakah Kakang percaya bahwa itu adalah sebab satu-satunya sehingga Kanjeng Adipati Pati tidak lagi mau menyentuhkan kakinya di paseban Mataram?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Sulit untuk dapat mengatakannya sekarang. Tetapi mungkin sekali ada sebab-sebab lain, yang selapis demi selapis bertimbun menjadi beban yang tidak tertanggungkan lagi bagi Kanjeng Adipati di Pati.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa persoalan itu adalah persoalan para pejabat tinggi di Mataram dan Pati. “Jika Kakang akan kembali ke barak, sebaiknya Kakang temui meskipun hanya sebentar, Rara Wulan dan Kanthi,” berkata Sekar Mirah kemudian. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bersama Sekar Mirah maka Agung Sedayu pun telah menemui Rara Wulan dan Kanthi. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu ketika Kanthi menangis lagi, “anggaplah rumah ini rumahmu sendiri. Kau akan merasa tenang di sini.” Kanthi mengangguk-angguk. Sambil mengusap air matanya ia berkata, “Terima kasih. Aku akan menjadi beban di sini.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng sambil tersenyum, “Tidak Kanthi. Kau justru akan dapat menemani Rara Wulan, yang selama ini sering melakukan kerja sendiri.” “Kerjaku lebih banyak mengurusi diriku sendiri Kanthi” potong Rara Wulan. “Jika demikian, kau akan banyak membantu mengurusi Rara Wulan,” Sekar Mirah-lah yang menyahut. “Ah,” desah Rara Wulan, sementara Kanthi yang matanya masih basah sempat juga tersenyum. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “aku masih harus kembali ke barak.” Sekar Mirah kemudian mengantar Agung Sedayu sampai ke tangga pendapa. Demikian pula Glagah Putih dan Wacana, juga berdiri tidak jauh dari Rara Wulan. “Sampai hari ini Adi Swandaru masih berada di Tanah Perdikan ini. Tetapi berita penting itu tentu juga akan sampai ke Jati Anom dan Kademangan Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya Glagah Putih berkata, “Mudah-mudahan Sabungsari mendapat kesempatan untuk menyelesaikan persoalannya dengan Raras, sebelum ia ditarik ke medan perang jika perang itu benar-benar pecah.” “Ya,” sahut Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Juga Prastawa.” “Bukankah Kakang Swandaru sengaja menunggu sampai persoalan Prastawa itu selesai?” bertanya Sekar Mirah. “Orang tua Anggreni akan memberitahukan keputusan mereka apakah lamaran Prastawa diterima atau tidak, meskipun sekedar pernyataan resmi saja,” berkata Agung Sedayu. “Tentu tidak akan terlalu lama lagi,” desis Glagah Putih. “Kita akan menjadi sibuk,“ berkata Sekar Mirah, “bagaimanapun juga kita akan terlibat, langsung atau tidak langsung, saat Prastawa menikah. Demikian pula Sabungsari.” Agung Sedayu mengangguk-angguk Katanya, “Ya. Aku berharap semuanya segera terjadi.” Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu itu pun telah berpacu di punggung kudanya kembali ke barak. Sepeninggal Agung Sedayu, maka seisi rumahnya telah kembali ke dalam kerja masing-masing. Glagah Putih setelah sibuk membelah kayu bakar di belakang rumah, telah berada di sanggar. Wacana yang telah menjadi semakin baik, telah berada di sanggar pula. Sementara Ki Jayaraga agaknya benar-benar ingin beristirahat. Meskipun demikian, Ki Jayaraga itu telah berada di dalam sanggar pula, meskipun hanya sekedar duduk di atas amben sambil memperhatikan Glagah Putih yang berlatih. Bahkan sekali-sekali Ki Jayaraga telah menguap dan terkantuk-kantuk. Orang tua itu benar-benar tidak terlibat latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih, salah seorang murid Ki Jayaraga, yang diharapkan akan menjadi muridnya yang tidak terjerumus ke dalam laku kejahatan sebagaimana murid-muridnya yang terdahulu, yang sama sekali tidak dikehendakinya. Glagah Putih memang sekali-sekali memperhatikan gurunya. Namun iapun hanya tersenyum saja. Ia tahu bahwa Ki Jayaraga benar-benar merasa letih. Bukan karena perjalanan itu sendiri, tetapi justru karena dalam perjalanan itu mereka terlalu banyak berhenti dan beristirahat. Kelelahan Ki Jayaraga bukan pada wadagnya, justru karena ia harus bersabar mengikuti dan mempertimbangkan Kanthi. Demikianlah, maka Glagah Putih itu berlatih sendiri. Namun kemudian Wacana pun telah mulai dengan latihan-latihan pula, meskipun masih harus mengingat perkembangan keadaan tubuhnya. Ketika keduanya kemudian beristirahat, maka Wacana yang duduk di amben bambu di sebelah Glagah Putih itu pun bertanya, “Apakah kau pernah melihat gadis yang bernama Anggreni yang telah dilamar oleh Prastawa?” “Pernah,” jawab Glagah Putih, “ia juga gadis Tanah Perdikan, meskipun semula mereka tinggal di Mangir.“ “Apakah gadis itu cantik sekali?” bertanya Wacana. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia tidak segera menangkap maksud pertanyaan Wacana. Namun Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Aku tidak mengenal gadis itu terlalu banyak. Hanya karena kami tinggal di lingkungan yang sama, maka kami saling mengenal. Tetapi hanya sepintas. Bahkan aku mulai memperhatikannya justru setelah aku tahu bahwa gadis itulah yang akan menjadi istri Prastawa. Dan ternyata kemarin lusa keluarga Prastawa telah mengirim utusan untuk menemui keluarga Anggreni.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Kenapa kau tanyakan kecantikan Anggreni itu?” Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun berkata, “Aku memang mengira bahwa Anggreni adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan seperti bidadari.” “Kenapa kau sebenarnya?” Glagah Putih menjadi heran. “Jika tidak demikian, maka Prastawa tentu tidak akan menolak Kanthi,” desis Wacana. “Kenapa?” desak Glagah Putih. “Bukankah kau lihat bahwa Kanthi seorang gadis yang cantik,” jawab Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia mengerti maksud Wacana. Jika Anggreni bukan seorarg gadis secantik bidadari, maka Prastawa tentu tidak akan mengesampingkan Kanthi. Sambil mengangguk-angguk Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Ya. Menurut Prastawa tentu ada yang lebih menarik pada Anggreni daripada Kanthi. Tetapi pemilihan seseorang terhadap calon kawan hidupnya tidak semata-mata tergantung dari kecantikannya saja. Meskipun seseorang mendapat kesempatan untuk memilih yang lebih cantik, tetapi dapat saja ia memilih yang kurang cantik karena terdapat beberapa persesuaian dengan dirinya.” “Ya. Ya. Kau benar,” sahut Wacana dengan serta merta. Lalu katanya, “Jodoh memang tidak dapat diburu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa Wacana pun pernah mengalami kekecewaan yang sangat, karena seorang gadis sama sekali tidak menyadari bahwa gadis itu telah dicintai oleh Wacana. Untuk beberapa saat merekapun kemudian terdiam. Glagah Putih mengusap keringatnya. Dilihatnya Ki Jayaraga bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Namun ketika pembicaraan Glagah Putih dan Wacana yang tidak terlalu keras itu terdiam, maka Ki Jayaraga telah membuka matanya. “Aku memang merasa sangat letih,“ desis Ki Jayaraga. “Kenapa Guru tidak beristirahat di dalam bilik, dan barangkali dapat tidur lebih nyenyak?” bertanya Glagah Putih. “Di sini aku dapat tidur, justru karena aku mendengar derap kaki kalian berlatih, atau pembicaraan kalian yang lamat-lamat. Tetapi justru tidak di bilikku yang sepi,” jawab Ki Jayaraga dengan suara yang mengambang. Namun Ki Jayaraga pun kemudian telah bangkit dan berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Cepat bersiap. Kita akan berlatih bersama.” Glagah Putih tidak dapat menolah perintah gurunya. Ia segera bangkit dan bersiap untuk berlatih langsung bersama gurunya. Mula-mula gerakan mereka lamban saja. Namun semakin lama semakin cepat. Ketika tubuh Ki Jayaraga sudah menjadi panas, maka latihan itu pun menjadi semakin keras. Namun Glagah Putih memang bukan lagi pemula. Bahkan Glagah Putih telah mendapat kepercayaan dari gurunya untuk mewarisi ilmu Sigar Bumi. Karena itu, maka latihan itu pun kemudian rasa-rasanya telah mengguncang sanggar itu sendiri. Wacana telah sering melihat Glagah Putih berlatih. Iapun pernah melihat Ki Jayaraga berada di sanggar. Namun latihan itu telah membuat Wacana menjadi bingung. Dengan saksama ia mengikuti gerak keduanya. Namun kadang-kadang Wacana seakan-akan telah kehilangan satu dua unsur gerak yang terlampaui oleh pengamatannya. “Luar biasa,” desis Wacana, “aku ingin dapat berbuat lebih banyak, setidak-tidaknya ketrampilan dan kemampuan mengungkap tenaga dalam.” Sebenarnyalah bahwa Wacana juga memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi dengan menyaksikan Glagah Putih berlatih bersama gurunya, maka Wacana merasa dirinya menjadi kecil. Tetapi Wacana pun merasa bahwa ia mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya. Glagah Putih telah mengatakan kepadanya bahwa anak muda itu sama sekali tidak berkeberatan untuk berlatih bersamanya, sehingga memungkinkannya mengenali berapa unsur baru yang berarti bagi ilmunya. Demikianlah, latihan yang dilakukan oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru telah mengungkapkan segala tenaga dan kemampuan mereka, namun tidak sampai merambah memasuki batas ilmu-ilmu puncak mereka. Beberapa saat kemudian, maka Ki Jayaraga telah memberi isyarat untuk menghentikan latihan. Dengan demikian maka keduanya pun telah mengambil jarak, mengurangi tenaga mereka dengan gerakan-gerakan khusus. Baru kemudian mereka melangkah menepi. Keduanya nampak berkeringat. Glagah Putih bahkan seperti orang yang baru saja membenamkan diri di belumbang dengan seluruh pakaiannya. Namun dengan nada ringan Ki Jayaraga berkata, “Nah, aku sudah tidak merasa letih, dan tidak kantuk lagi.” Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Yang terjadi padaku justru sebaliknya Guru. Aku menjadi sangat letih sekarang.” “Beristirahatlah,” berkata gurunya, “aku akan pergi ke pakiwan.” “Guru masih basah oleh keringat,” berkata Glagah Putih. “Aku tidak akan segera mandi,” jawab Ki Jayaraga. Demikian Ki Jayaraga keluar, maka Wacana pun berdesis, “Aku ingin berlatih bersamamu.” “Baik. Kapan saja kita mempunyai waktu. Tentu saja jika keadaanmu sudah pulih kembali,” jawab Glagah Putih. “Aku sudah merasa bahwa tenaga dan kekuatan serta daya tahanku telah pulih kembali.” “Kita dapat mulai sedikit demi sedikit,” jawab Glagah Putih, yang kemudian telah duduk di samping Wacana untuk mengeringkan keringatnya. Ketika kemudian mereka keluar dari sanggar, maka mereka memang melihat Ki Jayaraga sedang menarik senggot timba untuk mengisi jambangan di pakiwan. “Biarlah nanti aku isi, Guru,” berkata Glagah Putih yang mendekatinya. “Biar saja. Nanti aku kantuk lagi,” jawab Ki Jayaraga. Glagah Putih pun kemudian meninggalkan gurunya di pakiwan. Berdua mereka pergi ke serambi gandok. Namun Wacana telah mulai berbicara lagi tentang Kanthi. Demikianlah, maka sejak saat itu penghuni di rumah Agung Sedayu telah bertambah lagi. Di sore hari, seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka seisi rumah itu pun telah berkumpul. Tidak ada persoalan penting yang mereka bicarakan, namun pertemuan seperti itu dimaksudkan oleh Agung Sedayu untuk meningkatkan saling pengertian di antara seisi rumah itu. Agar masing-masing merasa bahwa mereka adalah satu keluarga. Saling mengerti dan saling mempedulikan yang satu dengan yang lain. Dalam pertemuan itulah Wacana menjadi semakin mengenal Kanthi. Demikian pula Kanthi mulai mengenalnya. Di hari-hari berikutnya, perkenalan Wacana dan Kanthi pun menjadi cepat akrab. Mereka berusaha untuk saling mengerti dan saling mempedulikan. Namun setiap kali perasaan Kanthi masih saja selalu dihambat oleh keadaannya. Bagaimanapun juga Kanthi itu sedang mengandung, yang tentu saja semakin hari menjadi semakin bertambah besar. Tetapi dengan sengaja Wacana memang sering menyinggungnya. Ia ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa ia sudah mengetahui keadaan Kanthi seutuhnya. Wacana ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa sikapnya itu adalah sikap wajarnya, dan tidak akan dikejutkan lagi oleh kenyataan tentang diri Kanthi. Nampaknya hubungan Wacana dan Kanthi itu justru membuat Rara Wulan gembira. Gadis itulah yang paling banyak menaruh perhatian terhadap Kanthi yang menderita. Sementara itu, Glagah Putih memang sudah menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Glagah Putih telah menceritakan apa yang telah terjadi di Kademangan Kleringan. Iapun telah menceritakan pula,bahwa Kanthi sekarang berada di rumah Agung Sedayu. Prastawa mendengarkan keterangan Glagah Putih itu sambil mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun juga hatinya telah diketuk oleh kenyataan pahit yang dialami oleh Kanthi. “Tetapi itu memang bukan salahmu,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Yang kami minta sekarang adalah pengertianmu, untuk tidak lewat di depan rumah Kakang Agung Sedayu untuk beberapa hari ini.” Prastawa mengangguk-angguk. Pandan Wangi yang ikut mendengarkannya berkata, “Kau harus mencoba untuk mengerti Prastawa. Meskipun Tanah Perdikan ini bebas kau jelajahi, apalagi mengingat tugas-tugasmu, namun kau sebaiknya membiarkan Kanthi mendapat ketenangan di Tanah Perdikan ini, sampai goncangan-goncangan jiwanya itu dapat terkendali.” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Mbokayu. Tetapi kenapa Kanthi justru berada di Tanah Perdikan ini?” “Ia tidak memilih. Hatinya yang gelap itu seakan-akan mendapat seberkas sinar terang ketika Rara Wulan datang, sehingga langsung telah mengambil keputusan untuk mengikutinya,” sahut Glagah Putih. Prastawa memang dapat membayangkan gejolak perasaan Kanthi waktu itu, sehingga hampir saja Kanthi mengakhiri hidupnya dengan cara yang seharusnya tidak dilakukannya. Namun dalam pada itu Swandaru pun berdesis, “Tetapi besok sore, Paman Argajaya akan menerima utusan keluarga Anggreni yang akan menjawab lamarannya beberapa hari yang lalu. Jika kemudian ditentukan hari pernikahannya, apakah keramaian yang bakal diselenggarakan di Tanah Perdikan ini tidak terdengar oleh Kanthi, sehingga akan dapat membuat luka di hatinya terasa pedih lagi?” “Kanthi tidak pernah keluar dari halaman rumah, ia tidak pernah ikut Mbokayu Sekar Mirah ke pasar, dan bahkan tidak ke warung terdekat sekalipun,” jawab Glagah Putih. “Tetapi suatu saat Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan ikut menjadi sibuk,” berkata Swandaru, “tentu Kanthi bertanya-tanya, diucapkan atau tidak, kenapa Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus mengenakan pakaian yang tidak dikenakannya sehari-hari. Bahkan Sekar Mirah tentu ikut membantu kesibukan di rumah Paman Argajaya.” “Tetapi bukankah yang menjadi lebih sibuk adalah keluarga Anggreni?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi tentu juga Paman Argajaya,” jawab Swandaru. “Katakan saja, Sekar Mirah mendapat tugas menyelenggarakan keramaian Merti Desa,” desis Pandan Wangi. Swandaru tersenyum. Katanya, “Memang bukan sesuatu hal yang sangat sulit. Tetapi aku kira sebaiknya Kanthi justru mengetahui, sehingga ia tidak merasa selalu dibayangi oleh kebohongan.” Tetapi Pandan Wangi menjawab, “Tetapi harus dicari saat yang paling tepat untuk mengatakannya.” Swandaru mengangguk-angguk, sementara Prastawa berkata, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan Kanthi. Ia datang kemari untuk melupakan pedih hatinya. Kita memang harus membantunya.” Namun Glagah Putih ternyata juga mendapat pesan, agar Agung Sedayu besok sore berada di rumah Ki Argajaya karena utusan keluarga Anggreni akan datang memberikan jawaban atas lamaran Ki Argajaya, meskipun sebenarnya jawaban itu sudah diketahui. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa pesan itu harus disampaikannya tanpa didengar oleh Kanthi. Namun perkenalan dan kemudian hubungan sehari-hari antara Kanthi dan Wacana nampak menjadi semakin akrab. Setiap kali Wacana berusaha untuk membantu apa saja yang dilakukan oleh Kanthi. Kanthi sendiri merasakan satu sikap yang lain dari Wacana. Anak muda itu sangat memperhatikannya. Ia banyak membantunya, dan sekali-sekali memberinya beberapa petunjuk tentang hidup dan kehidupan. Sebelumnya Kanthi sudah lama mengenal Prastawa. Bahkan ia pernah merasa betapa hatinya telah terjerat oleh anak muda itu. Tetapi Prastawa tidak memperhatikannya sebagaimana Wacana. Prastawa pun tidak memberinya petunjuk-petunjuk yang mendalam tentang hidup dan kehidupan. Jika Prastawa menemuinya di rumahnya, wajahnya memang nampak cerah. Senyumnya selalu menghiasi bibirnya. Tetapi ia lebih banyak berbicara tentang keadaan sehari-hari di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Pembicaraan yang tidak membekas, karena hanya sekedar menyentuh permukaan. Yang membekas di hati Kanthi adalah justru wajah dan senyum Prastawa yang ceria. Tetapi tidak demikian dengan Wacana. Anak muda ini lebih bersungguh-sungguh menanggapi hidup dan kehidupan. Menurut pendapat Kanthi, maka Wacana adalah salah satu sosok seorang laki-laki yang dapat menjadi pelindung bagi keluarganya. Namun setiap kali Kanthi terdampar pada kenyataan tentang dirinya. Setiap ia menyadari keadaan dirinya, maka ia segera merasa rendah diri, dan bahkan sekali-sekali melemparkannya ke dalam satu keadaan tiada berpengharapan. Namun Kanthi masih juga dibayangi oleh satu kebimbangan. Wacana telah mengetahui dengan pasti akan keadaannya. Tetapi sikapnya memberikan kehangatan atas satu pengharapan. Sementara itu, ketika tiba saatnya Ki Argajaya menerima utusan dari keluarga Anggreni, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi mereka berniat untuk berbenah diri di rumah Ki Gede. Bahwa Swandaru dan Pandan Wangi ada di rumah Ki Gede, akan dapat mengurangi keseganan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi, maka Kanthi memang bertanya tentang mereka. Tetapi Rara Wulan yang sudah mendapat pesan dari Sekar Mirah menjawab, “Mereka dipanggil oleh Ki Gede, sehubungan dengan peningkatan kesiapan Mataram menghadapi kemelut dengan Pati.” Kanthi hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi justru timbul kecemasan bahwa akan timbul keadaan yang kurang baik oleh akibat peperangan, jika perang itu benar-benar terjadi kelak. Karena sedikit-sedikit Kanthi pernah mendengar hubungan antara Mataram dan Pati menjadi gelap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun seperti direncanakan telah berbenah diri di rumah Ki Gede. Mereka berterus terang bahwa mereka sengaja menghindari pertanyaan Kanthi. “Jika kau perlakukan Kanthi seperti itu, maka ia tentu akan menjadi sangat manja,” berkata Swandaru. “Tentu tidak seterusnya. Kakang,“ Pandan Wangi-lah yang justru menyahut, “Kanthi baru saja tergoncang jiwanya, bahkan setelah ia mencoba membunuh diri. Sekarang ia sedang berusaha mencapai keseimbangan perasaan dan penalarannya kembali.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan berusaha untuk mengerti.” Tetapi Pandan Wangi justru bertanya, “Apakah kira-kira usaha Kakang itu berhasil?” Swandaru terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Aku akan berhasil.” Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun tersenyum pula. Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah pergi ke rumah Ki Argajaya. Bahkan Ki Gede pun berkenan pergi pula, karena Prastawa selain kemenakannya maka ia adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sore itu, beberapa orang tamu telah datang ke rumah Ki Argajaya. Mereka adalah orang-orang yang dituakan oleh keluarga Anggreni, dengan beberapa orang pengiringnya. Sebenarnya memang tidak ada masalah apa-apa. Segalanya sudah dapat diketahui, bahwa keluarga Anggreni datang untuk menerima lamaran Ki Argajaya, bahwa Anggreni akan diperistri oleh Prastawa. Tetapi ketika Ki Argajaya bertanya apakah keluarga Anggreni sudah mempunyai ancar-ancar waktu, maka utusan keluarga Anggreni itu menjawab, “Sama sekali belum Ki Argajaya. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Ki Argajaya.” “Tetapi bukankah ajang peralatan itu nanti berada di rumah calon pengantin perempuan?” bertanya Ki Gede. “Benar Ki Gede, tetapi segala sesuatunya kami menunggu perintah dari sini.” “Tentu bukan perintah,” sahut Ki Argajaya, “kita akan membicarakan bersama.” “Bagaimana kalau sepekan lagi?“ tiba-tiba Swandaru memotong, “Jika hanya sepekan, aku akan menunggu.” “Ah,” Pandan Wangi berdesah. Tetapi iapun segera terdiam. Ia sadar bahwa ia tidak berwenang untuk menjawab. Ternyata utusan keluarga Anggreni yang dituakan itu-lah yang menjawab, “Maafkan Ngger. Jika sepekan lagi, maka kami akan menjadi sangat tergesa-gesa.” Ki Jayaraga yang mendahului Agung Sedayu dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya itu pun tertawa pula. Katanya, “Tentu tidak mungkin. Jika pernikahan itu harus diselenggarakan sepekan lagi, maka mulai besok keluarga calon penganten itu harus sudah berbelanja, mulai memasak, dan jika Prastawa harus memakai upacara ngenger, malam nanti Prastawa harus berangkat.” Swandaru pun tertawa. Katanya, “Nampaknya aku terlalu memikirkan diri sendiri.” Ki Argajaya-lah yang kemudian berkata, “Sebaiknya, kami serahkan rencana saat pernikahan itu kepada keluarga calon pengantin perempuan. Hari, pasaran, tanggal dan bulan baik, dan waktunya, apakah pagi, siang atau sore hari. Kami akan menyesuaikan diri, karena kesibukan itu akan berlangsung di rumah calon pengantin perempuan. Untuk itu kami cukup diberitahukan saja.” Utusan keluarga calon pengantin perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kami akan membicarakannya dengan seluruh keluarga. Dalam sepekan ini kami akan memberitahukan hasilnya.” “Sebelum akhir pekan,” sahut Swandaru, “aku hanya tinggal sepekan berada di Tanah Perdikan ini. Sebelum kami pulang, hendaknya kami sudah tahu kapan kami harus datang kembali kemari. Mudah-mudahan kami tidak sedang berada di medan perang.” “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “jika perang terjadi sebelum hari pernikahan, maka pernikahan itu tentu dengan sendirinya akan tertunda.” Demikianlah, pembicaraan itu pun segera berakhir. Tetapi untuk beberapa saat para tamu itu masih duduk berbincang-bincang tentang banyak hal yang menyangkut padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan. Namun akhirnya para tamu itu pun telah mohon diri meninggalkan rumah Ki Argajaya. Sepeninggal para tamu utusan keluarga calon pengantin perempuan, maka Ki Gede pun telah minta diri pula. Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan singgah di rumah Ki Gede untuk berganti pakaian, sebagaimana mereka berangkat dari rumah. Ki Jayaraga yang keluar dari rumah tidak bersama mereka dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya, akan langsung pulang. Swandaru memang masih mentertawakan mereka, seakan-akan seisi rumah itu telah dikendalikan oleh kehadiran Kanthi. Tetapi Pandan Wangi pula yang berkata, “Apa salahnya menjaga perasaan seseorang? Jika Ki Jayaraga berangkat dan pulang bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka Kanthi akan dapat bertanya-tanya. Jika saja pertanyaan itu terucapkan, maka akan dapat diberikan penjelasan meski-pun harus berbohong. Tetapi jika pertanyaan itu disimpan di dalam hatinya, maka pertanyaan itu akan dapat mengganggu keseimbangan jiwanya yang sudah mulai membaik.” Swandaru masih tertawa sambil mengangguk-angguk, “Ya. Ya. Aku mengerti.” Sementara itu di rumah, Glagah Putih masih sedang berada di kandang kuda. Sementara Rara Wulan berada di dapur untuk menjerang air. Kanthi ternyata juga berada di dapur membantu Rara Wulan. “Sudahlah Kanthi,” berkata Rara Wulan, “kau tidak boleh terlalu banyak melakukan sesuatu.” “Bukankah aku tidak berbuat apa-apa selain menunggui api agar tetap menyala?” sahut Kanthi. “Tetapi tidak baik bagimu untuk duduk terlalu lama di atas dingklik yang rendah itu,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi memang bangkit. Tetapi ketika ia melihat air di gentong yang sudah tinggal sedikit, maka iapun telah mengambil klenting untuk mengisi gentong. Untunglah Rara Wulan melihatnya, sehingga cepat-cepat ia mencegahnya, “Jangan. Biarlah nanti orang lain yang mengisinya. Biasanya Kakang Glagah Putih atau anak itu.” “Aku tidak melihat Kakang Glagah Putih,” sahut Kanthi, “Sukra agaknya juga sedang pergi.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Ia justru bertanya, “Siapa yang kau maksud dengan Sukra?” “Anak itu,” jawab Kanthi. “Anak yang mana?” desak Rara Wulan. “Anak yang di sini. Tentu anak yang kau maksudkan untuk mengisi gentong itu.” “O,“ Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa?” bertanya Kanthi. “Namanya bukan Sukra,” jawab Rara Wulan. “Siapa? Aku dengar Kakang Glagah Putih pernah memanggilnya Sukra.” Rara Wulan Tersenyum. Katanya, “Aku juga pernah bingung memanggil anak itu, sehingga aku pernah menanyakannya. Menurut Kakang Agung Sedayu, nama sebenarnya adalah Gatra Bumi. Tetapi anak itu malu setiap kali ia mendengar namanya sendiri. Nama itu merupakan beban yang terlalu berat. Karena itu ia lebih senang dipanggil dengan nama apa saja. Bahkan jarang sekali anak itu dipanggil dengan sebuah nama.” “Jadi?” bertanya Kanthi. “Karena anak itu senang sekali ikan tambra, maka Kakang Glagah Putih sering memanggilnya Tambra. Sering pula dipanggilnya Kampret, atau nama apapun. Tetapi lebih sering dipanggil dengan Thole,” jawab Rara Wulan. Kanthi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Tetapi nampaknya anak itu tidak berkeberatan aku panggil Sukra. Biarlah aku memanggilnya Sukra untuk seterusnya.” Rara Wulan tertawa. Katanya, “Yang lain tentu tidak berkeberatan. Kakang Glagah Putih, Kakang Agung Sedayu dan yang lain tentu tidak berkeberatan pula.” Ternyata ketika Glagah Putih kemudian masuk ke dapur, Rara Wulan pun telah mengatakan kepadanya, bahwa anak yang ada di rumah itu sebaiknya dipanggil dengan sebuah nama. Glagah Putih pun tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepada anak itu. Jika ia tidak berkeberatan, maka jadilah namanya Sukra.” Ketika senja kemudian menjadi gelap, maka Ki Jayaraga pun telah pulang lebih dahulu. Tetapi baik Glagah Putih maupun Rara Wulan tidak bertanya sama sekali kepada Ki Jayaraga tentang kepergiannya. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kembali pula. Kanthi memang tidak melihat sesuatu yang perlu dipertanyakan kepada Ki Jayaraga atau kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sementara itu Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak membicarakan rencana pernikahan Prastawa. Malam itu, Glagah Putih telah mengajak anak yang tinggal di rumah itu untuk berlatih. Setelah beberapa saat anak itu beristirahat setelah makan malam, maka Glagah Putih membawanya untuk melakukan latihan-latihan ringan di kebun belakang. Namun sebelum mereka mulai berlatih, Glagah Putih pun berkata, “He, Kampret, kau sekarang mempunyai sebuah nama.” “Jangan panggil namaku,” jawab anak itu, “menurut orang tua-tua, nama yang menjadi beban terlalu berat, akan dapat membuat seseorang menjadi sakit-sakitan.” “Tidak. Kau mempunyai nama baru. Kanthi yang memberikannya,” berkata Glagah Putih. “Kanthi orang baru itu?” bertanya anak itu. “Ya. Nampaknya kau sangat menarik perhatiannya. Baginya kau adalah anak yang rajin dan mengerti tugas-tugas yang harus kau lakukan. Karena itu ia ingin memberimu nama, agar ia dapat memanggilmu dengan mudah,” berkata Glagah Putih. “Kenapa tiba-tiba namaku menjadi persoalan? Bukankah selama ini tidak ada masalah apapun dengan namaku?” bertanya anak itu. “Kau akan selalu dipanggil Sukra. Ceritakan kepada kawan-kawanmu yang memanggilmu Kampret, bahwa namamu adalah Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian. Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Nama itu memang lebik baik.” Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian katanya, “Nah, marilah. Kita akan mulai berlatih. Kita akan berlatih di udara terbuka kali ini. Kita lihat apakah nanti kita perlu pindah ke sanggar atau tidak. Latihan ini memang memerlukan tempat yang agak luas.” Anak itu mengangguk kecil. Ia tidak lagi berani bersikap seenaknya lagi kepada Glagah Putih. Demikianlah, Glagah Putih pun telah mulai dengan latihan-latihan dasar olah bela diri. Glagah Putih telah memperkenalkan anak itu dengan langkah-langkah panjang. Langkah-langkah yang akan dapat memberikan arti bagi ketahanan tubuh dan pernafasannya. Dengan sungguh-sungguh anak itu mengikuti segala petunjuk Glagah Putih. Anak itu benar-benar ingin dapat menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Dengan demikian maka anak itu mampu menguasai beberapa unsur gerak dalam waktu yang terhitung cepat. Menjelang tengah malam, anak itu pun telah nampak mulai menjadi letih. Karena itu Glagah Putih pun kemudian telah mengakhiri latihan-latihan itu. “Kau tidak usah terlalu memaksa diri, karena justru dengan demikian akan dapat mengganggu perkembangan kewadaganmu.” Anak itu tidak berani lagi membantah. Ketika Glagah Putih minta ia meletakkan ungkapan tenaganya dengan mengatur pernafasannya dengan cara yang telah diajarkannya, maka anak itu pun segera melakukannya. Setelah beristirahat dan setelah membersihkan dirinya dan berganti dengan pakaian yang tidak basah oleh keringat, maka Glagah Putih pun telah pergi ke serambi gandok. Ternyata Wacana juga belum tidur. Iapun duduk di amben bambu di serambi gandok pula. “Kau belum tidur,” bertanya Glagah Putih yang kemudian duduk di sebelahnya. “Kau juga belum,” sahut Wacana. “Aku baru saja berlatih bersama anak itu,” jawab Glagah Putih, “nampaknya ia bersungguh-sungguh ingin menguasai kemampuan bela diri.” Wacana mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak begitu tertarik mendengarnya. Namun tiba-tiba saja di luar dugaan Glagah Putih, Wacana itu bertanya, “Setelah beberapa hari berada di sini, bagaimana pendapatmu tentang Kanthi?” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Maksudmu?” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat anak muda itu merenung. Namun kemudian betapapun ia ragu-ragu, namun iapun berkata, “Glagah Putih. Kanthi membutuhkan seseorang yang bersedia menjadi sisihannya. Dengan demikian ia akan dapat dibebaskan dari penderitaan batin saat anaknya lahir.” Di luar sadarnya Glagah Putih memandangi wajah Wacana dengan dahi yang berkerut. Dengan nada rendah ia berkata, “Benar Wacana. Tetapi tentu dibutuhkan seseorang yang mau menerimanya secara utuh.” “Tentu Glagah Putih. Orang yang bersedia menjadi suaminya harus orang yang sudah mengetahui keadaannya, menerima tanpa syarat,” jawab Wacana. “Ya. Jika tidak, maka pada saat bayinya akan lahir, maka perasaan dan penalarannya yang kini mulai menjadi seimbang akan terguncang lagi. Bahkan mungkin lebih keras. Anak itu baginya akan menjadi beban yang tidak akan dapat diletakkannya.” “Aku sependapat, Wacana,” berkata Glagah Putih, “tetapi tentu diperlukan seseorang yang bersedia melakukannya dengan penuh kesadaran.” “Glagah Putih,” suara Wacana merendah, “aku sudah mengetahui keadaan Kanthi. Tetapi aku juga mengetahui bahwa ia memerlukan seseorang yang membantunya mengatasi goncangan-goncangan perasaannya di saat bayi lahir.” “Maksudmu?” bertanya Glagah Putih. “Aku bersedia menjadi orang yang dapat membantunya itu.” berkata Wacana sambil memandang ke kejauhan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tidak terkejut karena ia sudah menduganya. Meskipun demikian, Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Wacana. Apakah tegasnya kau bersedia menikah dengan Kanthi? Begitu maksudmu?” “Ya,” jawab Wacana. “Aku kagum akan kebesaran jiwamu. Meskipun demikian, maka kau sebaiknya memikirkannya lagi. Jika sebuah perkawinan hanya didasari karena rasa belas kasihan, maka perkawinan itu tidak berdiri di atas alas yang kokoh. Pada suatu saat, keadaan yang menimbulkan rasa belas kasihan itu tidak nampak lagi. Jika hidup menjadi tegar kembali serta harapan semakin cerah di masa datang, masa rasa kasihan itu akan berangsur hilang. Pada saat yang demikian perkawinan itu akan menjadi goncang.” “Glagah Putih,” berkata Wacana dengan nada berat, “jika aku bersedia menjadi suaminya, dasarnya bukan semata-mata belas kasihan. Setelah aku mengenalnya dari dekat, maka aku yakin bahwa Kanthi adalah seorang perempuan yang baik. Ia akan menjadi seorang yang setia dan mengerti akan tugasnya. Terus terang Glagah Putih, aku seakan -akan telah menemukan apa yang pernah hilang dari padaku beberapa waktu yang lalu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau harus ingat, bahwa di dalam diri Kanthi terdapat seorang yang kelak akan dapat mengingatkanmu tentang keadaan Kanthi sekarang ini.” “Aku sudah memikirkannya berulang kali Glagah Putih. Aku tentu akan dapat melupakannya. Aku akan dapat menganggapnya sebagai anakku sendiri, justru karena aku sudah mengetahui sebelumnya. Aku akan merasa tersiksa kelak jika aku sebelumnya tidak mengetahuinya,“ jawab Wacana. Glagah Putih kemudian bergumam, “Aku sangat menghargai sikapmu Wacana. Apakah kau pernah berbicara dengan Kanthi, langsung atau tidak langsung?” “Belum Glagah Putih. Aku takut,” jawab Wacana. “Kenapa takut?” bertanya Glagah Putih. “Kanthi akan dapat menjadi salah paham. Seperti katamu, ia dapat mengira aku hanya sekedar mengasihaninya,” jawab Wacana. “Jadi, bagaimana mungkin Kanthi mengetahuinya jika kau tidak mengatakannya?” bertanya Glagah Putih. Wacana tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru tertunduk lesu. Sekali-kali diusapnya keringat yang membasah di kening. “Wacana,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika aku boleh bertanya, bukankah kau sudah menjadi semakin akrab dengan Kanthi dalam waktu yang singkat? Dengan demikian agaknya kau sudah dapat menjajaginya, bagaimana sikap dan perasaan Kanthi terhadapmu.” Wacana termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Glagah Putih. Nampaknya Kanthi sangat dekat dengan Rara Wulan. Seakan-akan ada ikatan dan bahkan ketergantungan perempuan itu kepada Rara Wulan. Karena itu, aku minta tolong kepadamu Glagah Putih. Katakan kepada Rara Wulan persoalanku ini. Jika yang menyampaikan hal itu kepada Kanthi adalah Rara Wulan sendiri, maka tanggapan Kanthi tentu akan berbeda.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Aku mengerti Wacana. Biarlah Rara Wulan mengatakannya.” “Terima kasih, Glagah Putih. Tetapi aku mohon Rara Wulan berhati-hati, agar Kanthi tidak menjadi salah paham,” desis Wacana. “Baiklah. Mudah-mudahan niat baik yang memancar dari kebesaran jiwamu itu dapat terlaksana. Semuanya akan ikut bergembira. Tentu saja Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah akan menyambut dengan gembira. Demikian juga Ki Jayaraga. Menurut pendapatku, yang juga akan menyambut dengan sepenuh hati adalah Prastawa. Ia akan merasa terlepas dari satu himpitan perasaan bersalah, meskipun sebenarnya ia tidak bersalah.” “Ya. Prastawa memang tidak bersalah,” desis Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat jalan keluar yang baik bagi Kanthi. Namun demikian, Glagah Putih berniat untuk berbicara dengan Agung Sedayu dan lebih dahulu, sebelum ia minta kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepada Kanthi. Malam itu, Wacana dapat tidur nyenyak. Ia merasa bahwa sebagian bebannya telah diletakkannya. Ia berharap bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar bersedia membantunya. Pagi berikutnya, Glagah Putih benar-benar telah menyampaikannya kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Sekar Mirah meletakkan minuman hangat di ruang dalam, maka Glagah Putih telah minta untuk berbicara sejenak. “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih berdesis, “Penting. Tentang Wacana. Dimana kita dapat berbicara bersama Kakang Agung Sedayu?” Sekar Mirah pun kemudian menyampaikannya kepada Agung Sedayu, yang sedang berbenah diri dan mengenakan pakaian keprajuritan di dalam biliknya. “Panggil Glagah Putih kemari,” desis Agung Sedayu. Di dalam bilik Agung Sedayu, Glagah Putih telah menyampaikan persoalan Wacana dalam hubungannya dengan Kanthi. “Bukan sekedar karena belas kasihan,” berkata Glagah Putih kemudian. “Aku percaya kepada Wacana,” desis Agung Sedayu, “ia merasa menemukan kembali apa yang pernah hilang dari padanya, meskipun sudah tentu bobotnya tidak sama. Tetapi akupun melihat bahwa Kanthi akan dapat menjadi seorang istri yang baik. Pengalaman pahit yang pernah terjadi atas dirinya akan membantu membuatnya lebih berhati-hati melintas langkah-langkah kehidupan.” “Menurut pendapatku, pada dasarnya Kanthi adalah anak yang baik,” sahut Sekar Mirah, “tetapi bagaimana dengan anak yang dikandungnya?” “Wacana menyadari sepenuhnya akan kehadiran seorang anak segera setelah pernikahannya. Tetapi menurut Wacana, justru karena hal itu sudah diketahuinya, maka tidak akan menjadi beban yang berlebihan baginya kelak.” “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak berkeberatan.” “Apakah Mbokayu juga tidak berkeberatan?” bertanya Glagah Putih. “Aku juga tidak berkeberatan,” jawab Sekar Mirah. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan berbicara dengan Rara Wulan nanti.” “Katakanlah. Mudah-mudahan Kanthi tidak menjadi salah paham. Atau justru karena ia merasa rendah diri dan bersalah sehingga ia merasa tidak berhak untuk menerima uluran tangan itu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa apa yang harus dilakukan oleh Rara Wulan bukan satu hal yang mudah. Justru karena persoalannya langsung menyentuh dasar hatinya yang paling dalam. Ketika kemudian sesudah makan pagi Agung Sedayu berangkat ke barak, maka Glagah Putih telah berbicara pula dengan Ki Jayaraga tentang maksud Wacana, dan pertimbangan Agung Sedayu serta Sekar Mirah. Tetapi Ki Jayaraga kemudian berkata, “Sebaiknya Rara Wulan menyampaikan pesan Wacana itu bersama Angger Sekar Mirah. Angger Sekar Mirah yang sudah lebih luas pengalaman hidupnya akan dapat memberikan beberapa pertimbangan, jika Kanthi menjadi salah paham terhadap niat baik Wacana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta kedua-duanya.” Demikianlah, di luar pengetahuan Kanthi, Glagah Putih telah berbicara dengan Rara Wulan dan Sekar Mirah. Ketika Glagah Putih menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun tidak terkejut lagi. Seperti Glagah Putih, iapun telah menduga bahwa pada suatu saat Wacana akan sampai pada sikapnya itu. Meskipun demikian, titik-titik air telah mengembun di pelupuk mata Rara Wulan. Dengan nada sendat ia berkata, “Aku berdoa dengan sungguh-sungguh, agar niat itu dapat terlaksana. Wacana dan Kanthi yang hatinya sama-sama pernah terluka itu, akan dapat saling mengisi untuk menemukan hari depan yang ceria.” Ternyata Sekar Mirah pun tidak berkeberatan pula. Keduanya telah sepakat untuk berbicara dengan Kanthi sesudah makan malam. Hari itu juga Glagah Putih telah berbicara dengan Wacana. Glagah Putih memberitahukan, bahwa Rara Wulan tidak berkeberatan untuk menyampaikan pesan Wacana. Bahkan bersama dengan Sekar Mirah. “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih,” desis Wacana. “Mudah-mudahan niat baikmu itu dapat berakhir dengan baik pula,” sahut Glagah Putih. Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku benar-benar berharap, agar aku tidak akan merasa kehilangan untuk kedua kalinya.” “Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Wacana,” desis Glagah Putih kemudian. Namun dengan demikian Glagah Putih pun menjadi cemas. Jika terjadi salah paham, maka hati kedua-duanya akan menjadi semakin terluka. Hari itu tiba-tiba saja menjadi hari yang gelisah bagi seisi rumah Agung Sedayu, kecuali Kanthi yang masih belum tahu apa yang sedang direncanakan oleh seisi rumah itu. Mereka dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin Kanthi akan merasa berbahagia. Tetapi mungkin justru terjadi salah paham. Tetapi baik Sekar Mirah, maupun Rara Wulan berusaha untuk tidak menampakkan kegelisahannya kepada Kanthi, yang sudah terbiasa membantu mereka di dapur. Menjelang matahari sepenggalah, Ki Jayaraga sudah siap untuk pergi ke sawah. Sambil menjinjing cangkul ia berkata kepada anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, “He, Sukra. Nanti jangan terlambat mengirim makan ke sawah.” Anak itu memandang Ki Jayaraga dengan kerut di kening. Dengan senyum kecil Ki Jayaraga berkata, “Bukankah kau sekarang bernama Sukra? Nama yang sangat baik bagimu.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku bernama Sukra. Aku senang pada nama itu.” “Yang penting, jangan terlambat,” berkata Ki Jayaraga kemudian. Demikian Ki Jayaraga pergi ke sawah, maka Wacana, yang agaknya juga menjadi gelisah, berkata kepada Glagah Putih, “Aku akan ikut Ki Jayaraga ke sawah.” Glagah Putih tersenyum. Ia melihat kegelisahan yang terbayang di wajah Wacana. “Baiklah,” berkata Glagah Putih, “sebentar lagi aku juga akan pergi menemui para pengawal di rumah Ki Gede.” Melihat Glagah Putih tersenyum, maka Wacana pun tersenyum pula meskipun agak tertahan. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Jangan gelisah Wacana. Seisi rumah ini akan berusaha membantu kalian berdua.” “Terima kasih,“ desis Wacana, yang segera menyusul Ki Jayaraga. Seperti Ki Jayaraga, Wacana pun membawa cangkul pula di pundaknya. Sementara itu, Glagah Putih pun telah bersiap pula untuk pergi ke rumah Ki Gede menemui para pemimpin pengawal Tanah Perdikan, yang merupakan bagian dari tugas-tugasnya di Tanah Perdikan. “Aku tidak terlalu lama Mbokayu,” berkata Glagah Putih ketika ia minta diri. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, maka ia melihat di pendapa beberapa orang telah berkumpul. Ki Gede nampaknya sedang memimpin sebuah pertemuan para bebahu Tanah Perdikan, termasuk Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal. Ketika Ki Gede melihat Glagah Putih, maka iapun berkata, “Nah, kebetulan kau datang Ngger. Tadi pagi hampir saja Prastawa lupa akan datang memanggilmu ke rumah. Untunglah ia segera teringat dan membatalkannya. Tetapi kemudian ia terlupa untuk tidak menyuruh orang lain datang memanggilmu. Baru saja seorang pengawal aku perintahkan pergi ke rumahmu. Tetapi agaknya ia tentu bertemu dengan kau di jalan.” “O,” Glagah Putih mengangguk. Ia memang bertemu seorang pengawal di luar regol. Tetapi Glagah Putih tidak begitu menghiraukannya ketika pengawal itu berbalik dan berkata kepadanya, “Kebetulan, kau sudah datang.” Demikianlah, Glagah Putih pun telah ikut duduk pula bersama para bebahu dan pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Bahkan Swandaru pun ada di antara mereka. “Kami sedang membicarakan perintah dari Mataram,” berkata Ki Gede. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Mataram memerintahkan agar kita meningkatkan kewaspadaan. Nampaknya hubungan Mataram dan Pati menjadi semakin buram. Segala upaya telah ditempuh, namun belum ada tanda-tanda bahwa keadaan akan mereda. Kedua belah pihak berpegang kepada sikapnya masing-masing, karena masing-masing merasa berpijak kepada kebenaran.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Perintah serupa telah diterima pula oleh Agung Sedayu sebagai Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Swandaru pun kemudian berdesis, “Agaknya perintah seperti ini juga disampaikan kepada Panglima pasukan Mataram di Jati Anom, dan tentu juga kepada pasukan pengawal Sangkal Putung.” “Kakang Agung Sedayu juga sudah menerima perintah itu,” berkata Glagah Putih. “Jika demikian, nampaknya sulit untuk mempertemukan lagi kedua orang yang semula diharapkan dapat membina keutuhan wilayah Pajang. Bayangan perang agaknya telah benar-benar menghantui rakyat Mataram dan Pati,” desis Ki Gede. Tetapi Swandaru berkata, “Jika sudah tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, maka perang itu-lah yang akan menentukan.” “Perang selalu membawa akibat buruk kedua belah pihak,” desis Ki Gede. “Tetapi sebagai rakyat Mataram, maka kita tidak dapat berbuat lain. Apabila Panembahan Senapati memerintahkan, maka perang itu akan terjadi dengan segala macam akibatnya.” “Benar Ngger. Tetapi penglihatan wajar kita dapat mengatakan bahwa perang akan mengesampingkan peradaban yang sudah terbina berbilang abad.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Aku mengerti. Tetapi sikap ini akan dapat membuat rakyat Mataram dan bahkan para prajurit menjadi ragu-ragu. Sementara itu prajurit Pati dengan tekad yang tinggi siap bertempur melawan Mataram. Tekad bagi para prajurit mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam pertempuran. Prajurit yang ragu-ragu, bimbang dan memikirkan terlalu banyak pertimbangan, tidak akan mencapai hasil yang setinggi-tingginya. Akibatnya, justru senjata lawan akan menikam jantungnya sendiri.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pula jalan pikiran Swandaru. “Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “yang penting bagi kita sekarang adalah melaksanakan perintah Panembahan Senapati. Kita harus meningkatkan segala persiapan menghadapi segala kemungkinan. Meskipun tidak mengurangi tekad kita untuk melaksanakan perintah Panembahan, namun sudah tentu bahwa segala upaya untuk memecahkan persoalan tanpa mempergunakan kekerasan masih harus tetap dilaksanakan.” Swandaru tidak menjawab lagi. Tetapi di hadapan para pengawal Sangkal Putung, Swandaru tentu akan bersikap lain. Demikianlah, menghadapi perkembangan keadaan, Prastawa yang menunggu saat-saat pernikahannya itu telah mendapat perintah untuk mempersiapkan para pengawal Tanah Perdikan dalam kesiagaan tertinggi. Sedangkan Glagah Putih telah mendapat tugas untuk sejauh dapat dilakukan dalam kesempatan yang sempit, meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede pun memerintahkan kepada para bebahu untuk mempersiapkan persediaan kebutuhan yang mungkin harus disediakan Tanah Perdikan Menoreh untuk mendukung pertempuran yang mungkin terjadi. Persediaan bahan makanan, kelengkapan-kelengkapan lain yang diperlukan, termasuk mempersiapkan mereka yang memiliki kemampuan di bidang pengobatan. Setiap pemimpin kelompok harus memeriksa kelengkapan para pengawal. Terutama senjata mereka, apakah cukup memadai. Mereka tidak hanya akan sekedar menghadapi segerombolan penjahat, tetapi mereka akan menghadapi sepasukan prajurit Pati yang mempunyai kemampuan yang tinggi, apabila perang benar-benar pecah. Demikianlah, ketika pertemuan itu berakhir, serta setelah para bebahu dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan meninggalkan pendapa rumah Ki Gede, Prastawa dan Glagah Putih masih tinggal dan duduk bersama Ki Gede dan Swandaru. “Nah, kau harus cepat menyelesaikan persoalanmu sendiri, Prastawa,” berkata Swandaru sambil tersenyum. Tetapi Prastawa itu pun menjawab, “Tidak terlalu mendesak, Kakang. Jika perlu, persoalan pribadi itu akan dapat ditunda sampai keadaan menjadi tenang.” “Tidak. Jika keadaan menjadi semakin suram, kau justru harus mempercepat dari pernikahanmu itu. Apapun yang terjadi kemudian, tetapi segala-galanya sudah jelas.” Tetapi Prastawa tersenyum. Katanya, “Kami tidak tergesa-gesa Kakang.” “Mungkin kalian tidak tergesa-gesa. Tetapi semisal bisul, hendaknya sudah pecah, dan tidak lagi terasa menyengat-nyengat.” Prastawa justru tertawa. Ki Gede pun tertawa pula. Katanya, “Tetapi menurut perhitunganku, perang tidak akan segera pecah. Maksudku tidak dalam beberapa pekan ini. Tetapi tentu masih berbilang bulan.” Swandaru pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan kau tidak memilih hari pernikahanmu di saat perang sudah meletus, dan menyelenggarakan upacara pernikahan itu di medan dengan minta agar para prajurit Pati beristirahat selama upacara berlangsung.” Ki Gede dan Glagah Putih pun tertawa pula. Sementara Prastawa sendiri tertawa berkepanjangan. Namun yang kemudian ditanyakan oleh Ki Gede kepada Glagah Putih, langkah-langkah apa yang telah diambil oleh Agung Sedayu menanggapi perintah dari Mataram. “Agaknya Kakang Agung Sedayu sudah meningkatkan kesiagaan para prajuritnya. Menurut pendengaranku, ijin para prajurit yang ingin meninggalkan barak menengok keluarganya, semakin dibatasi.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita semuanya akan meningkatkan kesiagaan. Tetapi aku masih berharap bahwa persoalan Prastawa dapat diselesaikan lebih dahulu daripada perang.“ “Aku akan menepati rencanaku. Tetapi setelah sepekan aku tentu tidak akan dapat menundanya lagi. Namun setidak-tidaknya aku sudah tahu, kapan aku harus datang lagi kemari. Tentu dengan pertimbangan, jika keadaan masih memungkinkan,” sahut Swandaru. Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Dalam dua tiga hari ini, keluarga Anggreni akan mengirimkan utusan mereka untuk memberitahukan beberapa kemungkinan yang dapat dipilih untuk menentukan hari-hari perkawinan.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Kau akan berpacu dengan Kanthi. Kami seisi rumah juga berharap agar Kanthi pun segera mendapat jalan keluar.” Prastawa mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Semoga. Aku juga berdoa, agar Kanthi menemukan jalan keluar yang terbaik bagi dirinya.” Dengan demikian, maka sejak hari itu tugas Glagah Putih memang bertambah. Latihan-latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan telah ditingkatkan, disesuaikan dengan meningkatnya kesiagaan Mataram menghadapi Pati, yang nampaknya sulit untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih lunak dari perang. Prastawa dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan telah menentukan waktu latihan bagi para pemimpin kelompok di setiap padukuhan. Sementara Glagah Putih berjanji, agar latihan-latihan itu berjalan lebih baik, untuk minta agar Agung Sedayu bersedia mengirimkan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus, membantu memberikan latihan-latihan kepada para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok terpilih pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, di samping latihan-latihan yang akan diberikan oleh Glagah Putih serta para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu. Ketika Glagah Putih kemudian kembali dari rumah Ki Gede, maka yang tinggal di rumah hanyalah Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Ki Jayaraga dan Wacana ternyata masih berada di sawah, sementara anak yang kemudian dipanggil Sukra itu sedang pergi ke sawah pula untuk mengirim minuman dan makanan bagi Ki Jayaraga dan Wacana. Kepada Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Gilagah Putih menceritakan peningkatan kesiagaan sebagaimana dilakukan oleh Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Bagaimana jika Mbokayu juga diminta untuk memberikan latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan, atau kelompok-kelompok khusus?” bertanya Glagah Putih. “Ah, bukankah kerjaku hanya di dapur?” sahut Sekar Mirah. “Tetapi Mbokayu pernah menjadi pelatih pula, justru di barak pasukan khusus itu,” berkata Glagah Putih kemudian. “Kita akan melihat keadaan, dan sudah tentu kita harus berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku kira, jika Kakang Agung Sedayu dapat mengirim empat atau lima orang prajurit pilihan, jumlah pelatih itu sudah akan mencukupi. Dengan latihan-latihan yang tertib dan teratur, maka kemampuan para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok khusus pengawal itu akan meningkat.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak menjawab lagi, namun menurut pendapat Glagah Putih, dalam keadaan yang mendesak diperlukan pelatih yang baik sebanyak-banyaknya, untuk meningkatkan latihan-latihan yang sudah diadakan sebelumnya, yang dianggap kurang memadai untuk menghadapi suasana yang menjadi semakin panas. Ketika kemudian Ki Jayaraga dan Wacana kembali dari sawah, Glagah Putih telah menceritakan pula pertemuan di rumah Ki Gede, serta usaha meningkatkan kesiagaan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Jayaraga berkata, “Banyak orang berilmu tinggi yang nampaknya mendukung atau bahkan memanfaatkan sikap Kanjeng Adipati Pati dengan pamrih pribadi. Itulah yang justru lebih berbahaya dari sikap Kanjeng Adipati sendiri.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Aku kira Angger Swandaru, maksudku Sangkal Putung, juga menerima perintah yang sama. Demikian pula Angger Untara sebagai Panglima pasukan Mataram di Jati Anom.” “Agaknya memang demikian,” sahut Glagah Putih, “Kakang Swandaru juga berpendapat demikian. Sebenarnya Kakang Swandaru juga ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Tetapi nampaknya Mbokayu Pandan Wangi masih ingin tinggal untuk tiga empat hari lagi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Semua orang yang dianggap mampu memberikan latihan-latihan keprajuritan atau latihan-latihan olah kanuragan, akan dimohon untuk membantu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tentu masih banyak tenaga-tenaga muda yang dapat melakukannya. Tetapi jika perlu, maka empat atau lima orang pemimpin kelompok dapat datang ke rumah ini di sore hari, untuk sekedar bermain-main.” Glagah Putih pun tersenyum pula. Katanya, “Itu sudah cukup. Semakin banyak orang yang memberikan latihan, maka semakin luas-lah wawasan dan pengalaman para pemimpin kelompok itu. Tetapi seandainya para pemimpin kelompok itu berlatih pada orang-orang tertentu, maka berbagai macam kemampuan dasar para pemimpin kelompok itu akan memberikan warna yang lain bagi para pengawal Tanah Perdikan.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Warna yang berbeda-beda itu memang dapat membuat lawan mereka bertanya-tanya, karena bagi para prajurit, terutama yang tidak bersumber dari anak-anak padepokan, memiliki kesatuan sifat dan watak kemampuan dasar mereka, karena mereka mendapat tempaan dengan garis kemampuan dasar yang sama.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun menurut perhitungannya, di Tanah Perdikan itu terdapat cukup banyak orang yang berkemampuan untuk memberikan latihan-latihan dasar pada tataran yang lebih tinggi kepada para pemimpin kelompok. Demikianlah, hal yang sama telah diberitahukannya pula ketika Agung Sedayu kembali dari barak. Dengan nada dalam Agung Sedayu berkata, “Tentu semua pihak yang dianggap berkepentingan sudah mendapat perintah yang sama pula.” “Apakah perang itu benar-benar akan meletus?” bertanya Glagah Putih. “Agaknya memang sulit dihindarkan. Tetapi masih juga usaha-usaha dari kedua belah pihak untuk menemukan jalan keluar tanpa peperangan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi kalau masing-masing tetap berdiri tegak pada pendiriannya, maka jarak di antara keduanya tentu tidak akan dapat dipertautkan. Apalagi masing-masing merasa berdiri di atas kebenaran,” desis Glagah Putih. “Peristiwa itu akan dapat memperkaya pengertian kita tentang satu keyakinan terhadap kebenaran, serta kebenaran itu sendiri,” berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia merenungi kata-kata Agung Sedayu itu. Tentang sudut pandang atas kebenaran. Namun kemudian Glagah Putih telah menggeser pembicaraannya. Hampir bergumam Glagah Putih berkata, “Nanti malam, Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan akan berbicara dengan Kanthi.” “Keduanya memang harus segera dipertautkan. Aku yakin bahwa perasaan yang sama telah tumbuh pada keduanya,” desis Agung Sedayu. Seperti yang direncanakan, ketika malam turun, setelah mereka makan malam, maka Sekar Mirah dah Rara Wulan masih duduk di ruang dalam bersama Kanthi. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk di pendapa, sedangkan Glagah Putih dan Wacana berada di serambi gandok. Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak langsung menyampaikan pesan Wacana kepada Kanthi. Tetapi mereka berbicara tentang banyak hal yang menyangkut perkembangan keadaan yang menjadi semakin hangat. Sebagai istri prajurit, maka kemungkinan perang itu juga membayangi ketenangan Sekar Mirah. Tetapi karena Sekar Mirah sendiri memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, maka agaknya ia dapat sedikit meredam kegelisahannya itu. Namun akhirnya Sekar Mirah mulai mengarahkan pembicaraan mereka kepada persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Dengan hati-hati Sekar Mirah kemudian berkata, “Kanthi. Sebenarnya ada hal yang penting yang ingin disampaikan oleh Rara Wulan kepadamu. Sejak semula Rara Wulan selalu berusaha untuk menolongmu, melindungimu, dan bahkan kemudian berusaha untuk dapat membantu mencarikan jalan keluar bagimu.” Kanthi mengerutkan keningnya. Ia belum tahu maksud Sekar Mirah. Namun sebenarnya Kanthi tidak ingin berbicara tentang keadaannya. Ia ingin melupakannya. Setelah ia berada di rumah Sekar Mirah itu beberapa lama, ia merasakan bahwa hatinya mulai menjadi tenang. Meskipun demikian, ia tidak dapat ingkar, bahwa di saat-saat ia teringat akan kandungannya, maka kegelisahan itu rasa-rasanya telah mengguncang perasaannya lagi. Namun kehadiran Rara Wulan dan Sekar Mirah di dekatnya, rasa-rasanya dapat membuat hatinya tentang kembali. Namun tiba-tiba kini ia dihadapkan pada satu pembicaraan tentang dirinya itu. Kanthi memang menjadi gelisah. Ada beberapa hal yang membayang di angan-angannya. Kanthi memang merasa bahwa kehadirannya dapat menjadi beban bagi keluarga Agung Sedayu. Dengan demikian, setelah beberapa saat ini tinggal di rumah itu serta gejolak jiwanya mulai mereda, maka mungkin sekali Sekar Mirah akan mengirimkannya pula kembali ke Kleringan. Rara Wulan yang melihat kegelisahan di wajah Kanthi itu pun ke mudian berkata, “Kanthi. Aku melihat bahwa setelah aku berada di rumah ini beberapa saat, hatimu mulai menjadi tenang. Tetapi sudah tentu hal ini belum merupakan penyelesaian yang tuntas bagimu. Aku masih sering melihat kau merenung. Dan akupun mengerti, apa yang sedang kau pikirkan.” Kanthi menjadi semakin gelisah. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Kanthi,” berkata Rara Wulan Kemudian, “aku minta maaf bahwa aku terlalu dalam mencampuri persoalan pribadimu. Tetapi hal itu aku lakukan, karena aku ingin membantumu memecahkan kesulitanmu sampai tuntas.” Kanthi masih tetap berdiam diri. Meskipun sekali-sekali ia mengangkat wajahnya memandang sepasang mata Rara Wulan yang redup, namun kemudian iapun segera menunduk kembali. Titik-titik air bahkan mulai menetes dari sepasang matanya yang basah. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan nada lembut, “bukankah seumur kita ini, menurut gelar lahiriah, masih akan menempuh jalan yang panjang?” Kanthi masih belum tahu arah pembicaraan Ran Wulan, tetapi ia mengangguk kecil. “Karena itu, Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “kita tidak boleh terpancang pada keadaan kita sekarang ini.” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. “Sebaiknya kau lupakan keadaanmu Kanthi. Kau lihat kedalaman perasaanmu. Perasaanmu sebagai seorang perempuan dalam hubungannya dengan seorang laki-laki, sesuai dengan kewajaran tingkah laku kita dalam kehidupan ini.” Kanthi mengerutkan dahinya. Sejenak ia mengangkat wajahnya. Dipandanginya Rara Wulan dan Sekar Mirah sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Rara Wulan memang menjadi berdebar-debar. Namun didorongnya lidahnya untuk berkata, “Kanthi. Aku membawa pesan bagimu. Kau telah mendapat lamaran dari seseorang.” Kanthi terkejut. Ketika ia mengangkat wajah sekali lagi, maka wajah itu nampak kemerah-merahan. Sejenak Kanthi justru bagaikan membeku. “Kanthi,” Sekar Mirah pun berdesis dengan nada dalam, “aku harap kau menanggapinya dengan hati yang bening. Kau timbang dengan saksama dan kau tinjau dari segala sisi.” Kanthi tidak segera menyahut. Namun tiba-tiba terdengar Kanthi itu terisak. “Kenapa kau menangis Kanthi?” bertanya Rara Wulan yang matanya juga mulai menjadi basah. “Rara,” desis Kanthi disela-sela isaknya, “kau tahu tentang keadaanku. Kau tahu apa yang telah terjadi atasku. Jika ada seseorang yang melamarku, bukankah itu hanya satu bayangan mimpi yang akan segera lenyap jika aku mulai terbangun? Atau justru sebuah ejekan yang sangat menyakitkan hati di saat luka di dalam dadaku mulai sembuh, atau sebuah lelucon yang kasar tanpa menghiraukan bahwa akibatnya akan sangat parah bagiku?” “Tidak. Tidak Kanthi,“ Rara Wulan mulai memeluk Kanthi yang isaknya semakin mengeras, “kau percaya kepadaku bukan?” Kanthi mengangguk kecil. “Jika kau pereaya kepadaku, Kanthi, dengarlah kata-kataku,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk pula. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan sangat berhati-hati, “apakah kau tidak merasa bahwa selama ini, seseorang sangat memperhatikanmu? Seseorang yang menganggap bahwa kau adalah seorang perempuan yang akan dapat mengisi kekosongan hatinya.” “Tetapi setelah orang itu mengetahui keadaanku, maka ia akan menganggap bahwa aku adalah sampah yang tidak pantas untuk dijamah,” desis Kanthi sambil terisak. “Tidak, Kanthi,” jawab Rara Wulan, “orang itu tahu pasti, siapakah kau dan apa yang sedang kau sandang.” “Tentu hanya didasari oleh perasaan belas kasihan. Rara, aku memang pantas untuk dikasihani. Tetapi aku tidak menginginkannya sama sekali,” jawab Kanthi. “Bukan Kanthi, bukan karena belas kasihan. Tetapi ia memang berharap bahwa kau akan dapat menjadi seorang yang akan bersama-sama membina sebuah keluarga,” berkata Rara Wulan. “Tidak. Itu tidak benar. Mungkin ia mengasihaniku. Tetapi mungkin ia justru ingin memanfaatkan keadaanku, sehingga pada suatu saat kelak akan dapat selalu menjadi landasan mengungkit keadaanku dalam setiap kesempatan, agar ia dapat memaksakan kehendaknya kepadaku.” “Kanthi,” berkata Sekar Mirah dengan suara yang sareh, “kau jangan terlalu curiga kepada semua orang. Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan oleh orang-orang sejenis Wiradadi. Tetapi menurut pendapatku, tidak bagi orang yang melamarmu. Ia memang bukan seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang lain. Ia dapat khilaf. Dapat kecewa, marah dan perasaan-perasaan lain sebagaimana kita. Ia bukannya orang yang tidak mempunyai cacat. Tetapi sikapnya terhadapmu Kanthi, aku tahu dan yakin, bahwa ia menyatakannya dengan tulus hati.” “Bagaimana aku dapat meyakininya Mbokayu? Aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Dalam kewajaran, semua orang akan memalingkan wajahnya jika melihat aku. Jika ada orang yang berniat melamarku, itu justru tentu ada niat-niat yang tersembunyi di dalam hatinya.” “Kanthi,“ Rara Wulan yang juga mulai terisak, “apa kau juga tidak percaya bahwa sikapku terhadapmu, sikap Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Agung Sedayu, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga, sebagai sikap yang wajar?” “Aku percaya Rara. Aku percaya, “jawab Kanthi dengan serta merta. “Nah, Kanthi. Bagaimana perasaanmu terhadap Wacana?” bertanya Rara Wulan kemudian. Jantung Kanthi berdesir. Ia mempunyai penilaian tersendiri terhadap anak muda itu. Anak muda yang sikapnya menunjukkan kedewasaannya berpikir dan berbuat. Ketika nama itu disebut, Kanthi menundukkan kepalanya. Isaknya masih saja mengguncang tubuhnya, sementara Rara Wulan memeluknya semakin erat. “Kanthi,” desis Rara Wulan, “Wacana minta kepada Kakang Glagah Putih agar aku bersedia menyampaikan perasaannya itu kepadamu. Jika kau tidak berkeberatan, tentu Wacana akan datang menemui orang tuamu.” “Tidak,“ suara Kanthi bagaikan meledak di sela-sela isaknya, “ia akan tersiksa di sepanjang hidupnya. Ia orang yang baik. Karena itu, aku tidak pantas menyakiti hatinya untuk waktu yang panjang tanpa batas.” “Tidak Kanthi,” jawab Rara Wulan, “ia sudah mengetahui keadaanmu seluruhnya.” Kanthi justru menangis. Pada dasar hatinya yang paling dalam, ia merasa bahagia mendengar pengakuan Wacana itu. Bahkan Kanthi justru sangat mengharapkannya. Tetapi di sisi yang lain, ia merasa tidak berhak lagi menanggapi perasaan Wacana itu, karena ia sudah ternoda. Bahkan Kanthi merasa dirinya tidak lebih dari sampah yang tidak berharga. Namun Sekar Mirah pun berkata, “Kanthi. Aku mengerti perasaanmu. Rara Wulan juga mengerti sepenuhnya. Bahkan Wacana pun mengerti pula. Itulah sebabnya, ia minta tolong kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepadamu, karena kau percaya kepada Rara Wulan.” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sementara itu isak Kanthi menjadi semakin keras. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kepada Glagah Putih, Wacana telah mengatakannya, bahwa ia akan menerimamu seutuhnya. Justru karena ia tahu akan keadaanmu, maka ia tidak akan merasa kecewa, apalagi tersiksa di kemudian hari. Ia tahu bahwa kau akan melahirkan pada saatnya. Tetapi Wacana berjanji akan menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.” “Sekarang ia dapat berkata seperti itu, Mbokayu. Tetapi apakah ia dapat berkata demikian pula nanti, jika seorang bayi yang bukan anaknya itu lahir?” “Tentu,” jawab Sekar Mirah, “Wacana sudah lama berada di sini. Ia bukan seorang yang palsu dan berpura-pura. Namun yang barangkali perlu kau ketahui, ia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.” Sejenak Kanthi mengangkat wajahnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Maksud Mbokayu?” “Wacana juga pernah mengalami kekecewaan yang hampir saja membuatnya gila. Bahkan ia seakan-akan dengan sengaja membunuh dirinya dalam sebuah perang tanding. Tetapi ia ternyata tetap hidup. Lawannya memang bukan seorang pembunuh.” “Apakah ia pernah ditinggalkan oleh seorang gadis yang kemudian memilih laki-laki lain?” bertanya Kanthi. “Gadis itu tidak pernah merasa meninggalkannya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Wacana mencintainya. Ketika ia menjatuhkan pilihannya, maka Wacana kehilangan keseimbangannya, sehingga ia telah mengambil langkah yang tidak sewajarnya.“ Kanthi menunduk lagi. Ia merenung dalam-dalam. Merenungi dirinya sendiri, dan ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Wacana. “Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “menurut Wacana, ia menemukan yang hilang itu ketika kau datang ke rumah ini. Yang hilang itu diketemukannya pada dirimu. Apa yang terjadi atasmu, dapat dimengertinya, karena Wacana juga pemah menjadi kehilangan akal. Tetapi karena ia seorang laki-laki, maka ia tidak akan dapat mengalami sebagaimana kau alami.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi ia mulai merenung. “Kanthi,” berkata Sekar Mirah, “sebagaimana kau tidak ingin dikasihani, maka Wacana pun juga tidak ingin dikasihani. Yang dimintanya adalah hubungan yang wajar antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan segala yang ada di dalam dirinya. Keduanya hendaknya dapat menerima dengan ikhlas, dengan harapan di masa datang yang cerah. Bagi Wacana dan kau Kanthi, yang terpenting adalah hari depan kalian. Kalian tidak boleh selalu digayuti beban persoalan-persoalan di masa yang telah lewat.” Kanthi masih belum menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa tangisnya justru mereda. “Kanthi,” berkata Rara Wulan, “jika kau tidak dapat menjawab hari ini, maka aku akan minta Wacana menunggu satu dua hari ini. Tetapi kau tahu bahwa menunggu adalah satu kerja yang sangat menggelisahkan. Meskipun demkian, aku yakin bahwa Wacana akan bersedia menunggu satu dua hari lagi.” Yang tidak diduga oleh Rara Wulan dan Sekar Mirah adalah bahwa Kanthi itu justru telah menangis. Tetapi tangisnya tidak tertahan-tahan lagi. Ia menangis seakan-akan menuangkan segenap beban di jantungnya. Rara Wulan yang memeluknya merasa bahwa tangisnya berbeda dengan tangis Kanthi sebelumnya. Meskipun demikian Rara Wulan berusaha untuk menenangkannya, meskipun matanya sendiri juga menjadi basah. “Sudahlah Kanthi. Beristirahatlah. Kau sempat memikirkannya. Kau dapat berpikir dengan bening. Melihat bukan hanya ke masa lalu, tetapi justru ke masa depan yang masih panjang. Mudah-mudahan kau mendapat terang di hatimu dari Yang Maha Agung,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi mengangguk. Bukan karena terpaksa. Tetapi nampaknya Kanthi telah menemukan jawaban di dalam dirinya, meskipun masih sempat membuatnya ragu. “Besok sore aku ingin mendengar jawabanmu. Dengan demikian Wacana tidak akan terlalu lama menunggu. Hatinya tentu masih saja dibayangi oleh saat-saat yang pahit, ketika ia sadar bahwa ia telah kehilangan.” Kanthi mengangguk. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Kanthi belum menjawab, tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah dapat berpengharapan bahwa permintaan Wacana itu akan diterima oleh Kanthi. Meskipun keduanya sadar, bahwa hati Kanthi masih belum benar-benar mapan sehingga setiap saat masih dapat berubah. Bahkan mungkin perubahan itu sangat mengejutkan. Tetapi keduanya berharap, bahwa hati Kanthi sudah tidak terguncang-guncang lagi. Malam itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak memaksa Kanthi untuk memberikan jawaban, meskipun mereka tahu bahwa Wacana tentu menunggu. Bahkan Rara Wulan pun kemudian berkata, “Baiklah Kanthi. marilah kita beristirahat. Mungkin setelah kau tidur, besok kau menemukan jawab yang paling baik atas pernyataan Wacana itu. Tentu saja bahwa kami semuanya, maksudku Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga dan aku sendiri berharap, agar Wacana tidak menjadi kecewa karenanya.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi tangisnya telah mereda. Bahkan isaknya tinggal satu-satu. Namun sekali-sekali Kanthi masih mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya. Demikianlah, sejenak kemudian Kanthi pun telah berada di dalam bilik bersama Rara Wulan. Ketika mereka kemudian berbaring, maka Kanthi tiba-tiba saja bertanya di luar sadarnya, “Rara, bagaimana anggapanmu tentang kejujuran Wacana?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku percaya kepadanya, Kanthi. Ia sendiri pernah mengalami sebagaimana kau alami. Karena itu ia tentu dapat merasakan, sebagaimana kau rasakan. Dalam keadaan yang demikian, ia tentu tidak akan memikirkan untuk memanfaatkan keadaanmu, atau sikap-sikap licik yang lain.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa perasaan Kanthi menjadi lebih tenang. Nafasnya mulai teratur dan tubuhnya yang terbaring diam terasa bahwa Kanthi benar-benar telah menjadi tenang. Rara Wulan hanya dapat berdoa di dalam hati, mudah-mudahan niat baik Wacana itu dapat diterimanya. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk di pendapa. Sementara Glagah Putih dan Wacana sudah tidak ada lagi di serambi gandok. Ternyata mereka telah berada di dalam sanggar. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, yang kemudian disebut Sukra, telah berada di dalam sanggar pula. Bersama Glagah Putih ia berlatih dasar-dasar ilmu bela diri. Setiap kali ia mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Namun kemudian sedikit demi sedikit Glagah Putih telah menambah unsur yang baru pula. Wacana yang sedikit demi sedikit sudah mulai berlatih pula, malam itu hanya menunggui dan melihat bagaimana Sukra meningkatkan kemampuannya setapak demi setapak. Namun ternyata anak itu telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Bahkan rasa-rasanya tidak mengenal lelah. Meskipun ia telah pernah dibuat jera oleh Glagah Putih, namun kadang-kadang ia masih tampak kecewa jika latihan diakhiri, meskipun ia tidak lagi berani membantah. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih merasa puas pula melihat perkembangan kemampuan Sukra. Namun Glagah Putih juga merasa bertanggung jawab atas tingkah laku Sukra selanjutnya, setelah ia merasa memiliki dasar-dasar kemampuan bela diri. “Anak itu tidak boleh kehilangan kekang diri,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Karena itu, setiap kali Sukra akan berlatih, maka Glagah Putih selalu memberinya beberapa petunjuk agar Sukra menjadi orang yang berguna bagi sesamanya. Bukan sebaliknya. Lebih dari itu, Sukra sama sekali tidak boleh melupakan Sumber Hidupnya. Dengan berpegangan pada Sumber Hidupnya, maka seseorang akan selalu mawas diri dalam segala tingkah lakunya. Malam itu, Glagah Putih mengakhiri latihannya menjelang tengah malam. Tubuh anak itu seluruhnya telah basah oleh keringat. Dadanya yang terbuka nampak menjadi basah kuyup, seolah-olah Sukra baru saja berendam di dalam belumbang. Wacana yang menyaksikan latihan itu, sejenak telah melupakan persoalan dirinya sendiri. Ia juga merasa kagum terhadap Sukra yang masih sangat muda itu. Tetapi kemauannya agaknya telah membakar gairahnya untuk segera menguasai dasar-dasar kemampuan bela diri. Namun, meskipun gairahnya untuk berlatih tidak menyusut, tetapi tujuannya menguasai dasar-dasar kemampuan ilmu bela diri perlahan-lahan telah bergeser. Karena pengaruh petunjuk dan nasehat-nasehat Glagah Putih yang terus menerus diberikan setiap Sukra akan berlatih, telah membuat Sukra semakin mengerti arti dari kemampuan yang sedikit demi sedikit telah dimilikinya. Dengan demikian, maka sikap Sukra kepada kawan-kawannya sedikit berubah. Sukra menjadi lebih sabar dan penalarannya pun menjadi semakin terang. Malam itu, setelah berlatih serta setelah membersihkan dirinya di pakiwan, rasa-rasanya Sukra masih juga ingin melihat pliridannya yang telah dibuka sejak menjelang senja. Sementara Glagah Putih dan Wacana telah pergi ke serambi gandok, maka Sukra justru mengemasi alat-alatnya untuk dibawa ke sungai. Wacana dan Glagah Putih tidak terlalu lama duduk di serambi. Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke pakiwan pula untuk membenahi dirinya. Ketika tubuhnya terasa menjadi segar, maka iapun telah pergi ke biliknya pula. Wacana memang tidak segera dapat tidur. Ia harus menanti jawaban Kanthi. Namun Wacana pun sadar, bahwa bagaimanapun juga, agaknya Kanthi memerlukan waktu untuk berpikir. Dalam pada itu, ketika Sukra turun ke sungai, ia terkejut melihat beberapa orang anak berkerumun di tepian. Demikian Sukra turun, maka serentak anak-anak itu segera menyesuaikan diri dengan memanggilnya Sukra pula. Sukra yang tertegun itu pun kemudian bertanya, “Kenapa kalian berkumpul di sini? Bukankah ini bukan waktunya? Saat menutup pliridan yang pertama sudah lewat, sementara masih ada beberapa waktu lagi untuk menutup pliridan yang kedua.” “Baru saja aku akan pergi memanggilmu,” berkata seorang anak yang bertubuh gemuk. “Apa yang terjadi?” bertanya Sukra. “Anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng,” jawab anak itu. “Kenapa?” bertanya Sukra. “Mereka telah datang mengganggu kami. Mereka lewat menelusuri sungai ini, berusaha merusak beberapa pliridan tanpa sebab.” “Kenapa tiba-tiba mereka menjadi liar seperti itu?” bertanya Sukra. “Kami tidak tahu. Ketika mereka lewat, hanya ada dua orang kawan kita yang sedang bersip-siap menutup pliridannya.” “Siapa?” bertanya Sukra. “Aku dan Beja,” jawab seorang anak yang kekurus-kurusan. Sementara itu anak yang rambutnya dicukur gundul dan bernama Beja menyahut, “Mereka memukuli aku dan Siwar.” “Sekarang mereka pergi kemana?” bertanya Sukra. “Mereka justru pergi ke arah selatan,” jawab Siwar. “Bukankah Wadas Ireng terletak di sebelah utara Tanah Perdikan ini?” “Ya.” jawab Beja, “tetapi mereka pergi ke selatan. Karena itu, kami kumpulkan kawan-kawan. Mungkin mereka akan kembali lagi menyusuri sungai ini.” “Tetapi tidak terbiasa mereka berbuat seperti itu. Bukankah kita kenal beberapa orang anak dari Wadas Ireng?” desis Sukra. “Ya. Tetapi agaknya anak-anak Wadas Ireng ada yang baru dan ada yang tidak baik, seperti anak-anak Tanah Perdikan ini pula,” sahut anak yang agak gemuk itu. “Tetapi bukankah mereka atau orang tua mereka pernah mendengar tentang Tanah Perdikan ini?” bertanya Sukra. “Ya. Anak-anak itu justru menantang. Mereka mengatakan agar kita melaporkan kepada orang-orang tua kami yang katanya berilmu tinggi,” berkata Siwar. “Ini tentu tidak biasa,” berkata Sukra, “tentu ada sesuatu yang telah terjadi di Kademangan Wadas Ireng.” “Maksudmu?” bertanya anak yang agak gemuk itu. “Seperti yang terjadi di Kademangan Kleringan. Sekelompok anak muda telah terjerumus ke dalam kebiasaan minum tuak. Mereka menjadi mabuk di kedai-kedai yang menyediakan tuak dan bahkan di jalan-jalan. Mereka mengganggu orang-orang lewat, dan bahkan sama sekali tidak terkendali. Aku mendengar dari Glagah Putih, yang meskipun tidak langsung berbicara kepadaku.” “Apakah anak-anak Wadas Ireng juga mulai minum tuak?” bertanya Beja, “Mereka masih anak-anak seperti kita.” “Kalau mereka masih kanak-kanak seperti kita sudah mulai bergerombol-gerombol dan bertindak tidak wajar, apa jadinya nanti jika mereka sudah menjadi lebih besar?” desis Siwar. “Karena itu, tentu sesuatu sudah terjadi,” berkata Sukra sambil mengangguk-angguk. Gayanya menirukan gaya orang-orang dewasa yang sedang membicarakan satu persoalan bersungguh-sungguh. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya anak yang agak gemuk. “Kita tunggu sejenak, jika mereka lewat kita tidak usah mengganggunya. Kecuali jika mereka mengganggu kita.” Kawan-kawan Sukra mengangguk-angguk. Namun ketika Sukra mengatakan bahwa ia akan menutup pliridannya, maka Siwar itu pun berkata, “Pliridanmu dibuka tidak saja bagian atasnya, tetapi juga bagian bawahnya.” “Jadi mereka juga merusak pliridanku?” bertanya Sukra. “Ya. Semua pliridan telah dibuka,” jawab Siwar. Sukra memang menjadi marah. Tetapi perasaannya justru sudah mulai terkendali. Ia tidak segera menghentak sambil mengepalkan tinjunya. Namun Sukra hanya berkata dengan nada geram, “Kita akan menunggu mereka. Tetapi ingat, kita tidak akan mulai.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun Sukra bukan anak yang terbesar di antara mereka, tetapi tiba-tiba saja Sukra dengan diam-diam telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka. Sementara sambil menunggu, maka anak-anak itu telah memperbaiki pliridan yang telah rusak. Pliridan Sukra, pliridan Beja dan Siwar dan satu pliridan lagi milik anak yang agak gemuk itu. Ketiga pliridan itu berjarak masing-masing beberapa puluh langkah, sehingga anak-anak itu pun kemudian telah tersebar. Sedangkan berjarak beberapa puluh langkah ke arah udik, terdapat pula pliridan. Tetapi karena tempatnya yang agak jauh, maka mereka tidak melihat apakah pliridan itu juga dirusak. Sebenarnyalah sekelompok anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng telah berjalan menelusuri sungai itu. Mereka adalah anak-anak yang meningkat remaja. Seorang di antara mereka yang berpengaruh, ternyata telah berbuat hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh anak-anak remaja. Pergaulannya dengan anak-anak muda yang lebih besar daripadanya, telah membuatnya melangkah lebih jauh dari umurnya. Remaja itu telah mengenal minuman yang disebut tuak. Bahkan tingkah laku yang kurang pantas dan sikap yang tidak terpuji. Orang-orang tua di Kademangan Wadas Ireng telah dibuat pening oleh tingkah laku beberapa orang anak muda. Mereka bahkan dibayangi oleh pertanyaan, kenapa tingkah laku yang tidak wajar itu menghinggapi anak-anak muda di beberapa Kademangan, hampir merupakan satu ledakan yang bersamaan? Bahkan kemudian anak-anak remaja pun telah dihinggapi pula cacat yang menular dari tataran usia yang lebih tua. Malam itu, anak-anak Wadas Ireng dipimpin oleh seorang remaja, yang mulai terpengaruh oleh kebiasaan buruk sekelompok kecil anak-anak muda di Kademangan Wadas Ireng, telah menelusuri sungai yang melewati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya anak-anak itu belum mampu membuat penilaian tentang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka hanya sekedar menuruti kesenangan mereka dan gejolak jiwa petualangan yang tidak terarah. Seperti yang diduga anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, maka anak-anak dari Wadas Ireng itu benar-benar kembali lewat sungai itu pula. Bahkan mereka masih saja bertingkah laku tidak sewajarnya. Mereka melemparkan batu-batu sebesar telur ayam, dan bahkan mereka berbicara yang satu dengan yang lain dengan keras, tanpa menghiraukan suasana malam di sebelah-menyebelah sungai itu. Ketika anak-anak Tanah Perdikan mendengar sekelompok anak-anak Wadas Ireng itu kembali, maka mereka pun segera berkumpul. Anak-anak Tanah Perdikan itu pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beja dan Siwar yang telah mengalami perlakuan buruk, telah bersiap untuk membalas. “Kau tidak boleh mendendam,” desis Sukra. “He?” Beja dan Siwar heran mendengar kata-kata itu, “Maksudmu?” “Jika mereka nanti tidak berbuat apa-apa, kita juga tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika mereka mendahului mengganggu kita, kita akan mempertahankan diri.” Beja dan Siwar mengerutkan dahinya. Sementara Beja berkata, “Ketika mereka lewat, kami hanya berdua saja. Mereka telah memukul kami. Kepalaku yang gundul telah ditamparnya.” “Kita harus berjiwa besar,” Sukra menirukan nasehat Glagah Putih, “tetapi seperti yang aku katakan, jika mereka mendahului, maka kita akan mempertahankan diri. Kita tidak mau dipukuli apapun alasannya.” “Jika mereka tidak memukul kita lagi?” bertanya Siwar. “Biarlah mereka lewat,” jawab Sukra. “Tetapi mereka sudah memukuli aku dan Beja,” desak Siwar. “Lupakan itu. Bukankah kita orang baik yang berjiwa besar?” jawab Sukra. Anak-anak Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, “Ya. Kita orang baik dan berjiwa besar.” Demikianlah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam mereka melihat sekelompok anak-anak yang menyusuri sungai. Mereka sudah mendengar gemercik air yang didera oleh kaki-kaki kecil. Sekali-sekali mereka mendengar gemerasak pohon-pohon perdu yang terkena lemparan bebatuan di tepi sungai itu. Bahkan suara tertawa riang, dan kemudian percakapan yang simpang siur. Anak-anak Tanah Perdikan berdiri berjajar di tepian. Nampaknya mereka tidak ingin melanggar pesan Sukra, agar mereka menjadi anak yang baik dan berjiwa besar. Ternyata anak-anak Wadas Ireng itu menyadari, bahwa di hadapan mereka berdiri sekelompok anak-anak Tanah Perdikan, yang rata-rata sebaya dengan mereka dan jumlahnya pun tidak terpaut banyak. Tiba-tiba seorang yang paling berpengaruh di antara mereka tertawa. Katanya, “Bagus. Kita akan mendapat kawan bermain.” Anak-anak itu memang menjadi gembira. Berlari-lari mereka mendekati anak-anak Tanah Perdikan yang sudah bersiap. Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Tetapi untuk beberapa saat, keduanya masih saling berdiam diri. Namun kemudian anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu bertanya, “He, apakah kalian sengaja mencegat kami?” Yang menjawab adalah Sukra, “Tidak.” “Kenapa kalian berkumpul di sini?” bertanya anak itu. “Kami ingin melindungi kawan-kawan kami dari kenakalan anak-anak dari padukuhan yang lain. Kami tidak mau ada kawan-kawan kami yang menjadi sasaran pemukulan,” jawab Sukra. Anak itu tertawa. Katanya, “Kami sudah memukuli dua anak di sini tadi. Seorang di antaranya anak gundul.” “Sekarang tidak lagi,” jawab Sukra, “tidak ada yang boleh dipukuli.” “Menarik sekali memukuli anak yang kepala gundul. He, berikan anak itu. Aku ingin memukulinya lagi.” “Itu namanya menantang,” jawab Sukra, “kau memang mencari persoalan.” “Kepala gundul itu menyenangkan,” jawab anak itu. “Kami sebenarnya tidak ingin berkelahi. Kami berusaha melupakan bahwa kau sudah memukuli kawan kami, karena kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar. Tetapi jika kalian akan mulai lagi, maka justru aku akan menantang berkelahi seorang lawan seorang,” berkata Sukra, “aku akan mewakili kawan-kawanku.” Sejenak anak-anak Kademangan Wadas Ireng itu terdiam. Namun tiba-tiba anak yang terbesar di antara mereka itu pun tertawa. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “Agaknya kau memang suka bergurau. Aku senang mendengarnya. Tetapi itu tidak akan mengurungkan niat kami menampar kepala gundul itu.” “Aku tidak bergurau,” berkata Sukra, “aku menantangmu. Itu pun belum menjamin bahwa kau akan dapat menampar kepala gundul itu. Jika kalah, maka kawan-kawanku akan melindunginya, sehingga kalian harus berkelahi dahulu. Jika kami semua sudah kalian kalahkan, maka barulah kalian dapat memukuli kepala gundul itu.” Anak itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata, “Aku setuju. Seorang di antara kita masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang. Aku akan mewakili kawan-kawanku. Tetapi kalian harus diwakili oleh anak yang terbesar di antara kalian.” “Tidak,” jawab Sukra, “aku yang akan mewakili kawan-kawanku. Kalian tidak berhak menentukan. Siapapun yang akan mewakili kami, itu adalah urusan kami.” “Kau akan menyesal,” berkata anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu. Anak yang terbiasa bergaul dengan sekelompok kecil anak-anak muda yang mulai menempuh jalan sesat. Tetapi Sukra menjawab, “Tidak. Aku tidak akan menyesal. Apapun yang terjadi, itu sudah aku kehendaki.” “Bagus,” sahut anak itu, “bersiaplah.” Sukra memberi isyarat kawan-kawannya untuk mundur. Demikian pula anak Wadas Ireng yang akan mewakili kawan-kawannya itu. Kedua kelompok anak-anak itu membentuk lingkaran di tepian. Sementara Sukra dan anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu berada di tengah. “Siapa namamu?” tiba-tiba anak Wadas Ireng itu bertanya. “Namaku Sukra. Siapa namamu?” Sukra ganti bertanya. “Namaku Lugu. Anak-anak sebayaku, bahkan anak yang lebih besar dari aku, takut kepadaku. Apalagi anak seperti kau. Kau tentu akan segera berjongkok minta ampun di hadapanku.” “Bagus,” jawab Sukra, “kita akan berkelahi. Jika ada seorang di antara kelompok kita masing-masing yang membantu, maka ia dianggap kalah. Jika paugeran ini dilanggar, maka kita akan berkelahi bersama-sama meskipun sebenarnya tidak kami kehendaki, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar.” “Cukup! Bersiaplah!“ anak itu tiba-tiba membentak. Sukra tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian keduanya bergeser beberapa langkah. Namun Lugu itu pun segera meloncat menyerang dengan ayunan tangannya. Sukra yang sudah bersiap itu pun segera mengelak. Tangan itu terayun deras. Tetapi tidak menyentuh sasarannya. Tetapi Lugu tidak membiarkan Sukra luput dari jangkauan serangannya. Iapun segera meloncat menerkam dengan kedua tangannya yang langsung mengarah ke leher. Sukra terkejut melihat serangan itu. Serangan itu baginya tidak terlalu berbahaya. Tetapi bahwa anak itu langsung berusaha mencengkam leher adalah pertanda betapa garangnya, bahkan akibatnya akan dapat menjadi sangat mengerikan. Sukra berkisar ke samping. namun ia sempat berkata, “Kenapa kau berkelahi dengan kasar? Jika kau berhasil mencengkam leherku, apa yang akan kau lakukan?” “Mencekikmu,” jawab Lugu. “Aku dapat mati karenanya,” berkata Sukra kemudian. “Aku tidak peduli. Dalam satu perkelahian yang disepakati seorang lawan seorang, mati adalah akibat wajar, yang membunuh tidak dapat dianggap bersalah. Bahkan ia pantas mendapat kehormatan sebagai seorang pahlawan.” “Gila,” geram Sukra, “siapa yang telah meracuni otakmu dengan sikap seperti itu?” Lugu berhenti menyerang. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau menjadi ketakutan?” “Tidak. Kau tidak berbahaya bagiku. Tetapi kau adalah barbahaya bagi anak yang lain. Kau benar-benar dapat membunuh dengan caramu berkelahi itu. Apakah membunuh bagimu dapat menjadi satu kebanggaan, sementara seseorang yang telah membunuh sesamanya akan selalu dikejar oleh penyesalan?” “Para prajurit membunuh di medan perang,” jawab Lugu. “Membunuh dan berperang itu tidak sama,” jawab Sukra. “Lidahmu yang agaknya bercabang seperti lidah ular. Tetapi aku tidak perduli. mungkin kau memang akan mati dalam perkelahian ini. Tetapi sekali lagi aku katakan, mati adalah akibat yang sangat wajar.” “Bagaimana jika kau yang mati?” bertanya Sukra. Anak itu tertawa, katanya, “Hanya anak bintang yang turun dari langit yang dapat mengalahkan apalagi membunuh aku.” Namun jawab Sukra, “Bagus. Aku adalah anak bintang.” Lugu itu mengerutkan dahinya. Namun Sukra pun berkata, “Bersiaplah kau anak bayangan kegelapan. Sudah saatnya anak bintang turun dari langit.” Sikap hati Lugu membuat Sukra menjadi marah. Meskipun demikian, ia tidak pernah melupakan pesan Glagah Putih agar tidak kehilangan kendali diri. Demikianlah, sejenak kemudian Lugu sudah mulai menyerang lagi. Ia mengira bahwa Sukra menjadi takut melihat kedua tangannya yang terjulur mengarah ke lehernya. Karena itu, maka ketika serangan kakinya tidak mengenai sasaran karena Sukra menghindar, maka Lugu itu pun telah mengulangi serangannya dengan kedua tangannya terjulur ke arah leher Sukra. Namun Sukra benar-benar menjadi marah melihat serangan yang berbahaya itu. Bahkan menurut pendapat Sukra, serangan itu sangat berlebihan bagi perselisihan anak-anak. Apabila sikap Lugu bahwa ia sama sekali tidak menghargai nyawa orang lain dalam persoalan yang sebenarnya tidak berarti itu. Karena itu, ketika Sukra melihat tangan yang terjulur itu, maka iapun menggeram marah. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Namun kemudian kakinya terayun mendatar dengan derasnya mengenai lambung. Lugu terdorong beberapa langkah ke samping, bahkan kemudian anak itu terjatuh di atas pasir tepian. Namun anak itu segera bangkit kembali. Lugu memang menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Namun tidak lama. Sejenak kemudian iapun telah bersiap untuk berkelahi lagi. Bahkan dengan lantang iapun berkata, “He, kau telah menyakiti aku. Akibatnya akan sangat buruk bagimu.” Sukra tidak menghiraukannya. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawannya yang lebih besar daripadanya itu. Demikianlah, Lugu itu telah menyerang dengan garangnya. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kerasnya. Tetapi dengan tangkas Sukra menghindar. Namun sekali-sekali Sukra terpaksa menangkis serangan-serangan itu. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Sukra harus mengakui bahwa kekuatan Lugu lebih besar dari kekuatannya, sehingga kadang-kadang Sukra terdorong surut. Namun Sukra yang telah mempelajari dasar-dasar kemampuan bela diri dengan tekun, memiliki kesempatan lebih baik. Lugu kadang-kadang merasa kehilangan lawannya yang berloncatan. Namun tiba-tiba Sukra telah menyerang dengan derasnya, sehingga Lugu-lah yang terdorong surut. Lugu menjadi semakin marah ketika serangan-serangan Sukra semakin lama semakin sering mengenai tubuhnya. Sekali dua kali, Lugu yang memiliki tubuh dan daya yang sangat kuat itu tidak menghiraukannya. Tetapi semakin sering Sukra mengenainya, maka perasaan sakit itu menjadi semakin terasa menyengat tubuhnya dimana-mana. Dalam pada itu, anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng dan anak-anak padukuhan induk Tanah Perdikan itu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Sekali-sekali anak-anak Tanah Perdikan yang bersorak, namun di kesempatan lain, anak-anak Wadas Ireng-lah yang bersorak-sorak. Orang-orang yang sedang meronda di padukuhan induk, mendengar suara-suara ramai di tepian meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi mereka menyangka bahwa anak-anak sedang bermain sambil menutup pliridan mereka di sungai. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak di tepian itu sedang menonton Sukra dan Lugu yang sedang berkelahi. Sementara itu Lugu masih mampu berkelahi dengan garangnya. Ia benar-benar menjadi keras dan bahkan kasar. Namun Sukra dengan tangkas mengimbanginya. Latihan-latihan yang berat membuatnya mampu bergerak cepat untuk mengatasi kekuatan Lugu yang sangat besar bagi anak-anak. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dibandingkan dengan Sukra. Meskipun demikian, ternyata semakin lama Lugu semakin mengalami kesulitan. Hanya karena daya lahannya yang tinggi serta kekuatannya yang besar sajalah yang membuatnya masih dapat bertahan terus. Sementara itu, meskipun Sukra lebih kecil dan lebih muda, tetapi tenaganya sudah terlatih. Sukra itu mampu memperhitungkan agar ia tidak kehabisan tenaganya. Dalam pada itu, semakin lama Sukra menjadi semakin sering mengenai tubuh Lugu dengan serangan-serangannya yang cepat. Tetapi perlawanan Lugu masih belum menjadi susut. Meskipun beberapa kali Lugu terdorong dan jatuh di atas pasir tepian, namun ia segera bangkit dan siap untuk berkelahi lagi. Sukra-lah yang justru mulai merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah terlepas untuk mengimbangi kekuatan dan daya tahan lawannya yang tinggi. Karena itu, Sukra mulai merasa bahwa tenaganya telah menyusut. Karena itu, maka Sukra harus mulai mempertimbangkan benar-benar tata geraknya, agar ia tidak menjadi kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum Lugu dapat ditundukkannya. Itulah sebabnya maka Sukra mulai memperhitungkan benar-benar sasaran serangannya. Sukra mulai mengarahkan serangan-serangannya pada bagian tubuh lawannya yang lemah, tetapi tidak membahayakannya. Dengan demikian maka Sukra semakin sering berusaha menyerang dan mengenai lambung lawannya. Tidak saja dengan tumit kakinya, tetapi dengan jari-jarinya yang terbuka dan merapat. Pada kesempatan itu, sisi telapak tangan Sukra telah menghantam pundak Lugu, sehingga sebelah tangan anak itu rasa-rasanya untuk beberapa saat telah melemah. Pada kesempatan itu, Sukra telah mengarahkan serangannya pada sisi yang lemah itu. Beberapa kali kakinya terjulur mengenai lengan dan bahu yang rasa-rasanya menjadi semakin kesakitan. Lugu mengumpat dengan kasar. Namun serangan-serangan Sukra datang beruntun seperti banjir yang mengalir tidak putus-putusnya. Serangan disusul dengan serangan, sehingga Lugu tidak sempat menangkis dan menghindar. Karena itu, Lugu itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian kawan-kawannya yang melingkarinya harus menyibak ketika Lugu terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Sukra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebelum Lugu sempat memperbaiki kedudukannya, Sukra itu melenting menyerang dada Lugu dengan kakinya yang terjulur menyamping. Serangan Sukra cukup keras meskipun sebenarnya tenaganya sudah mulai menyusut. Apalagi pada saat-saat terakhir, Sukra harus mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perlawanan Lugu sebelum ia sendiri kehabisan tenaga. Sukra memang menyadari, jika usahanya terakhir itu gagal sementara ia sudah kehabisan tenaga, maka Lugu-lah yang akan menguasainya, dan ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk. Tetapi dengan perhitungan yang baik, Sukra yakin akan dapat menundukkan lawannya itu sebelum tenaganya habis. Serangan kaki Sukra itu ternyata telah melemparkan Lugu beberapa langkah. Serangan yang cukup keras itu membuat Lugu kehilangan keseimbangannya. Karena itu, maka tubuh Lugu itu telah terdorong dan jatuh menggelepar di dalam air. Lugu memang berusaha untuk bangkit agar air sungai itu tidak terlalu banyak masuk ke dalam mulut dan hidungnya. Meskipun kemudian Lugu itu berhasil untuk berdiri, tetapi hanya sesaat. Tubuhnya yang merasa sakit dimana-mana, nafasnya yang menjadi sesak demikian dadanya terkena serangan kaki Sukra, serta tenaganya yang juga terkuras, membuat Lugu benar-benar tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia mencoba melangkah ke tepian, iapun telah terjatuh lagi. Tetapi Lugu telah berhasil keluar dari air sungai yang mengalir tidak terlalu deras itu. Sukra berdiri termangu-mangu. Kawan-kawannya telah bersorak meneriakkan kemenangan. Beberapa orang kawan Lugu telah berlari memburunya. Mereka berusaha untuk menolong Lugu dengan mengangkat tubuhnya dan membantunya berdiri. Lugu kemudian memang dapat berdiri. Tetapi dua orang kawannya harus membantunya. Namun Lugu masih belum mengakui kekalahannya. Dengan lantang ia berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak kalah. Kita akan membuat anak-anak yang licik itu menjadi jera. Kita akan berkelahi bersama-sama.” Sukra yang nafasnya masih terengah-engah itu menjadi berdebar-debar. Meskipun menurut perhitungannya anak-anak Padukuhan induk Tanah Perdikan itu tidak akan kalah, namun ia sendiri memerlukan untuk beristirahat barang beberapa saat. Karena itu, Sukra itu pun kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “He, apakah kalian akan berkelahi beramai-ramai?” “Kalian akan dihancurkan,“ geram Lugu yang masih belum dapat berdiri tegak. “Kalian tanpa Lugu tidak akan berarti apa-apa bagi kami. Sementara itu, kalian lihat bahwa Lugu sudah tidak berdaya. Jika aku mempunyai landasan pikiran seperti Lugu, maka aku sudah mencekiknya. Menurut Lugu, jika dalam perkelahian seseorang terlanjur mati, maka yang membunuh tidak dapat dipersalahkan.” Anak-anak Wadas Ireng itu terdiam. Ternyata ketika ancaman itu ditujukan kepada mereka, maka mereka pun menjadi sangat ngeri. Bahkan Lugu sendiri merasa ngeri mendengarnya. Namun ternyata Lugu itu masih belum juga mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka iapun berkata, “Kau tidak perlu menakut-nakuti kami. Kau kira aku tidak dapat berkelahi lagi? Sebentar lagi tenagaku akan pulih. Aku akan memilin leher anak-anak padukuhan ini. Seorang demi seorang. Dan kau adalah anak yang pertama akan kuhancurkan.” Tetapi Sukra tertawa. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pernafasannya sangat membantu memulihkan kekuatannya. “Kau masih juga mengigau, Lugu. Berdiripun kau sudah tidak mampu lagi. Apalagi memilin leher kami.” “Persetan kau,” geram Lugu. Tetapi ketika ia melangkahkan kakinya, maka ia masih saja terhuyung-huyung. Kawan-kawannya yang membantunya berdiri, dengan cepat menahannya agar Lugu itu tidak terjatuh. Meskipun demikian, ia masih berteriak, “Ayo kawan-kawan, kita hancurkan anak-anak yang licik itu!” Tetapi sekali lagi Sukra tertawa keras-keras. Katanya, “Sebenarnya kau mau apa, Lugu? Melangkah pun kau sudah tidak mampu lagi.” “Anak-anak Wadas Ireng bukan anak-anak cengeng!“ bentak Lugu. Lalu katanya sekali lagi kepada kavan-kawannya, “Cepat! Selesaikan mereka!” Namun tiba-tiba Sukra itu pun menggeram, “Mari. Siapa yang ingin aku patahkan lengannya? Kau lihat, aku berkata sebenarnya. Dan aku pun mampu melakukannya. Berbeda dengan Lugu. Ia hanya dapat berteriak-teriak dan membentak-bentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Anak-anak Wadas Ireng itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Lugu itu membentak lagi, “Cepat! Siapa yang tidak mau melakukannya, aku besok akan menghukumnya. Hukuman yang belum pernah aku berikan kepada kalian sebelumnya.” Anak-anak Wadas Ireng itu menjadi bingung. Mereka merasa ngeri untuk berkelahi, apalagi melawan Sukra. Tetapi mereka pun menjadi ketakutan mendengar ancaman Lugu. Jika mereka menolak untuk melakukan perintah Lugu, maka nasib mereka akan menjadi buruk untuk waktu yang lama. Kemarahan Lugu tidak hanya akan terbatas dalam satu dua hari. Tetapi ia adalah pendendam yang berkepanjangan. Sukra yang melihat anak-anak Wadas Ireng itu ragu-ragu berkata lantang, “He, apakah kalian merasa sulit untuk memilih? Berkelahi melawan kami, atau dimusuhi Lugu dan bahkan menerima hukumannya?” “Cukup! Aku koyak mulutmu!“ teriak Lugu. Tiba-tiba saja darah Sukra naik sampai ke kepala. Dengan kecepatan yang tinggi ia meloncat ke arah Lugu. Satu ayunan tangannya telah menampar mulut yang baru saja terkatup itu. Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya menjadi pecah dan darah mulai mengalir duri luka di bibirnya itu. “Ayo, berteriaklah sekali lagi!“ bentak Sukra. Lugu memang bergeser mundur. Dua orang yang membantunya berdiri ikut bergeser pula. Tetapi keduanya menjadi gemetar melihat sikap Sukra. Bahkan Sukra itu berkata selanjutnya dengan nada marah, “Aku dapat mencekikmu, Lugu. Mengerti? Mulutmu jangan kau buka sekali lagi. Aku akan memukulimu sampai kau terdiam.” Namun ternyata harga diri Lugu itu cukup tinggi. Meskipun mulutnya terasa sakit dan bibirnya rasa-rasanya-menjadi semakin tebal bergayut di mulutnya, namun ia masih menjawab, “Kau tidak berhak memerintah aku.” Ternyata Sukra tidak hanya menggertak. Karena anak itu membuka mulutnya lagi, maka Sukra pun benar-benar memukul mulut Lugu. Sekali lagi Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya yang berdarah menjadi semakin berdarah. Bahkan hampir saja Lugu tidak dapat menahan tangisnya. Kedua kawannya yang membantunya berdiri menjadi semakin gemetar. Tetapi Lugu benar-benar terdiam. “Jika kau tidak mau diam, maka kedua anak yang membantumu berdiri itu pun akan aku pukuli, supaya melepaskanmu. Aku akan membenamkan kepalamu ke dalam air sehingga perutmu menjadi kembung. Aku tidak peduli apakah kau akan mati atau tidak.” Lugu benar-benar terdiam. Sementara Sukra berkata sambil melangkah hilir mudik. Tangannya bergerak-gerak mengikuti irama kata-katanya yang meluncur dari mulutnya. Sukra memang sengaja menirukan sikap Agung Sedayu, yang dianggapnya lebih tua dari Glagah Putih, “Aku bersungguh-sungguh sekarang.” Tidak seorang pun yang menyahut. Namun tiba-tiba Sukra itu berhenti melangkah. Dipandanginya anak-anak Wadas Ireng yang masih berkerumun di sekitar Lugu yang kesakitan. Dipandanginya anak-anak itu dengan tatapan mata yang tajam. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kalian menjadi demikian takut kepada Lugu?” Anak-anak itu masih tetap berdiam diri. “Seharusnya kalian tidak takut. Mungkin kalian seorang-seorang tidak berani melawan Lugu. Tidak seorangpun di antara kalian yang dapat mengalahkannya. Tetapi jika kalian bersepakat untuk melawannya, batapapun kuatnya anak itu, tetapi kekuatannya tidak akan melebihi empat orang anak di antara kalian. Atau barangkali lima orang. Jika jumlah kalian sepuluh atau lebih, maka Lugu bukan apa-apa bagi kalian,” berkata Sukra. Anak-anak itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Yang kemudian bertanya adalah justru anak padukuhan induk itu, “Bagaimana kalau Lugu mengancam anak-anak Wadas Ireng seorang demi seorang?” “Anak-anak Wadas Ireng itu bersama-sama mengancam Lugu. Jika ada satu saja di antara kawan-kawannya yang disakiti Lugu, maka Lugu akan dihajar beramai-ramai tanpa ampun. Nah, dengan demikian Lugu tidak akan pernah mengancam siapapun di Kademangan Wadas Ireng.” Anak-anak Wadas Ireng itu saling berpandangan. Kata-kata Sukra itu nampaknya dapat mereka pahami. Namun seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika ada yang berkhianat? Mungkin karena keuntungan yang didapatinya, mungkin Lugu memberinya uang atau makanan atau apa saja, sehingga beberapa orang justru membantunya?” “Jumlah anak-anak yang baik tentu berlipat,” jawab Sukra. Seorang anak padukuhan induk yang lain berteriak, “Yang berkhianat akan dihukum lebih berat dari Lugu sendiri.” Wajah Lugu menjadi merah padam. Hampir saja ia berteriak oleh kemarahan yang menyesakkan dadanya. Namun baru saja ia bergeser, maka Sukra berkata, “Ingat Lugu. Jika sepatah kata saja keluar dari mulutmu, maka kedua bibirmu akan rontok.” Lugu benar-benar menjadi ketakutan oleh ancaman Sukra yang nampaknya memang tidak main-main. Namun tiba-tiba seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika Lugu minta bantuan anak-anak yang lebih besar, yang agaknya menjadi latar belakang pengaruh Lugu?” “Di Kademangan Wadas Ireng terdapat banyak sekali anak-anak muda yang baik. Jauh lebih banyak dari mereka yang bertabiat buruk. Jika mereka segan turut campur, maka ada Ki Bekel di setiap padukuhan. Ada Ki Demang, para bebahu, terutama Ki Jagabaya.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai mengangguk-angguk. Sukra yang merasa bahwa kata-katanya mulai mengusik perasaan anak-anak Wadas Ireng itu pun kemudian berkata, “Pulanglah. Bawa Lugu pulang. Tetapi jangan dipukuli sepanjang jalan. Tetapi jika pada suatu saat ia mulai melakukan perbuatan yang buruk lagi, kalian dapat mencegahnya. Jangan takut. Ia bukan anak yang tidak terkalahkan. Kau lihat, ia tidak berdaya sekarang.” Anak-anak Wadas Ireng itu berpaling kepada Lugu yang masih sangat lemah. Pandangan mata mereka telah berubah. Anak-anak itu tidak lagi menganggap Lugu sebagai panutan yang harus diikuti segala perbuatan dan tingkah lakunya. “Pulang!“ tiba-tiba Sukra membentak, “Ingat kata-kataku. Dalam keadaan yang paling sulit bagi kalian, datanglah mengadu kepada Ki Jagabaya. Lugu dan kawan-kawannya tentu akan mendapat peringatan, dan bahkan jika perlu hukuman.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai beranjak. Dua orang anak yang membantu Lugu hampir saja melepaskannya. Tetapi Sukra berkata, “Bantu ia berjalan. Hati-hati.” Sejenak kemudian, maka anak-anak Wadas Ireng itu pun beringsut meninggalkan tepian. Dua orang anak masih membantu Lugu berjalan di tepian berpasir. Namun Sukra yakin bahwa kata-katanya berpengaruh terhadap anak-anak Wadas Ireng, sehingga mereka akan berani menentang setiap niat buruk Lugu, yang sebelumnya sangat berpengaruh atas anak-anak Wadas Ireng itu. Demikian anak-anak Wadas Ireng itu meninggalkan tepian, maka anak-anak padukuhan induk itu menarik nafas panjang. Mereka tidak perlu berkelahi untuk mengusir anak-anak nakal itu. Dada Sukra pun menjadi lapang. Sebenarnya ia masih merasa letih. Lugu ternyata seorang anak yang memiliki kekuatan dan daya tahan yang sangat besar. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dari Sukra. Namun dalam pada itu, Sukra itu pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak perlu berkelahi. Bukankah kita orang baik dan berjiwa besar?” Tetapi seorang anak bertanya, “Tetapi kau sendiri berkelahi, Sukra.” Sukra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika aku tidak berkelahi, maka kalian semua akan berkelahi. Maka menurut pendapatku, lebih baik aku berkelahi seorang diri daripada kalian semuanya.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, “Apakah pekerjaan kita memperbaiki pliridan sudah selesai?” “Hampir,” jawab seseorang. “Kita akan menyelesaikannya sebentar. Kemudian kita akan pulang. Kita tentu tidak akan dapat menutup pliridan di dini hari ini,” berkata Sukra. Anak-anak itu pun kemudian melakukan sebagaimana dikatakan oleh Sukra. Baru setelah pekerjaan itu selesai, maka anak-anak itu pun meninggalkan tepian, naik memanjat tebing dan melintasi tanggul, pulang ke rumah masing-masing. Beberapa di antara orang tua mereka bertanya, kenapa mereka terlalu lama bermain-main di sungai. Seorang ayah dengan marah bertanya, “Apa yang kalian lakukan sampai dini hari? Bagi mereka yang mempunyai pliridan, masih dapat dimengerti seandainya mereka menunggui pliridannya atau sengaja menutup pliridannya sekali lagi. Tetapi kau tidak mempunyai pliridan lagi.” “Kami membantu memperbaiki pliridan kawan-kawan, Ayah,” jawab anak-anak itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka hampir saja terlibat dalam perkelahian melawan anak-anak Wadas Ireng. Sukra yang kemudian dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan yang langsung menuju ke biliknya, memang tidak perlu membangunkan siapapun juga. Justru karena anak itu sering pergi ke sungai, maka Agung Sadayu sengaja membuat bilik baginya dengan pintu butulan tersendiri. Ketika kemudian fajar menyingsing, anak itu sudah sibuk sebagaimana biasanya. Iapun tidak mengatakan kepada Glagah Putih, apa yang telah terjadi di tepian. Namun ternyata kemudian peristiwa itu tersebar juga di antara anak-anak, dan bahkan akhirnya terdengar juga oleh orang-orang tua. Satu dua orang pengawal yang meronda, yang mendengar suara riuh di tepian, mengira bahwa suara itu sekedar suara anak-anak yang bermain dengan pliridan di sungai. Namun baru kemudian mereka ketahui bahwa hampir saja terjadi perkelahian antara anak-anak padukuhan induk itu dengan anak-anak Kademangan Wadas Ireng. Glagah Putih yang kemudian juga mendengarnya ketika ia berada di antara para pengawal, telah memanggil Sukra demikian ia pulang dari banjar. “Kau berkelahi?” bertanya Glagah Putih. Jawab anak itu tegas, “Ya. Tetapi jika aku tidak berkelahi, maka anak-anak yang berkumpul di tepian itu akan berkelahi semuanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kau masih melihat kemungkinan yang lain, maka kau tidak boleh berkelahi.” Sukra mengangguk. Tetapi sikapnya terhadap Glagah Putih memang sudah berubah. Dengan urut Sukra kemudian bercerita tentang apa yang telah terjadi di tepian. Menurut pendapatnya, jika Lugu telah dikalahkan, maka yang lain masih akan mungkin dicegah. Glagah Putih menepuk bahunya sambil berkata, “Baiklah. Kau memang mempunyai alasan yang kuat, kenapa kau harus berkelahi.” Sukra mengangguk kecil. Sukra memang merasa lega bahwa ia tidak dianggap bersalah. Ternyata peristiwa itu telah mendorong Sukra untuk berlatih lebih bersungguh-sungguh. Ia merasa bahwa ilmunya akan berarti, justru untuk mencegah kekerasan yang lebih luas. Sementara itu, pada hari itu Kanthi nampak lebih banyak merenung. Ia memang sedang mengangkat beban baru di dalam hatinya. Ia harus menjawab pernyataan Wacana yang disampaikan lewat Rara Wulan. Meskipun Kanthi berusaha untuk tetap bersikap wajar sebagaimana sikapnya sehari-hari, namun orang lain masih dapat menangkap betapa Kanthi sedang mencari-cari jawab. Wacana sendiri juga merasa tegang. Hari itu Wacana berusaha untuk tidak bertemu dengan Kanthi. Dilakukannya pekerjaan apa saja di kebun belakang. Kemudian ikut Ki Jayaraga ke sawah, dan demikian ia pulang, maka ia telah menenggelamkan dirinya di dalam sanggar. Namun Kanthi sempat juga melihat kegelisahan dan ketegangan yang mencengkam perasaan anak muda itu. Karena itu, ia sadar bahwa ia tidak boleh terlalu lama memberikan jawaban. Di malam hari setelah makan malam, sementara Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk-duduk di pendapa dan Wacana bersama Glagah Putih berada di serambi gandok, Sekar Mirah dan Rara Wulan setelah membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor serta membersihkan ruang dalam, telah duduk pula sambil berbincang. Dengan hati-hati Rara Wulan memang mencoba memancing apakah Kanthi sudah mempunyai jawaban atas pernyataan Wacana. “Tentu Wacana tidak tergesa-gesa, Kanthi, karena ia tidak akan pergi kemana-mana. Tetapi nampaknya Wacana selalu dibayangi oleh kegelisahannya menunggu jawabmu,” berkata Rara Wulan kemudian, meskipun dengan agak ragu. Sementara itu Sekar Mirah bertanya pula, “Apakah masih ada yang harus dipikirkan? Kanthi. Jika kau sudah mengiakannya, maka sudah tentu Wacana akan melamarmu kepada orang tuamu. Bukan harus Wacana sendiri yang datang, tetapi bukankah ada Kakang Agung Sedayu. Ada pula Ki Jayaraga, yang agaknya mempunyai pekerjaan baru, melibatkan diri dalam persoalan anak-anak muda dalam hubungannya dengan gadis-gadis.” Rara Wulan tersenyum, sementara Kanthi pun berusaha menyembunyikan senyumnya itu. Namun desakan-desakan Rara Wulan dan Sekar Mirah itu memang mempercepat perenungan Kanthi menanggapi pesan Wacana itu. Karena itu, maka Kanthi tidak merasa perlu lagi menunda-nunda jawabannya, karena iapun kemudian sadar bahwa semakin cepat persoalan itu selesai dengan tuntas, akan semakin baik baginya. Karena itu, sambil menundukkan wajahnya, Kanthi akhirnya mengangguk kecil sambil berdesis, “Aku akan menganggap baik mana yang Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan menganggap baik.” Wajah Rara Wulan-lah yang tiba-tiba menjadi ceria. Namun Sekar Mirah masih mendesaknya, “Aku ingin mendengar jawabmu Kanthi. Bukankah kau menerima Wacana untuk kelak bersama-sama memasuki dunia kekeluargaan?” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. Sambil mengangguk pula ia menjawab, “Ya, Mbokayu.” Tiba-tiba saja Rara Wulan memeluknya. Ternyata gadis itulah yang lebih dahulu menitikkan air mata. Namun titik-titik air mata itu telah memancing air mata Kanthi pula. Sekar Mirah-lah yang kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau telah menapak maju menjelang hari depanmu yang lebih baik, Kanthi.” Kanthi masih menunduk, sementara Rara Wulan mengguncangnya, “Tersenyumlah Kanthi. Kau akan menjadi semakin cantik.” Kanthi memang mencoba tersenyum. Tetapi justru titik air di mata Rara Wulan menjadi semakin deras, sehingga Kanthi pun tidak dapat menahan isaknya lagi. “Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “kita memang harus memandang hari depan dengan tengadah.” “Nanti aku akan menyampaikannya kepada Kakang Glagah Putih. Wacana harus segera mendengar jawaban ini. Aku sendiri yang akan mengatakannya kepada Wacana,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk kecil. Sementara Sekar Mirah berkata, “Katakanlah dengan hati-hati Rara.” Rara Wulan yang kemudian melepaskan Kanthi pun telah mengusap matanya. Kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Aku akan menemui Kakang Glagah Putih. Ia tentu berada di serambi gandok.” “Atau di sanggar,” desis Sekar Mirah. “Agaknya belum, Mbokayu. Bukankah Kakang Glagah Putih baru saja selesai makan bersama kita?” sahut Rara Wulan. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang belum.” Rara Wulan pun kemudian segera beranjak dari tempatnya. Ia tidak keluar lewat pringgitan, karena ia tahu Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sedang duduk-duduk di pendapa untuk mendapatkan udara yang sejuk. Lewat pintu seketheng, Rara Wulan langsung menuju ke serambi gandok. Ketika Rara Wulan melihat Glagah Putih sedang duduk bersama Wacana, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk langsung menyampaikan jawaban Kanthi saat itu juga. Tetapi lebih dahulu Rara Wulan ingin berbicara dengan Glagah Putih. Karena itu, maka ketika ia turun dari pintu seketheng, iapun kemudian mendekati kedua orang itu sambil berkata, “Kakang Glagah Putih, Mbokayu Sekar Mirah ingin berbicara sebentar. Hanya sebentar.” Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Namun Rara Wulan kemudian berkata kepada Wacana, “Kakang Wacana. Jangan pergi.” Wacana mengerutkan dahinya. Namun iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan menunggu.” Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan hilang di balik seketheng, maka Wacana pun menjadi gelisah. Ia sudah menduga, bahwa Rara Wulan akan memberikan pesan-pesan Kanthi kepada Glagah Putih. Di dalam seketheng, Rara Wulan tidak mengajak Glagah Putih menemui Sekar Mirah. Tetapi ia langsung mengatakannya, bahwa Kanthi telah memberikan jawaban. “Apakah kau sependapat, jika aku sekarang menyampaikan jawaban Kanthi itu langsung kepada Wacana?” bertanya Rara Wulan. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia kemudian berdesis, “Apakah tidak ada keseganan pada Wacana jika kau langsung mengatakan kepadanya?” “Bukankah itu lebih baik daripada harus lewat orang lain? Aku dapat menjelaskan pancaran perasaan Kanthi pada saat ia mengatakan jawabannya. Jika Wacana bertanya tentang Kanthi, maka aku akan dapat menyampaikannya langsung kepadanya.” Glagah Putih mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau harus menjaga perasaannya.” “Perasaan Wacana tentu lebih mapan dari perasaan Kanthi,” sahut Rara Wulan. “Agaknya memang demikian,” desis Glagah Putih. Demikianlah, keduanya telah kembali keluar lewat seketheng. Rara Wulan memang berniat langsung bertemu dan berbicara dengan Wacana. Di pendapa, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk menghirup udara segar di ujung malam. Lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri membeku. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melihat Rara Wulan kemudian duduk bertiga bersama Glagah Putih dan Wacana. Mereka pun melihat Rara Wulan berbicara dengan bersungguh-sungguh. Sementara Wacana yang mendengarkannya nampak menjadi tegang. Sementara itu, Rara Wulan atas persetujuan Glagah Putih telah menyampaikan langsung jawaban Kanthi atas pesan Wacana. Ternyata Kanthi dapat menerima Wacana untuk kelak mengarungi gelombang kehidupan keluarga bersama-sama. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Tetapi kau harus menerimanya dengan ikhlas seperti apa adanya, Kakang Wacana. Kau sudah mengetahui sejak semula bahwa Kanthi sudah mengandung. Hendaknya hal ini tidak menjadi persoalan kelak, jika pada suatu saat sedang terjadi sedikit singgungan pada hati kalian berdua.” “Aku mengerti, Rara. Ketika tumbuh niatku untuk melamarnya, aku memang sudah mengetahuinya. Sehingga persoalan ini tidak akan menjadi sebab pertengkaran sehingga akan selalu diungkit-ungkit kembali, jika sedikit terjadi masalah di antara kami.” “Syukurlah,“ Rara Wulan mengangguk-angguk, “jika kedua belah pihak sudah mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing, maka masing-masing akan dapat mengendalikan dirinya.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Aku mengucapkan selamat Wacana. Tetapi kesempatan ini bukan merupakan bagian akhir dari kehidupan masa depanmu, sehingga jalan yang akan kalian lalui berdua selanjutnya tidak selalu jalan datar yang halus dan rata. Tetapi kau dan Kanthi akan memasuki gejolak gelombang yang mengguncang hari-harimu.” “Ah, kau,” desis Rara Wulan, “darimana kau ketahui hal itu, Kakang?” Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berdesis, “Aku pernah menghadiri upacara pernikahan. Seorang yang berambut dan berjanggut putih telah memberikan nasehat kepada sepasang pengantin. Nah, sebagian aku tirukan nasehat itu.” Rara Wulan tertawa. Wacana yang tegang itu pun sempat tersenyum pula. “Jika hanya menirukan saja, semua orang dapat juga mengucapkannya,“ desis Rara Wulan kemudian. Wacana yang sudah tersenyum itu justru berkata, “Baiklah Glagah Putih. Aku akan mengingat nasenat itu baik-baik. Pada saatnya, aku akan menasehatkannya kepadamu kelak.” Ketiga orang itu tertawa hampir tidak tertahankan. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang duduk di pendapa melihat ketiga orang yang tertawa di serambi itu. Sambil tersenyum Agung Sedayu berdesis, “Apa saja yang mereka bicarakan itu?” Ki Jayaraga tersenyum pula. Katanya, “Tentu persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Agaknya mereka telah mendapatkan kesepakatan.” “Mudah-mudahan,” sahut Agung Sedayu, ”jika benar-benar keduanya sepakat, maka jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi Wacana dan Kanthi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita ikut mengucapkan syukur. Dua hati yang terluka, semoga dapat sembuh bersama-sama.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Nampaknya keduanya ikut merasa berbahagia menyertai Wacana dan Kanthi, yang hampir saja kehilangan jalan ke masa depanya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Tetapi dalam waktu yang dekat ini, Angger Agung Sedayu akan disibukkan oleh pernikahan beberapa orang. Angger Prastawa, Angger Sabungsari dan kemudian Angger Wacana.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tidak bersamaan waktunya dengan waktu yang diperlukan oleh Pati.” Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya, “Semuanya harus dilakukan segera. Jika tidak, maka waktunya memang akan diambil Kanjeng Adipati Pati.” Sementara itu, maka Wacana yang sudah mendapat jawaban dari Kanthi itu hatinya mulai mekar. Sekali-sekali memang terlintas wajah Raras yang menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Betapa ia merasa hatinya yang pepat karena ia telah menginginkan Raras untuk menjadi sisihannya. Tetapi semuanya itu sudah lewat. Kini hatinya telah hinggap pada seorang gadis yang pernah mengalami nasib yang buruk. Namun dalam pada itu, Wacana yang masih duduk di serambi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan itu berkata, “Tetapi siapakah yang akan pergi melamar kepada orang tua Kanthi? Keluargaku tinggal di tempat yang jauh. Ada pamanku di Mataram. Tetapi bukankah bagi keluarga Kanthi akan sama saja artinya, jika yang datang melamar itu bukan orang tuaku dan bukan pula pamanku? Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, misalnya?” “Aku kira sama saja, apalagi bagi Kanthi yang memerlukan waktu yang tidak terlalu panjang karena keadaannya,” jawab Glagah Putih. “Ya,” sahut Rara Wulan, “semakin cepat, semakin baik.” “Apakah kalian tahu, kapan Prastawa akan menikah?” bertanya Wacana. “Belum,” jawab Glagah Putih, “keluarga Anggrenilah yang akan menentukannya. Kakang Swandaru juga menunggu sampai kabar itu datang. Agaknya dalam dua tiga hari ini keluarga Anggreni akan memberikan ketentuan waktu itu.” “Apakah kau akan mengambil ancar-ancar dari hari pernikahan Prastawa?” bertanya Rara Wulan. “Tentunya jangan sampai terjadi pada hari yang bersamaan, meskipun dalam suasana yang jauh berbeda,” jawab Wacana. “Maksudmu?” bertanya Rara Wulan. “Prastawa adalah kemanakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan aku adalah orang kabur kanginan. Mungkin pernikahan Prastawa akan dilaksanakan dengan upacara adat selengkapnya serta keramaian yang meriah. Tetapi sudah tentu aku tidak akan demikian. Aku akan datang ke rumah Kanthi hanya dengan membawa tubuhku saja. Seperti kau lihat, di sini aku tidak mempunyai apa-apa.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada hal yang dapat dipertentangkan pada Wacana. Ia harus dengan cepat menyelesaikan ikatan pernikahannya dengan Kanthi. Tetapi sesudah itu, apa yang akan dilakukannya? Bagaimana Wacana akan dapat hidup dan menghidupi keluarganya, meskipun keluarga baru? Agaknya Wacana dapat membaca persoalan yang tumbuh di hati Glagah Putih itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Glagah Putih. Sudah tentu setelah pernikahan, aku tidak dapat berada di sini sebagaimana sekarang ini, tanpa mempunyai landasan penghidupan sama sekali. Tetapi orang tuaku mempunyai beberapa kotak sawah yang dapat aku kerjakan untuk alas sebuah keluarga kecil yang sederhana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan lain justru timbul di dalam hatinya, “Lalu aku sendiri bagaimana? Apakah aku juga harus menyebut beberapa kotak sawah Ayah di Banyu Asri, jika saatnya aku berkeluarga, sementara Ayah sendiri berada di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing?” Namun pertanyaan yang timbul itu segera diredamnya di dalam hati. Demikianlah, Glagah Putih itu pun kemudian berkata pada Rara Wulan,“ Rara. Temuilah Kanthi, katakan apa yang telah kita bicarakan di sini.” Rara Wulan mengangguk. Sementara itu Wacana berkata, “Segala sesuatunya akan aku serahkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Setelah semuanya selesai, aku akan segera pergi menemui keluargaku. Aku yakin bahwa tidak akan timbul masalah.” “Apakah aku juga harus menyampaikan kepada Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih. “Bagaimana menurut pertimbanganmu?” Wacana justru bertanya pula. “Sebaiknya besok kita bersama-sama menemuinya,” berkata Glagah Putih kemudian. Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Besok kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan segala-galanya kepada Ki Lurah.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian telah meninggalkan serambi gandok, masuk ke ruang dalam tidak lewat pringgitan, tetapi masuk seketheng melewati longkangan dan masuk melalui pintu bululan untuk menemui Kanthi. Ternyata Kanthi masih duduk di ruang dalam bersama Sekar Mirah. Wajah Kanthi tidak lagi nampak muram. Sekali-sekali sebuah senyuman telah menghiasi bibirnya. bersambung Posted in Buku 291 - 300 ♦ Seri III Tagged Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Pandan Wangi, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wacana APIdi BUKIT MENOREH Jilid 20 API di BUKIT MENOREH. Karya S.H Mintardja. JILID 20. AKHIRNYA dari tempat yang terlindung itu Kiai Gringsing melihat dua orang mendekatinya. “Benarkah kau, Kiai?” “Ya, aku datang bersama dengan Anakmas Swandaru dan Agung Sedayu.” ♦ 15 Juli 2010 Tetapi sebelum Agung Sedayu sempat menyerang, tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bagaikan melayang dengan kaki terjulur lurus menyamping menyambar keningnya. Agung Sedayu terkejut. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan sambaran kaki Ki Tumenggung. Tetapi adalah di luar dugaannya bahwa demikian cepatnya Ki Tumenggung Wimbasara mengayunkan tangannya menebas ke samping. Agung Sedayu terlambat mengelak. Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara melampaui gerak Agung Sedayu, sehingga tangan Ki Tumenggung-lah yang kemudian menyambar kening. Agung Sedayu terhuyung-huyung sejenak. Keningnya serasa terbentur sebongkah batu hitam. Sekilas matanya menjadi kabur. Namun Agung Sedayu bukan kebanyakan orang. Dengan menghentakkan daya tahannya, maka Agung Sedayu segera menguasai keseimbangannya kembali. Namun ketika serangan berikutnya datang, Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara memang luar biasa. Meskipun Agung Sedayu sudah mengambil jarak, namun dalam sekejap kemudian serangannya telah menghambur memburu Agung Sedayu. Kaki Ki Tumenggung sekali lagi terjulur ke arah dada Agung Sedayu. Agung Sedayu memang tidak mengelak. Namun waktu yang sekejap itu sudah cukup baginya untuk mengembangkan ilmu kebalnya. Karena itu, maka serangan Ki Tumenggung berikutnya seakan-akan tidak lagi menyakitinya. Ki Tumenggung-lah yang kemudian terkejut. Tetapi orang berilmu tinggi itu pun segera menyadari bahwa lawannya yang muda daripadanya itu memiliki ilmu kebal. “Luar biasa, Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung, “kau sempat mengembangkan ilmu kebalmu untuk melindungi dirimu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Ki Tumenggung itu juga memiliki ilmu kebal dari jenis apapun juga. Mungkin Aji Lembu Sekilan sebagaimana dimiliki oleh lawannya kemarin. Tetapi mungkin juga Aji Tameng Waja, atau bahkan yang sebelumnya belum dikenalnya. Dengan demikian, maka pada pertempuran berikutnya kedua orang itu sudah berada pada tataran yang semakin tinggi. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, orang itu pun memiliki ilmu kebal, sehingga sebagaimana serangan-serangan lawannya yang seakan-akan tidak dapat mengenai sasarannya, demikian pula serangan-serangan Agung Sedayu. Namun keduanya berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka dan berusaha untuk menembus ilmu kebal lawan masing-masing. Tetapi kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu kebal mereka pula. Dengan demikian, yang terjadi kemudian seakan-akan adalah sekedar benturan-benturan ilmu yang tidak berkesudahan. Namun keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika keduanya menghentakkan kemampuan mereka dilambari dengan tenaga dalam yang terungkap sampai tuntas, maka serangan-serangan mereka mulai mengguncangkan ilmu kebal masing-masing. Namun justru karena itu, Ki Tumenggung Wimbasara tidak lagi mempercayakan diri kepada ilmu kebalnya. Ketika Agung Sedayu berhasil mengayunkan tangannya dan mengenai pundak Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung telah merasakan betapa kekuatan yang sangat besar dari Lurah prajurit Mataram itu dapat menggoyahkan ilmu kebalnya. Namun demikian kaki Ki Tumenggung menyapu betis Agung Sedayu dengan kekuatan yang luar biasa, maka Agung Sedayu seakan-akan telah tergelincir jatuh. Meskipun dengan cepat ia sempat meloncat bangkit, namun Agung Sedayu sadar bahwa ilmu kebalnya telah digoyahkan oleh lawannya. Bahkan udara yang menjadi panas di saat Agung Sedayu meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak, sama sekali tidak mempengaruhi lawannya sama sekali. Dalam pada itu, Ki Tumenggung tidak saja bertumpu pada ilmu kebalnya. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Ki Tumenggung sempat membingungkan Agung Sedayu. Seakan-akan Ki Tumenggung Wimbasara itu setiap kali lenyap dari tempatnya. Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari arah yang tidak diduganya, dengan kekuatan yang kemampuan yang sangat tinggi, sehingga mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Beberapa kali Agung Sedayu harus menyeringai menahan sakit. Bahkan kulit dan dagingnya mulai terasa menjadi memar. Namun bukan hanya Agung Sedayu saja-lah yang menjadi kesakitan. Lawannya yang memiliki ilmu yang sangat tinggi dan pengalaman yang sangat luas pun setiap kali harus menahan desah di mulutnya. Perasaan nyeri dan sakit rasa-rasanya telah menembus sampai ke tulang. Agung Sedayu yang menyadari bahwa lawannya mampu bergerak demikian cepatnya sehingga sulit diikuti dengan penglihatan mata wadag, telah memaksa Agung Sedayu menerapkan ilmunya meringankan tubuhnya untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Sementara itu, untuk mengetahui lawannya di setiap saat agar tidak lepas dari pengamatannya, Agung Sedayu telah menerapkan ilmunya Sapta Panggraita. Meskipun lawannya seakan-akan hilang dari penglihatannya tetapi Agung Sedayu tetap mengetahui di mana lawannya itu berada. Kemampuan Agung Sedayu itu benar-benar di luar dugaan Ki Tumenggung Wimbasara. Seorang Lurah prajurit yang terhitung masih muda, ternyata sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Para prajurit dari Pati dan para prajurit Mataram yang menyertai Panembahan Senapati memasuki halaman istana itu berdiri mematung di tempatnya. Pertempuran yang terjadi benar-benar merupakan pertarungan dua kemampuan yang sangat tinggi. Kedua orang itu mampu bergerak dengan cepat, sehingga kadang-kadang mereka terlambat mengikuti apa yang terjadi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sekali-sekali tangannya mengembang sambil bergerak bagaikan mengambang di udara. Sementara itu, Ki Tumenggung Wimbasara setiap kali seakan-akan hilang dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba saja serangannya segera melibat lawannya seperti badai. Namun Agung Sedayu setiap kali mampu menghindar dengan kecepatan yang tidak kasat mata. Pertempuran itu pun berlangsung beberapa lama. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Sekali-sekali mereka menghindar, tetapi kadang-kadang mereka dengan sengaja menangkis serangan-serangan itu sehingga terjadi benturan-benturan. Namun pertempuran dengan mengandalkan kecepatan gerak itu tidak segera dapat mereka selesaikan. Jika sekali-sekali serangan mereka menyusup pertahanan lawan dan bahkan menembus ilmu kebal mereka masing-masing, ternyata bahwa serangan itu tidak pernah berhasil melumpuhkan lawan. Karena itu, keduanya pun kemudian telah berpaling kepada kemampuan mereka yang lain. Mereka tidak lagi mengandalkan kepada kecepatan bergerak semata-mata. Tetapi mereka juga mulai mengembangkan tenaga dalam yang mereka ungkapkan sampai ke dasar. Dengan demikian, gerak mereka nampaknya menjadi semakin lamban. Tetapi setiap gerak selalu memancarkan tenaga yang sangat besar. Jika kemudian terjadi benturan-benturan, maka kedua-duanya kadang telah terdorong surut. Serangan yang sangat kuat dilandasi dengan tenaga dalam yang sangat besar telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut. Serangan yang menyusul kemudian, telah menghantam dada Agung Sedayu. Hanya karena Agung Sedayu dilindungi dengan ilmu kebalnya saja-lah, maka iga-iganya tidak rontok di dalam dadanya. Meskipun demikian Agung Sedayu yang belum berhasil berdiri dengan mapan, telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah. Beberapa kali Agung Sedayu berguling. Sementara itu Ki Tumenggung Wimbasara telah meloncat memburunya. Namun Agung Sedayu yang masih menerapkan ilmunya meringankan tubuh, dengan kecepatan yang tidak kasat mata telah berdiri tegak dan siap menghadapi serangan Ki Tumenggung Wimbasara. Karena itu, ketika serangan itu benar-benar datang, Agung Sedayu telah bersiap untuk menghadapinya. Yang terjadi kemudian adalah satu benturan ilmu yang keras. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling mendera. Orang-orang yang menyaksikannya menjadi semakin tegang. Panembahan Senapati bahkan sempat menahan nafas sejenak. Serangan Ki Tumenggung Wimbasara yang datang bagaikan angin prahara itu telah membentur pertahanan Agung Sedayu yang kokoh, seperti batu karang yang tegak di tebing yang menghadap ke lautan yang ganas. Ternyata kedua orang yang telah membenturkan kekuatan dan kemampuan mereka itu pun sama-sama telah terguncang. Keduanya telah tergetar dan terdorong surut beberapa langkah. Meskipun keseimbangan mereka goyah, namun keduanya masih mampu bertahan sehingga keduanya tetap berdiri tegak. Namun kedua-duanya merasa betapa dada mereka menjadi nyeri. Untunglah bahwa kedua-duanya telah melindungi diri mereka dengan ilmu kebal dan ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga mereka masih tetap mampu untuk bertempur. Namun keduanya tidak ingin bertempur lebih lama lagi. Keduanya adalah prajurit yang utuh. Karena itu, mereka pun telah bersiap melakukan perang tanding sampai tuntas, apapun yang bakal terjadi atas dirinya. Karena itu, ketika semua kemampuan telah tertumpah namun mereka masih belum melihat akhir dari perang tanding itu, maka Ki Tumenggung Wimbasara sampai pada keputusan untuk membuat penyelesaian terakhir. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia tidak ingin memenangkan perang tanding dengan cara yang tidak terhormat. Apalagi lawannya adalah seorang Lurah yang masih terhitung muda. Karena itu, sesaat kemudian Ki Tumenggung Wimbasara itu pun kemudian berkata lantang, “Ki Lurah. Ternyata kemampuan Ki Lurah berada jauh di atas dugaanku. Dengan demikian, aku harus mengakui bahwa Ki Lurah sampai tataran ini mampu mengimbangi ilmuku. Karena itu aku tidak mempunyai pilihan lain. Karena perang tanding ini harus berakhir, maka aku ingin memperingatkan Ki Lurah bahwa aku akan menapak pada ilmu simpananku. Kecuali jika Ki Lurah berniat mengakhiri pertempuran ini.” “Maksud Ki Tumenggung?” bertanya Agung Sedayu. “Jika Ki Lurah mengaku kalah untuk menghindari akibat terburuk yang dapat terjadi karena ilmu simpananku, maka aku tidak akan mempergunakannya. Kewajibanku kemudian adalah perang tanding melawan Panembahan Senapati.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Bagaimana jika aku ingin menanggapi ilmu simpanan Ki Tumenggung dengan ilmu pamungkas yang pernah aku warisi dari guruku?” Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah Ki Lurah tahu, apa yang aku maksud dengan ilmu simpananku?” “Ki Tumenggung,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Tentu aku tahu apa yang Ki Tumenggung maksudkan, sebagaimana Ki Tumenggung juga mengetahui apa yang aku maksud dengan ilmu pamungkasku.” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Bersiaplah. Aku hanya bermaksud untuk memperingatkanmu, karena aku tidak ingin disebut licik karena aku dianggap tiba-tiba saja menyerangmu.” “Aku hargai sikap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Ki Tumenggung adalah seorang prajurit.” Ki Tumenggung Wimbasara itu pun kemudian telah mempersiapkan diri. Setelah bertempur beberapa lama dan agaknya akan berlangsung tanpa berkesudahan, maka Ki Tumenggung benar-benar ingin mengakhiri pertempuran itu. Sementara itu Agung Sedayu pun telah bersiap pula. Sebagai seorang yang memiliki berbagai macam ilmu, maka Agung Sedayu telah menghimpun semua tenaga dan kekuatannya. Dengan memusatkan nalar dan budinya, Agung Sedayu siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam benturan puncak ilmunya dengan ilmu simpanan lawannya. Agung Sedayu masih menerapkan ilmu kebal untuk menghambat kemampuan ilmu lawannya. Dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya, serta mengangkat tenaga dalamnya sampai ke dasar untuk mendukung kekuatan ilmunya, maka Agung Sedayu berdiri tegak menghadap ke arah lawannya. Sementara Ki Tumenggung Wimbasara, saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola telah membangunkan ilmu simpanannya. Ki Tumenggung itu telah menggosokkan kedua telapak tangannya yang terkatup itu. Semakin lama semakin tebal. Bahkan warnanya pun kemudian menjadi kemerah-merahan. Sementara itu Agung Sedayu pun telah siap pula melepas ilmu pamungkasnya. Dengan tajamnya dipandanginya telapak tangan Ki Tumenggung Wimbasara. Agung Sedayu mengerti bahwa Ki Tumenggung akan melepaskan ilmu simpanannya dari telapak tangannya. Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Tumenggung telah mengangkat tangan kanannya. Ketika ia mengayunkan tangannya untuk melontarkan ilmunya, Agung Sedayu melihat seleret sinar yang kemerah-merahan meloncat dari telapak tangan Ki Tumenggung. Bersamaan dengan itu, dari kedua mata Agung Sedayu pun telah memancar kekuatan aji pamungkasnya, membentur serangan Ki Tumenggung Wimbasara. Namun jantung Agung Sedayu terasa berdesir. Demikian ia melepaskan ilmunya dengan lambaran segenap kekuatan dan kemampuannya, barulah ia menyadari bahwa ia melihat keragu-raguan pada gerakan tangan Ki Tumenggung Wimbasara. Namun semuanya sudah terjadi. Agung Sedayu terlambat menyadari. Karena itu, ketika benturan itu terjadi, maka akibatnya sangat mendebarkan. Sebenarnyalah, pada saat terakhir Ki Tumenggung Wimbasara memang menjadi sedikit ragu. Lawannya, Lurah prajurit Mataram itu, masih terhitung muda. Jika ia mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan ilmunya, maka Lurah prajurit Mataram yang masih terhitung muda itu akan dapat menjadi lumat karenanya. Karena itu, pada saat terakhir, Ki Tumenggung Wimbasara sedikit mengekang ilmunya yang telah diluncurkannya. Namun hal itu berakibat sangat buruk bagi Ki Tumenggung Wimbasara. Ia tidak menyadari betapa tinggi ilmu Agung Sedayu. Karena itu, ilmunya yang dilontarkannya dengan sedikit ragu itu telah membentur puncak ilmu Agung Sedayu, yang meluncur dilambari dengan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Karena itulah, maka gelombang balik yang terjadi karena benturan itu telah menghantam Ki Tumenggung Wimbasara, yang justru sedang mengekang ilmunya yang telah meluncur. Getaran gelombang balik dari benturan itu, didorong oleh kekuatan yang dahsyat dari kekuatan ilmu Agung Sedayu, telah menghentak dan menghantam tubuh dan bahkan bagian dalam dada Ki Tumenggung Wimbasara. Dengan demikian, Ki Tumenggung Wimbasara itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terbanting di tanah dengan derasnya. Beberapa kali ia telah berguling. Namun Ki Tumenggung tidak mampu lagi untuk bangkit berdiri. Bahkan seisi dadanya rasa-rasanya telah meledak dan pecah berserakan. Karena itulah, nafas Ki Tumenggung menjadi sesak. Pandangan matanya menjadi kabur. Beberapa orang prajuritnya segera berlari menghambur mengelilinginya. Seorang Eangga berjongkok di sampingnya sambil menggeram, “Kami akan menuntut balas kematian Ki Tumenggung.” Tetapi Tumenggung Wimbasara berkata perlahan sekali, “Tidak. Jangan. Tidak akan ada artinya lagi.” “Kesetiaan kami akan kami buktikan. Kami akan menyeret korban sebanyak-banyaknya di antara orang-orang Mataram itu.” Ki Tumenggung menggeleng lemah. Katanya, “Ternyata kesetiaan tidak selalu diujudkan dengan bela pati.” Para prajurit Pati itu termangu-mangu. Sementara Ki Tumenggung berkata, “Aku kagumi kemampuan Lurah prajurit itu.” Para prajurit Pati masih saja termangu-mangu. Sementara itu keadaan Ki Tumenggung menjadi semakin parah. Darah mulai mengalir dari sela-sela bibirnya. Namun ia masih berkata, “Jika aku tidak lagi dapat bertahan, maka kalian-lah yang harus mengatakan kepada Panembahan Senapati, bahwa Kanjeng Adipati Pragola sudah tidak ada di istana ini lagi. Tetapi katakan pula satu permohonan, agar Panembahan Senapati dapat mengendalikan prajurit-prajuritnya untuk tidak merusak dan menghancurkan istana ini.” Para prajuritnya mengangguk-angguk. Sejenak Ki Tumenggung terdiam. Nafasnya menjadi semakin sesak. Dengan suara yang sangat lemah ia berkata, “Salamku kepada Ki Lurah itu. Aku ternyata gagal untuk melakukan perang tanding melawan Panembahan Senapati.” Para prajurit Pati itu tidak sempat menjawab. Ki Tumenggung itu pun kemudian telah menutup matanya. Sementara itu, Agung Sedayu pun terbaring dengan lemahnya. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka berlutut di sampingnya, sementara Pangeran Mangkubumi mengamati keadaan. Ia tidak boleh lengah. Masih ada sekelompok prajurit Pati di seputar tubuh Ki Tumenggung Wimbasara. “Kau harus bertahan Agung Sedayu,” desis Panembahan Senapati yang menjadi berdebar-debar melihat keadaan Agung Sedayu. “Ampun Panembahan,” berkata Agung Sedayu, “hamba mohon Panembahan mengambil sebutir obat di kantong ikat pinggang hamba yang sebelah kanan.” Panembahan Senapati pun melakukannya sebagaimana diminta oleh Agung Sedayu. Diambilnya sebutir obat yang berada di dalam sebuah bumbung kecil yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya yang besar. Agung Sedayu itu pun berusaha untuk membuka bibirnya, sehingga Panembahan Senapati sempat memasukkan sebutir obat itu di dalam mulutnya. Obat itu pun seakan-akan telah mencair dan mengalir lewat kerongkongan Agung Sedayu. Namun demikian, keadaan Agung Sedayu masih tetap mencemaskan mereka yang mengerumuninya. Ki Patih Mandaraka bahkan menjadi sangat tegang. “Ampun Panembahan. Hamba mohon disampaikan kepada Ki Tumenggung. Hamba mengucapkan terima kasih, bahwa di saat terakhir Ki Tumenggung berusaha mengekang ilmunya. Jika tidak, maka hamba tentu sudah menjadi lumat.” “Baik, baik Agung Sedayu,” sahut Panembahan Senapati. Namun kemudian Panembahan Senapati pun mengetahui bahwa Ki Tumenggung Wimbasara telah gugur. Panembahan Senapati itu pun menarik nafas dalam-dalam. Kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, Panembahan Senapati memerintahkan untuk membawa Agung Sedayu menepi. “Bawa Ki Lurah ke tempat yang teduh.” Ki Mandaraka-lah yang selalu berada di sisinya. Sementara Panembahan Senapati berdesis, “Paman Tumenggung memang seorang yang berilmu sangat tinggi.” Ki Patih Mandaraka hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Panembahan Senapati pun berkata pula, “Seharusnya memang aku sendiri yang menghadapinya.” Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak Panembahan. Seandainya Agung Sedayu tidak mengakhirinya, di sini masih ada aku. Meskipun mungkin aku juga tidak dapat mengalahkannya.” “Paman Tumenggung nampaknya ragu-ragu untuk membinasakan Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu yang masih terhitung muda dibanding dengan Paman Tumenggung itu, sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keragu-raguannya itu telah mengakhiri perlawanannya.” Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Ia mengakui, seandainya Ki Tumenggung Wimbasara di saat terakhir tidak menjadi ragu-ragu, maka mungkin sekali kedua-duanya akan tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu dibawa ke tempat yang teduh, serta pengaruh obat yang ditelannya, maka nafasnya perlahan-lahan menjadi lebih teratur. Meskipun keadaannya masih terlalu lemah. Bahkan untuk mengangkat kepalanya Agung Sedayu mengalami kesulitan. Dalam pada itu, Panembahan Senapati sebagai seorang pemimpin, tidak dapat terikat pada keadaan Agung Sedayu. Setelah menyerahkan Agung Sedayu kepada Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapati bersama pengiringnya pun segera bergeser mendekati sekelompok perwira dan prajurit Pati yang telah meletakkan tubuh Ki Tumenggung di pendapa. Seorang Rangga yang mendapat pesan Ki Tumenggung pun segera melangkah maju menemui Panembahan Senapati untuk menyampaikan pesan itu. Panembahan Senapati mendengarkan pesan itu dengan seksama. Namun kemudian jantungnya terasa berdentang lebih keras, “Jadi Adimas Adipati telah meninggalkan istana bersama pengiringnya?” “Ya, Panembahan.” “Ke mana?” bertanya Panembahan Senapati. “Tidak seorang pun yang mengetahuinya, Panembahan” Panembahan Senapati memang menjadi sangat kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kanjeng Adipati sudah meninggalkan istana tanpa diketahui tujuannya. Ketika Panembahan Senapati masih termangu-mangu, maka Pangeran Mangkubumi pun berkata, “Apakah kita dapat mempercayainya begitu saja?” Panembahan Senapati menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Kami akan melihat kebenaran keterangan prajurit ini.” “Tetapi kami tetap memohon agar istana ini tidak dihancurkan. Kami tidak akan dapat menghalangi Panembahan untuk naik dan masuk ke dalamnya.” Panembahan Senapati memandang Pangeran Mangkubumi sesaat. Namun kemudian katanya, “Perintahkan kepada para prajurit untuk berjaga-jaga di depan istana ini. Kita akan masuk ke dalamnya hanya dengan beberapa orang prajurit saja.” “Tetapi…,” nampak keragu-raguan membayang di wajah Pangeran Mangkubumi. “Aku percaya bahwa Adimas Adipati tidak akan mempergunakan akal yang licik.” Sejenak kemudian, Panembahan Senapati dan Pangeran Mangkubumi telah siap untuk memasuki Istana Pati. Tetapi mereka tidak akan meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih menunggui Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka pun kemudian telah memerintahkan agar beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus membawa Agung Sedayu keluar pintu gerbang istana agar segera mendapat perawatan, meskipun Agung Sedayu sendiri telah menyediakan obat-obatan bagi dirinya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang diwarisinya dari gurunya Kiai Gringsing, langsung atau melalui tulisan di dalam kitab yang ditinggalkannya. Demikianlah, Panembahan Senapati telah memasuki Istana Pati hanya dengan beberapa pengiringnya. Mereka telah melihat segala bilik dan ruang. Namun Kanjeng Adipati Pragola tidak dapat ditemukannya. Panembahan Senapati benar-benar menjadi kecewa. Meskipun istana itu seakan-akan sudah dikepung rapat, namun Kanjeng Adipati dengan pasukan terpilihnya masih dapat menyusup dan menghilang dari istana. Sementara itu, para prajurit Pati yang lain masih tetap berjaga-jaga di panggung dan di sudut-sudut halaman istana. Pati memang tidak menyatakan dengan resmi menyerah, meskipun Panembahan Senapati telah menduduki kota dan istana. Kekecewaan itu telah menjalar kepada seluruh prajurit dan pengawal Mataram yang menyertainya. Kekesalan itu seakan-akan memuncak, ketika Panembahan Senapati menjatuhkan perintah, bahwa hanya kelompok prajurit tertentu saja-lah yang diperkenankan memasuki dan bertugas di dalam lingkungan istana. Mereka bertugas untuk melucuti senjata para prajurit Pati yang masih bertugas di dalam istana itu. Tetapi mereka juga bertugas untuk menjaga keutuhan Istana Pati. Kekecewaan para prajurit dan pengawal dari Mataram itu tidak dapat disembunyikan lagi. Para prajurit dan pengawal yang berada di luar dinding istana, mulai menunjukkan kegelisahan mereka. Ancang-ancang yang terakhir, ternyata tidak berarti apa-apa. Mereka batal menyerang dan memasuki dinding istana Pati. Prajurit dan para pengawal dalam pasukan Mataram terdiri dari orang-orang kebanyakan sebagaimana orang-orang lain. Kelebihan mereka adalah karena mereka mendapat latihan-latihan khusus olah keprajuritan dan olah kanuragan. Namun perasaan kecewa yang bergejolak di dalam dada mereka, akhirnya meletup juga. Panembahan Senapati dan para pemimpin Mataram mengalami kesulitan untuk mengekang para prajurit dan pengawal yang kecewa itu akhirnya menjarah isi kota. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka serta para pemimpin yang lain dengan susah payah berusaha untuk mencegah mereka. Bahkan Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukan khusus pengawalnya untuk menahan gejolak perasaan para prajurit itu. Tetapi mereka mengalami kesulitan. Akhirnya Panembahan Senapati tidak mempunyai cara lain. Diperintahkannya seorang perwira menabuh bende Kiai Bicak. Ternyata suara bende itu benar-benar berpengaruh. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh kota. Sementara itu, para pemimpin Mataram telah memerintahkan seluruh pasukannya ditarik kembali ke pesanggrahan. Meskipun agak mengalami kesulitan, akhirnya para prajurit dan pengawal Mataram telah ditarik dari Pati. Meskipun demikian, masih ada kelompok-kelompok prajurit yang khusus mendapat perintah untuk mengamankan kota, karena dalam keadaan yang kalut itu para penjahat akan dapat memanfaatkan keadaannya. Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan dua orang perwira penghubung untuk berbicara dengan para prajurit Pati yang tertawan. Jika prajurit dan pengawal Mataram meninggalkan Pati, mereka harus mengambil alih pengamanan di seluruh kota dan istana. Dalam pada itu, ketika beberapa orang mempertanyakan bunyi bende yang mereka anggap sebagai isyarat kemenangan itu, Panembahan Senapati lewat para pemimpin Mataram berkata, “Kita sudah memenangkan perang. Tetapi suara bende itu juga akan memberikan isyarat kemenangan kita terhadap nafsu yang menyerang jantung kita. Perjuangan melawan nafsu itu akan tidak kalah beratnya dari perjuangan merebut Pati. Karena itu, dengan isyarat suara bende yang bergaung di seluruh kota itu, kita telah menang melawan nafsu kita untuk menjarah Pati, meskipun hal itu sudah mulai kita lakukan.” Para prajurit hanya dapat menundukkan kepala mereka. Tetapi Pati memang sudah terlanjur menjadi porak-poranda. Banyak orang kehilangan harta benda mereka tanpa dapat bertanya kepada siapapun juga. Apalagi menuntut agar harta-benda itu dapat kembali kepada mereka. Namun mereka hanya dapat mengeluh serta melontarkan semua kesalahan kepada terjadinya perang. Panembahan Senapati yang kecewa itu pun segera memerintahkan pasukan Mataram untuk bersiap-siap. Mereka harus segera kembali ke Mataram. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola. Namun sebelum pasukan Mataram itu sampai di Mataram, beberapa orang penghubung telah diperintahkan untuk mendahului kembali ke Mataram dengan berkuda. Dengan menempuh jalan yang berbeda-beda, para penghubung itu harus memberikan berita bahwa Kanjeng Adipati Pragola lepas dari tangan Panembahan Senapati. Sehingga dengan demikian, maka para prajurit yang tinggal di Mataram dapat mempersiapkan diri. Memang mungkin saja terjadi, Kanjeng Adipati Pragola membawa kelompok-kelompok prajurit terpilih memasuki Mataram. Di pesanggrahan. Agung Sedayu mendapat perawatan yang bersungguh-sungguh. Tabib yang merawatnya tidak berkeberatan Agung Sedayu itu mempergunakan obat-obatnya sendiri, karena tabib itu sudah mengetahui bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengetahuan tentang pengobatan. Namun keadaannya memang mencemaskan. Glagah Putih yang datang ke pesanggrahan pasukan induk Mataram menungguinya siang malam. Swandaru pun banyak berada di dekatnya meskipun setiap kali Swandaru harus melihat pasukan pengawalnya. Selagi Agung Sedayu masih sangat lemah, Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap. “Kita tidak dapat terlalu lama di sini,” berkata Panembahan Senapati kepada para panglima dan senapati, “persediaan makanan kita sudah sangat menipis, karena sebagian sudah terbakar. Untunglah bahwa kita cepat menyelesaikan pertempuran, apapun yang terjadi kemudian. Jika kita harus bertahan di sini tiga empat hari lagi sebelum kita berhasil memecah Pati, maka kita benar-benar akan kekurangan makan. Tetapi pada keadaan kita sekarang, kita masih berharap bahwa sampai nanti kita menginjakkan kaki kita kembali di bumi Mataram, kita masih belum akan menjadi kelaparan.” Para panglima dan senapati mengangguk-angguk. Mereka mempunyai perhitungan yang sama dengan Panembahan Senapati. Tetapi pertimbangan Panembahan Senapati tidak hanya agar mereka tidak kekurangan pangan. Tetapi Panembahan Senapati pun menyatakan kecemasannya pula bahwa Adipati Pragola yang hilang dari Pati justru bergerak ke Mataram. Meskipun hanya dengan pasukan yang kecil, tetapi jika Mataram lengah, maka mereka akan dapat menghancurkan kota. Meskipun sesaat kemudian mereka harus meninggalkannya. “Aku sudah memerintahkan beberapa orang penghubung untuk mendahului kembali ke Mataram. Tidak hanya dua tiga orang. Tetapi beberapa orang yang memencar,” berkata Panembahan Senapati. Maka kemudian Panembahan Senapati memerintahkan pasukannya kembali ke Mataram. Setelah merasa cukup beristirahat, maka pasukan Mataram mulai menempuh perjalanan pulang. Dengan amben bambu Agung Sedayu dibawa dalam keadaan yang sangat lemah kembali ke Mataram. Para prajurit dari Pasukan Khusus berganti-ganti telah mengusungnya. Di dalam pasukan itu, tidak hanya Agung Sedayu yang diusung dengan amben bambu. Tetapi demikian pula para prajurit yang terluka. Sedangkan para prajurit dan pengawal yang gugur, telah dikubur di tempat yang khusus dengan pertanda yang akan dapat dikenali kemudian. Sementara itu, mereka yang terluka lebih ringan telah dinaikkan ke dalam pedati yang semula terisi oleh bahan pangan, yang berjalan terguncang-guncang Semula Agung Sedayu juga minta kepada para prajuritnya untuk di tempatkan saja di sebuah pedati. Tetapi prajurit-prajuritnya tetap berniat untuk membawanya di atas sebuah amben bambu yang diberi palang bambu di bawahnya. Glagah Putih telah memberitahukan kepada Prastawa bahwa ia akan berada bersama Agung Sedayu, sehingga ia tidak dapat ikut mengawasi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Kita tinggal menempuh perjalanan pulang,” berkata Prastawa, “agaknya tidak ada persoalan yang rumit.” Glagah Putih yang sebenarnya juga masih belum pulih sepenuhnya itu, tidak lagi merasakan gangguan pada dirinya. Bahkan ia merasa seakan-akan segala-galanya telah pulih kembali seperti sediakala. Ketika pasukan itu berhenti untuk beristirahat dan bermalam di perjalanan, Swandaru sempat menunggui Agung Sedayu beberapa lama. Tetapi Swandaru tidak banyak berbicara. Ia tahu bahwa dalam keadaan demikian, sebaiknya Agung Sedayu lebih banyak beristirahat sepenuhnya. Namun kepada seorang pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, Swandaru sempat berkata, “Luka dalam Kakang Agung Sedayu memang agak parah. Tetapi kita masih mempunyai cukup harapan bahwa Kakang Agung Sedayu akan menjadi baik.” Pemimpin pengawal Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bahkan kemudian katanya, “Kembalilah ke pasukanmu. Katakan kepada para pengawal bahwa aku masih berada di sini. Jika besok saatnya pasukan bergerak dan aku belum kembali ke pasukan, bergeraklah. Kalian tidak usah menunggu aku. Tetapi jika keadaan Kakang Agung Sedayu membaik, aku akan berada di antara kalian.” Pengawal itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan Ki Lurah segera menjadi baik.” Malam itu, Agung Sedayu masih berbaring dengan lemahnya. Perkembangan keadaannya terasa sangat lamban. Meskipun demikian, orang-orang yang menungguinya masih tetap berpengharapan. Bahkan Ki Patih yang juga selalu menjenguknya berkata, “Aliran darahnya sudah menjadi semakin lancar. Berdoa sajalah, agar Yang Maha Agung mengulurkan tangannya untuk penyembuhannya.” Glagah Putih yang menungguinya masih saja gelisah. Tubuh Agung Sedayu masih saja terasa panas. Sekali-sekali terdengar ia berdesah. Tetapi lewat tengah malam, panas Agung Sedayu mulai berkurang. Nafasnya sudah mengalir dengan teratur. Demikian pula aliran darahnya menjadi semakin lancar. Swandaru yang juga mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu sempat menarik nafas panjang. Bersama beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu, ia duduk di serambi. Wajah-wajah mereka sudah tidak lagi terlalu tegang. Seorang Lurah prajurit pengawal yang duduk di sebelah Swandaru dengan nada rendah berdesis, “Mudah-mudahan perkembangan keadaan Ki Lurah Agung Sedayu itu berlanjut. Jika sampai esok pagi, keadaannya tidak kembali memburuk, maka segala kesulitan telah dilaluinya.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Malam ini adalah saat-saat paling gawat bagi Kakang Agung Sedayu.” “Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang luar biasa. Tidak ada seorang pun di antara para Lurah prajurit yang memiliki tataran kemampuan yang setingkat dan bahkan yang mendekati tingkat ilmunya. Bahkan para perwira yang lebih tinggi tingkatnya.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu menyahut, “Ki Lurah Agung Sedayu pernah melakukan pengembaraan bersama Panembahan Senapati. Karena itu, meskipun tidak setinggi Panembahan Senapati sendiri, namun Ki Lurah itu mempunyai beberapa persamaan di dalam menjalani laku, sehingga iapun mampu mencapai satu tataran ilmu yang sangat tinggi.” Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Namun Swandaru pun kemudian berkata, “Sebenarnya Kakang Agung Sedayu dapat mencapai tataran yang lebih baik dari yang dapat dicapainya sekarang.” Beberapa orang berpaling kepadanya. Sementara Swandaru itu pun berkata selanjutnya, “Jika saja Kakang Agung Sedayu lebih tekun menempa diri berdasarkan atas ilmu yang diwariskan oleh Guru kepadanya.” “Maksudmu?” bertanya Lurah prajurit dari pasukan pengawal itu. “Sejak Kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak sempat lagi memperdalam ilmunya yang sebenarnya sudah sampai di puncak. Beberapa kali aku memperingatkannya. Tetapi nampaknya Kakang Agung Sedayu telah menghabiskan waktunya untuk tugas-tugas yang diembannya.” “Apakah kau saudara Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya seseorang. “Aku saudara seperguruannya,” jawab Swandaru. Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang prajurit yang telah mengenal Swandaru sebelumnya berkata, “Ia saudara muda seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia pemimpin pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung.” Orang-orang itu pun mengangguk-angguk pula. Beberapa orang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Kesan yang mereka dapat dari kata-kata Swandaru itu adalah, bahwa saudara muda Ki Lurah ini masih memiliki kelebihan dari Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, beberapa orang itu pun menjadi merasa segan kepada orang yang sedikit gemuk namun memang berkesan meyakinkan itu. Dalam pada itu, Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu hampir tanpa beringsut itu muncul dari pintu. Swandaru pun kemudian telah bangkit berdiri sambil bertanya, “Bagaimana keadaannya, Glagah Putih?” “Masih seperti tadi, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Tetapi bukankah tidak memburuk?” “Tidak, Kakang. Bahkan Kakang Agung Sedayu sudah tidak nampak gelisah. Sekarang Kakang Agung Sedayu sedang tidur.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Kau akan pergi ke mana?” “Tidak ke mana-mana. Mumpung Kakang Agung Sedayu tidur, aku akan ke pakiwan sebentar,” jawab Glagah Putih. “Pergilah,” desis Swandaru, “biarlah aku menungguinya.” Ketika Swandaru kemudian masuk ke ruang dalam, maka dilihatnya Agung Sedayu memang sedang tidur. Di dekatnya duduk tabib yang merawatnya dengan penuh kesungguhan. Swandaru kemudian duduk di sebelah tabib itu sambil bertanya perlahan, “Bagaimana keadaannya?” “Kita akan melihat apa yang akan terjadi malam ini sambil berdoa. Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan. Obat-obatan dari Ki Lurah Agung Sedayu sendiri adalah obat yang terbaik menurut pendapatku. Terakhir harapan kita hanya tertuju kepada-Nya. Kita hanya dapat memohon.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Kakang Agung Sedayu yang mendapat kepercayaan sangat tinggi dari Panembahan Senapati seharusnya lebih tekun melengkapi dirinya dengan bekal yang terbaik.” “Ia sudah memiliki bekal yang terbaik.” “Tetapi sebenarnya Kakang Agung Sedayu masih mempunyai kemungkinan untuk meningkatkan ilmunya jika ada kemauan padanya. Tetapi Kakang Agung Sedayu nampaknya tidak mempunyai waktu lagi, meskipun jika ia benar-benar ingin melakukannya, tentu ia akan dapat membagi waktunya bagaimanapun sempitnya. Aku sudah beberapa kali memperingatkannya. Beberapa kali aku menjadi cemas melihat keadaan seperti ini. Setiap kali Kakang Agung Sedayu mengalami luka perah seperti ini.” “Lawannya kali ini adalah saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola,” berkata tabib itu. “Kita tahu betapa tinggi ilmu Kangjeng Adipati, meskipun masih belum menyamai Panembahan Senapati.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Pada saat terakhir, Ki Tumenggung itu merasa ragu.” “Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Wimbasara itu adalah seorang yang baik. Panembahan Senapati sendiri menghormatinya. Tetapi sebagai seorang prajurit ia berdiri di atas pijakan yang sangat kokoh.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku mengerti. Tetapi yang aku maksudkan adalah kelemahan Kakang Agung Sedayu. Apa jadinya jika Ki Tumenggung itu tidak digelitik oleh keragu-raguan di saat terakhir? Apa jadinya dengan Kakang Agung Sedayu? Bukankah itu pertanda bahwa ilmu Ki Tumenggung itu masih lebih tinggi dari ilmu Kakang Agung Sedayu?” “Ya. Agaknya ilmu Ki Tumenggung itu memang lebih tinggi dari ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Ki Lurah masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.” “Seandainya,” berkata Swandaru, “seandainya Kakang Agung Sedayu mau mendengarkan aku, maka ia tidak perlu bergantung pada satu kebetulan sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi Kakang Agung Sedayu memang mampu mengimbangi lawannya karena memiliki bekal ilmu yang memadai.” Tabib yang merawat Agung Sedayu itu tidak menjawab lagi. Sementara itu terdengar Agung Sedayu berdesah dengan tarikan nafas yang dalam. Tetapi Agung Sedayu tidak terbangun. Swandaru-lah yang kemudian bergeser mendekati saudara seperguruannya. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih tidur itu. Namun wajah itu tidak lagi nampak terlalu pucat, ketika Swandaru menyentuh lehernya, makaia pun berdesis, “Badannya tidak lagi terlalu panas.” Sementara itu, malam pun menjadi semakin dalam. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Namun perintah Panembahan Senapati sudah sampai pada semua pimpinan kelompok prajurit, “Besok, menjelang fajar, pasukan Mataram akan melanjutkan perjalanan.” Ketika sampai dini hari keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, maka Swandaru pun berkata kepada Glagah putih yang telah duduk di sampingnya, “Aku akan melihat pasukanku. Hati-hatilah dengan Kakang Agung Sedayu. Jika perjalanan ini harus dimulai lagi, pastikan bahwa Kakang Agung Sedayu tidak akan terganggu di perjalanan.” “Baik, Kakang,” sahut Glagah Putih. “Di perjalanan aku akan menyempatkan diri melihat keadaannya. Namun nampaknya puncak kecemasan tentang keadaannya telah lewat. Tabib itu berpendapat bahwa jika malam ini keadaannya tidak memburuk, maka Kakang Agung Sedayu akan menjadi semakin baik. Meskipun demikian, ia harus tetap mendapat perawatan terbaik.” “Ya, Kakang,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Demikianlah, Swandaru pun telah meninggalkan rumah yang dipergunakan untuk menempatkan Agung Sedayu yang terluka parah. Demikian Swandaru pergi, seorang prajurit mendekati Glagah Putih sambil mengerutkan dahinya. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Saudara seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu itu menyesali sikap Ki Lurah yang tidak sempat mengembangkan ilmunya lebih jauh.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu apa yang dikatakan oleh Swandaru. Tentu orang gemuk itu menyesali, seolah-olah Agung Sedayu tidak mau meningkatkan ilmunya meskipun Swandaru membiarkan kitab Kiai Gringsing ada di tangan Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Anak muda itu hanya mengangguk-angguk saja, justru karena Glagah Putih sudah mengenal dengan baik sifat Swandaru. Meskipun demikian, Glagah Putih itu melihat betapa Swandaru menjadi gelisah melihat keadaan Agung Sedayu. Dalam pada itu, beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu hampir tidak tidur semalam suntuk. Tabib yang merawatnya, Glagah Putih, Swandaru, dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus sama sekali tidak memejamkan mata. Tetapi tugas yang akan mereka lakukan di hari berikutnya tidak seberat saat mereka datang ke Pati, sehingga meskipun mereka tidak tidur sekejappun, mereka tidak akan terlalu terganggu. Menjelang fajar, semuanya telah bersiap. Glagah Putih merasa agak tenang bahwa keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, sehingga dengan demikian ia berharap bahwa keadaannya akan menjadi semakin baik, meskipun masih harus ditempuh perjalanan panjang. Namun ada satu dua orang yang ternyata tidak lagi mampu bertahan. Ada dua orang yang malam itu menyusul kawan-kawannya yang telah gugur. Mereka langsung dimakamkan di padukuhan tempat pasukan itu berhenti. Meskipun Agung Sedayu masih minta untuk di tempatkan di sebuah pedati saja agar tidak sangat merepotkan para prajuritnya, namun para prajuritnya tetap berniat untuk mengusungnya agar tubuh Agung Sedayu tidak terlalu terguncang-guncang. Dalam kesibukannya, ternyata Panembahan Senapati juga menyempatkan diri melihat keadaan Agung Sedayu itu. “Bagaimana keadaanmu Agung Sedayu?” bertanya Panembahan Senapati sambil meraba tubuh Agung Sedayu. “Hamba merasa sudah menjadi semakin baik, Panembahan,” jawab Agung Sedayu. “Syukurlah. Mudah-mudahan perjalanan ini tidak memperburuk keadaanmu.” “Semoga tidak, Panembahan.” Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi yang mengiringi Panembahan Senapati itu pun sempat memberikan beberapa pesan pula. “Kau sudah tidak terlalu pucat,” berkata Ki Patih Mandaraka. Demikianlah, ketika fajar mewarnai langit, Panembahan Senapati pun memerintahkan pasukan Mataram yang besar itu mulai bergerak. Perjalanan memang masih jauh. Tetapi para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu tidak merasa terlalu tegang sebagaimana saat mereka berangkat. Bahkan mereka merasa bangga bahwa mereka telah membawa berita kemenangan, karena mereka telah berhasil memasuki kota Pati. Tetapi sementara itu, dalam perjalanan pulang, wajah Ki Patih Mandaraka nampak murung. Sama-sekali tidak mencerminkan kemenangan yang telah dicapai oleh pasukan dari Mataram itu. Sekali-sekali Ki Patih Mandaraka itu justru berjalan menyendiri. Di dalam riuhnya pasukan yang bergerak, Ki Patih merasakan satu kediaman yang mencengkam jantungnya Bahkan kadang-kadang Ki Patih Mandaraka itu berjalan kaki di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang mengiringi Agung Sedayu, yang ditandu dengan sebuah amben bambu. Panembahan Senapati yang melihat keadaan Ki Patih Mandaraka itu mengerti, apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Bahkan sebenarnya hati Panembahan Senapati sendiri juga merasakan, betapa segala-galanya yang digelar di atas bumi ini tidak langgeng. Panembahan Senapati mengerti bahwa Ki Patih Mandaraka sekali-sekali telah diganggu oleh kenangan masa-masa yang pernah dijalaninya, saat Ki Pemanahan dan Ki Panjawi masih hidup dalam ikatan persaudaraan yang sangat rukun. Hampir setiap saat keduanya selalu bersama. Jika seseorang bertemu dengan Ki Pemanahan, maka di situ tentu ada Ki Panjawi. Kedua-duanya seakan-akan tidak pernah terpisah. Berdua mereka mendapat tugas dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Keduanya memang berhasil. Tetapi justru karena itu, mereka telah memasuki jalan simpang. Ki Panjawi yang mendapat tanah Pati, segera dapat membangun diri, karena Pati memang sudah berujud satu lingkungan yang ramai. Ki Panjawi tidak terlalu sulit mengembangkan Pati menjadi satu daerah yang sedemikian besar. Sementara itu, Ki Pemanahan harus bekerja keras untuk membuka hutan Mantaok. Ketika kemudian Mataram menjadi daerah yang tumbuh, maka Ki Pemanahan telah disebut pula Ki Gede Mataram. Tetapi Ki Gede Mataram sama sekali tidak diganggu oleh perasaan iri hati terhadap Pati. Semuanya itu justru telah mendorong Ki Gede untuk bekerja keras bersama putranya, Raden Sutawijaya. Ki Patih Mandaraka memang tidak dapat melupakannya. Betapa Pemanahan dan Panjawi itu hidup dalam suasana yang sangat akrab. Namun anak-anaknya ternyata telah berdiri berseberangan di medan perang yang garang. Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati, putra Ki Gede Pemanahan, telah berperang melawan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati, putra Ki Panjawi. Ki Patih Mandaraka, yang akrab pula dengan kedua-duanya, merasa sangat prihatin atas peristiwa itu. Tetapi bagaimanapun juga, Ki Patih sendiri telah terlibat pula di dalamnya. Ia telah berdiri di satu pihak dari keduanya yang berperang itu. Sementara itu pasukan yang besar itu berjalan terus. Panembahan Senapati sendiri tidak selalu berada di atas punggung kudanya, sebagaimana Ki Patih Mandaraka. Namun karena itu, para panglima dan senapati pun kadang-kadang telah turun pula dan berjalan di antara para prajurit dan pengawal. Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh yang ikut dalam pasukan itu, berganti-ganti mengusung Agung Sedayu yang terbaring lemah. Panas matahari yang terik menerpa tubuhnya, namun seorang prajurit memayunginya. Jika daun itu kemudian layu dibakar panasnya cahaya matahari, maka seorang prajurit yang lain telah mencari gantinya pula di padukuhan yang mereka lewati. Namun ketika mereka harus bermalam lagi di perjalanan, ternyata keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik. Tetapi seorang lagi prajurit yang harus dilepaskan. Karena lukanya yang sangat parah, maka prajurit itu tidak dapat diselamatkan. Dalam pada itu, wajah Glagah Putih pun ikut menjadi terang. Swandaru tidak pula nampak gelisah. Harapan mereka tumbuh semakin besar, sejalan dengan keadaan Agung Sedayu yang membaik. Dalam pada itu, para penghubung berkuda yang mendapat tugas untuk mendahului pasukan telah sampai di Mataram. Mereka telah menyampaikan pesan Panembahan Senapati kepada panglima yang bertugas mengawal kota. Pangeran Singasari. Demikian pesan itu sampai, maka Mataram segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan kekuatan yang ada, Mataram siap menghadapi segala kemungkinan. Namun para petugas yang diperintahkan untuk mengamati keadaan di luar dinding kota tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan beberapa orang yang dikirim agak jauh keluar kota juga tidak melihat gerak pasukan sama sekali. Apalagi pasukan yang besar. Karena itu, Pangeran Singasari mengambil kesimpulan bahwa Kanjeng Adipati Pragola tidak akan membawa pasukan ke Mataram. Meskipun demikian, Pangeran Singasari tidak lengah. Para prajurit masih berada dalam kesiagaan tertinggi. Sementara para petugas sandi masih tersebar jauh di luar kota. Sementara itu, pasukan Mataram telah merayap semakin dekat. Tetapi pasukan itu masih harus bermalam lagi di perjalanan, sementara persediaan bahan pangan menjadi semakin sedikit. Namun para pemimpin Mataram itu tidak merasa cemas. Persediaan itu masih cukup, dan dalam dua hari mereka sudah akan sampai di Mataram. Dalam pada itu, selagi pasukan Mataram masih berada di perjalanan, sebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Warangka, yang terletak di dekat Kronggahan, telah diguncang oleh pertengkaran antara saudara seperguruan. Ketika tiga orang yang ditugaskan untuk melihat apakah di padepokan Kiai Warangka itu terdapat sebuah peti tembaga yang diperkirakan berisi harta benda yang sangat banyak, memberikan laporan bahwa penglihatan mata batin mereka tidak menyentuh ada sebuah peti tembaga yang besar di padepokan Kiai Warangka, maka Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri sama sekali tidak percaya. Bahkan mereka menganggap bahwa Ki Resa justru telah mencoba untuk melindungi Kiai Warangka. “Agaknya kau telah diracuni oleh kesediaan Kakang Warangka untuk memberi upah lebih banyak dari yang aku berikan,” geram Kiai Timbang Laras. “Tidak, Kiai Timbang Laras,” jawab Ki Resa, “aku adalah orang tua yang masih mempunyai harga diri. Aku masih percaya bahwa mulutku dapat berbicara dengan benar.” “Apa maksudmu dengan harga diri?” bertanya Jatha Beri. “Apakah aku akan menjual namaku serta kepercayaan orang lain kepadaku?” “Kau telah menjual harga dirimu. Ternyata kau bersedia menerima upah yang kami berikan kepadamu.” “Upah untuk apa? Bukankah upah itu Kiai berikan untuk satu tugas yang tidak bertentangan dengan paugeran Mataram? Tidak pula bertentangan dengan nuraniku sendiri. Bukankah aku diupah untuk mengetahui, apakah di padepokan itu ada sebuah peti atau tidak? Dan itu sudah aku lakukan dengan baik sesuai dengan kemampuanku.” “Di samping upah yang aku berikan, maka kau juga menerima upah dari Kakang Warangka untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya kau lihat.” “Kiai jangan menghina aku. Aku masih dapat mencari makan dengan cara yang lebih terhormat daripada sebuah pengkhianatan.” “Seandainya kami menghinamu, kau mau apa Ki Resa?” tiba-tiba saja Ki Jatha Beri menyahut, “Kau akan marah?” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Perbatang dan Pinuji berganti-ganti. Katanya, “Bertanyalah kepada kedua orangmu itu. Apa yang mereka tangkap dengan penglihatan batin mereka. Apakah mereka melihat peti tembaga yang besar itu di padepokan Kiai Warangka. Aku selalu menangkap getar yang mereka pancarkan. Tetapi aku juga tidak pernah mendapat isyarat tentang peti tembaga itu.” Kiai Timbang Laras memandang kedua orang yang ditugaskannya menyertai Ki Resa. Namun keduanya justru menunduk. Dengan nada tinggi, Kiai Timbang Laras itu pun kemudian bertanya kepada mereka, “Apa kerja kalian di padepokan Kakang Warangka? Makan dan minum, tidur atau apa?” “Tidak, Kiai. Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan. Tetapi kami memang tidak menangkap getar adanya peti tembaga itu. Baik dengan tangkapan wadag maupun tangkapan batin, Kiai. Karena itu kami berkesimpulan, bahwa peti itu memang sudah tidak berada di padepokan itu.” “Jika tidak ada di padepokan itu, lalu dimana? Apakah kalian tidak dapat melihat? Lalu apa artinya kemampuan penglihatan batin kalian jika penglihatan kalian sama saja dengan penglihatanku?” “Kiai,” berkata Ki Resa, “kami dapat melihat geledeg, ajug-ajug, amben dan apa lagi, karena benda-benda itu ada.” “Itu penglihatan wadag kalian. Penglihatan mata kalian yang tidak berbeda dengan penglihatan mataku,” geram Kiai Timbang Laras. “Benar, Kiai. Tetapi tangkapan penglihatan batin kami pun tidak berbeda. Kami dapat menangkap getar keberadaan benda itu meskipun benda-benda itu tidak kasat mata. Tetapi jika benda-benda itu memang tidak ada, getar apakah yang dapat kami tangkap, betapapun tajamnya penglihatan batin kami? Sebagaimana kami tidak akan dapat melihat sesuatu dengan mata wadag kami betapapun tajamnya penglihatan mata kami itu, jika yang kami lihat itu memang tidak ada.” “Tetapi benda itu ada. Peti itu ada. Aku pernah melihatnya. Peti itu tidak akan dapat begitu saja lebur ke ketiadaan. Meskipun barangkali peti itu tidak ada lagi di padepokan, tetapi peti itu tentu ada di satu tempat. Nah, katakan, dimanakah peti itu berada menurut penglihatanmu.” “Kiai,” berkata Ki Resa, “Kiai tentu tahu keterbatasan kemampuan seseorang. Apakah Kiai mengartikan bahwa aku mampu melihat isi bumi ini? Apapun dan dimanapun? Tidak, Kiai. Aku tidak mempunyai kemampuan sejauh itu. Penglihatanku sangat terbatas. Seandainya peti itu memang ada, maka keberadaannya ada di luar jangkauan kemampuan penglihatanku.” “Omong kosong! Semua cerita tentang kelebihanmu tidak ada artinya sama sekali. Karena itu, maka persetujuan kita batal. Aku tidak akan mengupahmu sekeping uang pun.” Ki Resa tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan menuntut. Aku memang harus merasa bahwa aku memang sudah gagal. Itu berarti bahwa perjanjian kita pun batal.” “Bagus,” geram Kiai Timbang Laras, “jika demikian, tidak ada gunanya lagi kau berada di padepokanku. Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.” “Baik, Kiai. Aku minta diri. Keluargaku tentu sudah menunggu aku pulang. Mereka akan menjadi gelisah jika aku terlalu lama pergi. Perjalanan malam hari seperti ini akan sangat menyenangkan,” berkata Ki Resa. Namun katanya pula, “Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan kepada Kiai, bahwa kedua orang yang bersamaku mencoba melihat peti tembaga itu sama sekali tidak bersalah, jika mereka tidak mengetahui di mana peti yang dicari itu berada. Mereka sudah berusaha sebagaimana aku juga berusaha. Tetapi kami telah gagal menurut penilaian Kiai.” “Cukup! Pergilah!” bentak Kiai Timbang Laras. Ki Resa tidak berbicara lagi. Iapun segera bangkit berdiri. Turun ke halaman dan mengambil kudanya. Sejenak kemudian, Ki Resa itu sudah menuntun kudanya keluar regol padepokan Kiai Timbang Laras. Namun demikian Ki Resa hilang di balik pintu regol, Kiai Timbang Laras itu pun berkata kepada Perbatang dan Pinuji, “Selesaikan orang itu. Bawa dua orang kawanmu, agar pekerjaanmu tidak terlalu sulit untuk kau lakukan. Cepat!” Perbatang dan Pinuji pun segera bangkit. Berlari-lari mereka mengambil kuda mereka sambil menyampaikan perintah Kiai Timbang Laras kepada dua orang yang berada di gandok. Mereka adalah para cantrik yang sedang bertugas berjaga-jaga bersama dengan beberapa cantrik yang lain yang berada di regol. Sejenak kemudian, empat orang telah berpacu menyusul Ki Resa yang berkuda ke arah barat. Beberapa saat keempat orang itu memacu kudanya. Mereka menyusuri jalan yang panjang dalam kegelapan malam yang telah menyelubungi wajah bumi. Tetapi setelah beberapa lama mereka memacu kuda mereka, mereka tidak segera dapat menyusul Ki Resa. Sementara itu jalan yang mereka lalui adalah jalan yang lurus yang tidak bercabang. Tidak pula ada simpangan. Ki Resa itu bagaikan hilang begitu saja ditelan gelapnya malam. “Waktu kita tidak bertaut banyak,” berkata Perbatang. “Ya,” sahut Pinuji hampir berteriak, “demikian kita mendengar derap kaki kuda Ki Resa, kita pun segera menyusulnya.” “Padahal tidak ada jalan lain.” Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena mereka kehilangan buruan mereka. Tetapi mereka membayangkan kemarahan Kiai Timbang Laras, yang kadang-kadang tidak terbendung sehingga keputusan yang diambilnya tidak terkendali sama sekali. Tetapi mereka benar-benar tidak dapat menyusul Ki Resa. Bahkan derap kaki kudanya pun tidak mereka dengar pula. Akhirnya, Perbatang dan Pinuji serta kedua orang cantrik yang menyertai mereka itu pun berhenti. “Kita tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata Perbatang hampir putus asa. Pinuji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Tetapi salah seorang cantrik yang menyertai mereka pun berkata, “Kita harus menemukan orang itu.” “Bagaimana mungkin kita dapat menemukannya,” sahut Perbatang. “Bukankah salah seorang dari kita mengetahui rumahnya? Kita datang ke rumahnya. Kita akan menyelesaikannya meskipun di hadapan keluarganya,” sahut cantrik yang lain. Perbatang dan Pinuji menjadi ragu-ragu. Hampir bergumam Pinuji berkata, “Rumahnya jauh sekali. Sehari perjalanan.” “Apa boleh buat,” jawab cantrik itu, “jika kita pulang tanpa membawa pertanda kematiannya, maka kita-lah yang akan digantung.” “Kenapa kita harus berbuat demikian sekarang? Bukankah beberapa saat yang lalu kita tidak pernah melihat, bahkan membayangkannya pun tidak, perlakukan yang demikian terhadap sesama kita?” “Tetapi keadaan sudah berubah. Kiai Timbang Laras juga sudah berubah,” jawab cantrik itu pula. “Sejak kehadiran Ki Jatha Beri,” desis Perbatang. “Tidak,” jawab salah seorang cantrik yang menyertainya, “Kiai Timbang Laras sendiri menyadari kelemahannya. Ia harus bersikap lebih baik jika ia ingin padepokannya bertambah maju. Sekarang, setelah Kiai Timbang Laras berhubungan dengan Ki Jatha Beri, ia dapat belajar daripadanya dan perubahan itu datang sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya Kiai Timbang Laras dapat menyesuaikan diri dengan sikap yang seharusnya dari seorang pemimpin padepokan, jika padepokannya ingin menjadi besar.” Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu adalah cantrik dari padepokannya. Namun sikapnya membuat keduanya menjadi heran. Namun Perbatang pun kemudian masih bertanya, “Bagaimana pendapat kalian berdua?” “Kita pergi ke rumah Ki Resa.” “Jika Ki Resa tidak ada di rumah?” “Kita ambil siapa saja yang ada di rumahnya. Anaknya atau cucunya atau siapa saja.” Perbatang dan Pinuji terkejut. Dengan serta-merta Perbatang pun bertanya, “Untuk apa?” Kedua cantrik itu justru menjadi heran. Seorang di antara mereka berkata, “Bukankah itu wajar? Kita bawa salah seorang keluarga mereka. Justru yang terdekat dengan Ki Resa. Kita memaksa Ki Resa untuk datang mengambilnya.” “Lalu Ki Resa kita habisi?” desis Pinuji. “Ya.” “Lalu bagaimana dengan keluarganya yang kita bawa?” “Orang itu tidak berarti apa-apa. Kita akan melepaskannya atau membunuhnya, tidak ada bedanya.” “He,” tiba-tiba Perbatang bertanya, “kau salah seorang dari sekelompok cantrik yang baru?” “Ya,” jawab cantrik itu, “aku memang baru di padepokan Kiai Timbang Laras.” “Sebelumnya kau berada di perguruan mana?” bertanya Pinuji dengan dahi yang berkerut. “Kami adalah murid Ki Jatha Beri.” “Pantas,” Perbatang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Jika kita berurusan dengan Ki Resa, maka kita akan menyelesaikannya dengan orang itu. Tidak dengan keluarganya.” “Itu hanya satu cara,” jawab cantrik itu. “Satu cara yang keji. Jika kita ingin membunuh Ki Resa, maka kita harus berhadapan dengan orangnya. Ki Resa yang terbunuh atau kita yang akan mati.” Cantrik itu tertawa. Katanya, “Kau ingin menjadi seorang laki-laki jantan? Itu sama sekali tidak perlu. Yang penting, kita dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita. Cara apapun yang kita pergunakan.” “Tidak. Aku tidak mau,” jawab Perbatang. “Jika demikian, tunjukkan saja rumahnya. Kami akan datang dan mengambil salah seorang keluarganya. Perempuan atau anak-anak.” “Tidak. Meskipun kami sudah melihat rumahnya, tetapi kami tidak akan menunjukkan.” “Jadi kalian akan berkhianat?” bertanya salah seorang cantrik itu. Telinga Perbatang dan Pinuji menjadi panas. Dengan geram Perbatang menjawab, “Tidak, kami akan mencari Ki Resa sampai kami menemukan orangnya.” “Itu perbuatan yang sangat bodoh. Berapa lama kalian akan mencari?” “Tidak ada batasan waktu yang diberikan oleh Kiai Timbang Laras,” jawab Pinuji. Kedua cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Sekarang, beri saja kami ancar-ancar. Biarlah kami yang menyelesaikannya.” Tetapi Perbatang berkata dengan tegas, “Tidak. Aku tahu bahwa kalian akan berbuat licik. Kalian akan menculik perempuan atau kanak-kanak. Aku tidak mau.” “Jangan membuat kami kehabisan kesabaran,” berkata salah seorang cantrik itu. Telinga Perbatang dan Pinuji bagaikan tersentuh bara. Dengan suara bergetar menahan kemarahan Perbatang berkata, “Kalian mau apa? Kami adalah orang-orang terdekat dari Kiai Timbang Laras.. Kalian adalah cantrik-cantrik baru yang harus tunduk pada perintah kami.” “Tidak,” jawab salah seorang cantrik itu, “kami bukan budak-budak kalian meskipun kami berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi kami mendapat tugas untuk mengawasi kalian jika terjadi pengkhianatan seperti ini.” “Bagus,” geram Pinuji, “jika demikian, apa yang akan kalian lakukan? Melaporkan kami kepada Kiai Timbang Laras?” “Kami harus memaksa kalian pulang,” geram cantrik itu. “Kami adalah orang-orang bebas yang dapat menentukan sikap sendiri,” geram Pinuji. “Jika demikian, kami harus memaksa kalian dengan kekerasan. Kami tidak mempunyai pilihan lain.” Perbatang dan Pinuji pun kemudian segera mempersiapkan diri. Kemarahan mereka serasa telah membakar ubun-ubun. Sementara itu, kedua orang cantrik yang ternyata semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu pun telah bersiap pula. Sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi di antara mereka. Perbatang dan Pinuji masing-masing menghadapi seorang cantrik. Ternyata kedua orang cantrik yang baru itu bukannya orang yang belum berilmu. Sebagai pengikut Jatha Beri yang justru mendapat tugas untuk mengamati padepokan Kiai Timbang Laras, maka keduanya memiliki bekal yang cukup. Tetapi Perbatang dan Pinuji bukannya cantrik yang baru kemarin sore berada di padepokan itu. Untuk waktu yang lama keduanya mendapat kepercayaan dari Kiai Timbang Laras. Karena itulah, pertempuran itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Para cantrik yang merasa wajib untuk bertindak atas Perbatang dan Pinuji berusaha untuk dengan cepat menangkap dan membawa mereka menghadapi Ki Jatha Beri. Namun dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang marah itu pun ingin segera menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka salah seorang di antara kedua cantrik itu pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian berdua menyerah saja, dan bersama-sama dengan kami menghadap Kiai Timbang Laras dan Kiai Jatha Beri. Jika kalian menyerah, maka aku akan mohon agar hukuman atas pengkhianatan kalian diperingan. Seandainya kalian harus dihukum mati, maka kematian kalian adalah kematian yang terbaik. Tetapi jika kalian melawan, aku akan mengusulkan hukuman yang terberat yang dapat diberikan kepada seseorang. Jika kalian mendapat hukuman mati, kematian kalian adalah kematian yang akan kalian tempuh dengan cara yang paling sulit. Bahkan mungkin kalian harus menunggu berhari-hari untuk sampai pada batas kematian yang sebenarnya.” Pinuji yang menghadapi cantrik itu dengan serta-merta menyahut, “Kau kira kami akan segera bersimpuh di hadapanmu? Kami bukan kanak-kanak yang dapat kau takut-takuti dengan caramu.” “Persetan kau Pinuji! Jika kau tetap keras untuk melawan, kami-lah yang akan memutuskan apakah kalian akan kami bunuh atau akan kami tinggalkan di sini, agar tubuhmu yang tidak lagi dapat bangkit akan menjadi mangsa anjing liar.” “Aku sudah memutuskan bahwa kalian tidak akan pernah dapat kembali ke padepokan kami. Kalian telah mengotori padepokan Kiai Timbang Laras dengan sikap dan cara hidup yang kasar dan curang,” geram Pinuji. “Kau benar-benar pengkhianat,” sahut cantrik itu, “karena itu kau harus mati. Aku akan membunuhmu dengan caraku.” Cantrik itu pun segera menarik goloknya. Dengan tangkasnya ia memutar goloknya itu sambil berkata, “Satu-satu anggota badanmu akan terpisah dari tubuhmu. Tetapi kau tidak akan mati malam ini. Malam nanti anjing-anjing liar akan menyelesaikanmu. Baru besok sisa-sisa tubuhmu ditemukan orang yang lewat jalan ini untuk pergi ke pasar.” Tetapi cantrik itu terkejut bukan buatan. Ketika mulutmu masih bergerak, tiba-tiba saja kaki Pinuji terjulur dengan derasnya menghantam dadanya. Cantrik itu terdorong beberapa langkah surut, bahkan kemudian cantrik itu terdorong jatuh. Namun dengan cepat ia berguling menjauh, kemudian dengan cepat melenting berdiri. Dengan kasar cantrik itu mengumpat. Namun Pinuji telah berdiri tegak dengan pedang yang sudah tercabut dari wrangkanya teracu ke arahnya. Pinuji tidak berbicara lebih banyak lagi. Tetapi setapak ia bergeser maju sambil menjulurkan pedangnya menggapai tubuh lawannya. Cantrik itu bergeser mundur. Goloknya pun berputar pula dengan cepat untuk melindungi tubuhnya Namun serangan Pinuji pun kemudian datang seperti gelombang yang datang beruntun menggempur batu-batu karang di pantai. Cantrik itu bertempur semakin keras dan garang. Goloknya yang besar dan berat itu berputar semakin cepat. Namun sekali-sekali golok itu terayun menyerang ke arah leher Pinuji. Tetapi Pinuji dengan tangkas menghindar atau menebas serangan itu, sehingga tidak menyentuh sasarannya Di lingkaran pertempuran yang lain, Perbatang bertempur dengan sengitnya pula. Cantrik yang menjadi lawannya itu pun berusaha untuk menekannya. Namun ternyata Perbatang bukan anak-anak yang baru belajar berjalan. Seperti kawannya, cantrik itu pun telah menarik senjatanya pula. Sebuah pedang yang besar dan panjang. Namun demikian ia menggenggam pedangnya, Perbatang pun telah memegang pedangnya pula. Dengan demikian, Perbatang pun kemudian telah bertempur dengan mempertaruhkan ilmu pedang masing-masing. Kedua cantrik pengikut Ki Jatha Beri itu telah berusaha meningkatkan ilmu mereka. Mereka bertempur semakin lama semakin keras. Bahkan kemudian menjadi semakin kasar. Yang nampak bukan lagi cantrik dari perguruan Kiai Timbang Laras, yang mempunyai garis keturunan ilmu yang sama dengan perguruan Kiai Warangka. Tetapi unsur-unsur yang dipergunakan kemudian adalah ilmu yang mereka warisi dari Ki Jatha Beri. Ilmu yang keras dan kasar, namun sangat berbahaya. Meskipun demikian, Perbatang dan Pinuji sama sekali tidak menjadi gentar. Murid perguruan Kiai Timbang Laras itu bertempur dengan garangnya pula. Bahkan kemudian Perbatang telah berhasil mendesak lawannya. Pedangnya yang sekali-sekali menjulur mematuk ke arah tubuh lawannya mampu mendesaknya, sehingga beberapa kali cantrik itu meloncat surut. Tetapi cantrik yang bertempur dengan kasar itu telah menghentak-hentakkan serangannya. Kadang-kadang orang itu mampu mengejutkan Perbatang. Namun kemudian, serangan-serangan Perbatang terasa semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian ketika cantrik itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher Perbatang, dengan keras pula Perbatang membentur serangan itu. Dengan cepat Perbatang memutar pedangnya dengan hentakan yang kuat, sehingga hampir saja pedang lawannya terlepas dari tangannya. Tetapi cantrik itu menggenggam pedangnya dengan erat, betapapun telapak tangannya terasa bagaikan terbakar. Tetapi Perbatang tidak menghentikan serangannya. Demikian pedangnya berputar, dengan cepat ia meloncat ke samping. Pedangnya bergerak dengan cepat menggapai tubuh lawannya. Cantrik yang masih berdebar-debar karena pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya itu, terkejut sekali. Ia mencoba menangkisnya. Meskipun ia berhasil menggeser arah serangan Perbatang, namun ujung pedang Perbatang itu masih sempat menyentuh pundaknya. Cantrik itu meloncat surut. Pundaknya terasa menjadi pedih. Cairan yang hangat kemudian telah mengalir dari lukanya. Cantrik itu mengumpat kasar. Serangannya kemudian datang bergulung-gulung seperti angin prahara. Namun pertahanan Perbatang sama sekali tidak menjadi goyah. Pertahanannya justru menjadi semakin mantap, sementara serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Murid Jatha Beri itu mulai menjadi gelisah. Ternyata kemampuan Perbatang itu lebih tinggi dari perhitungannya. Bahkan setelah ia mengerahkan segenap kemampuannya pun, ia tidak mampu menguasai lawannya yang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Sementara itu, serangan-serangan Perbatang pun justru menjadi semakin cepat dan berbahaya. Ujung pedang Perbatang itu rasa-rasanya berdesing-desing di seputar telinga cantrik yang selalu terdesak itu. Lawan Pinuji yang menggenggam golok yang besar itu mencoba mencari keseimbangan ketika ia melihat kawannya terdesak. Jika saja ia mempunyai kesempatan lebih cepat menyelesaikan Pinuji, maka berdua dengan kawannya mereka akan dengan cepat pula menyelesaikan Perbatang. Tetapi Pinuji bukan seorang yang lemah. Bahkan bukan Pinuji yang kemudian terdesak, tetapi justru cantrik itulah yang setiap kali harus bergeser surut Serangan-serangan Pinuji-lah yang kemudian mewarnai keseimbangan pertempuran itu. Pedangnya bergerak dengan cepat. Sekali terjulur menggapai tubuh lawannya, namun kemudian tiba-tiba saja telah menebas dengan derasnya. Tetapi kemudian pedang itu berputar dan mematuk seperti seekor ular. Betapapun cantrik itu berusaha mengimbangi dengan serangan-serangannya yang keras dan kasar, namun ilmu pedang Pinuji memiliki kelebihan dari kemampuan lawannya itu. Dengan demikian, keseimbangan pertempuran itu pun mulai menjadi goyah. Kedua cantrik murid Jatha Beri itu ternyata sulit mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Apalagi kemarahan Perbatang dan Pinuji nampaknya tidak dapat diredakan lagi. Kedua orang cantrik itu benar-benar akan membunuhnya. Bahkan dengan cara yang sangat buruk. Karena itu, Perbatang itu pun berkata dengan lantang, “Sudah saatnya kalian dimusnahkan dari padepokan Kiai Timbang Laras!” Tetapi cantrik yang bertempur melawannya tidak dengan mudah menyerah kepada keadaan. Pada saat yang paling sulit, cantrik itu telah menarik sebilah pisau belati. Dengan cepat sekali pisau itu dilemparkan ke arah dada Perbatang. Untunglah Perbatang melihat lontaran pisau itu. Dengan cepat pula Perbatang mengelak. Tetapi pisau itu masih tetap menyambar dan menggores lengannya, sehingga segores luka telah menganga di lengannya. Luka itu justru membuat Perbatang semakin marah. Dengan garangnya Perbatang meloncat sambil menjulurkan pedangnya mengarah ke dada cantrik itu. Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak. Selangkah ia bergeser. Tetapi Perbatang itu tidak melepaskannya. Pedang yang terjulur itu segera terayun menebas dengan derasnya. Cantrik itu masih berusaha menangkis serangan itu. Namun pedang Perbatang segera berputar. Satu loncatan panjang dengan pedang yang terjulur lurus, mematuk langsung menghujam ke arah jantung. Terdengar cantrik itu berteriak sambil mengumpat kasar. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ujung pedang Perbatang benar-benar telah menukik melubangi jantungnya. Sejenak kemudian suara cantrik itu pun segera lenyap. Demikian tubuhnya terjatuh di tanah, maka nafasnya pun telah terhenti. Cantrik yang bertempur melawan Pinuji itu melihat kawannya yang terbunuh oleh Perbatang. Dengan demikian ia tidak berpengharapan lagi. Perbatang akan dapat bergabung dengan Pinuji melawannya bersama-sama. Karena itu, cantrik itu pun berniat untuk melarikan diri. Jika ia sempat sampai ke padepokan, maka ia akan dapat menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri. Tetapi Pinuji sama sekali tidak memberi kesempatan. Demikian lawannya berusaha menghindar dari pertempuran, Pinuji itu dengan cepat memotong jalannya. Cantrik yang hampir berputus asa itu telah mengayunkan goloknya menebas ke arah dada. Tetapi Pinuji sempat mengelak. Demikian golok itu terayun, dengan cepat pula Pinuji meloncat. Pedangnya-lah yang kemudian terayun menyambar lambung. Cantrik itu tidak dapat mengelak. Lambungnya telah terkoyak oleh tajamnya pedang Pinuji. Sejenak kemudian dua orang cantrik itu telah terkapar di pinggir jalan. Keduanya ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Dua orang murid dari padepokan Kiai Timbang Laras. Sejenak Perbatang dan Pinuji termangu-mangu. Kedua orang itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan saja kedua orang cantrik yang terbunuh itu. “Biarlah besok orang-orang yang menemukan, menguburkannya,” berkata Perbatang, “kita tidak dapat melakukannya sekarang.” Pinuji mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Kita akan melaporkannya kepada Kiai Timbang Laras, bahwa orang-orang Jatha Beri yang ada di padepokan kita mempunyai tugas khusus yang diberikan oleh Ki Jatha Beri itu.” Perbatang mengangguk-angguk pula. Tetapi sebelum ia menjawab, kedua orang itu terkejut Dengan cepat keduanya meloncat surut sambil mengacukan senjatanya. Yang kemudian berdiri di hadapan mereka adalah Ki Resa yang sedang mereka buru itu. “Ki Resa,” desis Perbatang. “Ya,” jawab Ki Resa, “apakah kalian sedang mencari aku?” “Ya. Kami memang sedang menyusul Ki Resa,” jawab Perbatang. “Kalian mendapat perintah untuk membunuh aku?” bertanya Ki Resa pula. “Ya.” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku memang sudah memperhitungkan hal itu. Itulah sebabnya aku tidak berpacu terus. Demikian aku keluar dari padepokan, aku telah membawa kudaku bersembunyi. Aku justru berkuda di belakang kalian.” “Kau memang cerdik, Ki Resa,” sahut Pinuji. “Aku tahu bagaimana kalian berselisih dengan kedua orang cantrik itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian berdua, bahwa kalian tidak mau melakukan sebagaimana akan dilakukan oleh kedua cantrik itu, yang ternyata adalah para pengikut Ki Jatha Beri.” “Sekarang kita sudah berhadapan. Kami bertekad untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada kami,” berkata Perbatang. “Kau sudah terluka.” “Luka ini tidak berpengaruh sama sekali.” “Mungkin. Tetapi jika kau menghentakkan tenaga untuk bertempur, maka darah akan mengalir terus dari lukamu. Seseorang akan dapat menjadi lemah karena kekurangan darah. Karena itu, aku anjurkan kau obati dahulu lukamu itu agar menjadi mampat.” “Tidak perlu, Ki Resa. Aku akan mengobatinya setelah persoalan kita selesai. Setelah kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan sebaik-baiknya.” “Membunuh aku?” bertanya Ki Resa. Pertanyaan itu telah menghentakkan Perbatang dan Pinuji ke dalam keadaan yang rumit. Karena itu keduanya tidak segera dapat menjawabnya. Ki Resa justru tersenyum. Katanya, “Nah, jika kalian memang akan melaksanakan perintah dengan baik, lakukanlah. Kalian tidak usah mencari aku ke mana-mana. Kalian tidak usah menculik perempuan atau kanak-kanak.” Perbatang dan Pinuji justru menjadi ragu-ragu. Mereka bukannya menjadi gentar berhadapan dengan Ki Resa. Tetapi justru mereka tahu bahwa Ki Resa telah melakukan pekerjaannya sebagaimana disanggupinya dengan baik. Jika kemudian Ki Resa itu mengambil kesimpulan bahwa peti tembaga itu tidak ada di padepokan Kiai Warangka, itu sama sekali bukan kesalahannya. Memang kedua murid dari padepokan Kiai Timbang Laras itu juga bertanya di dalam hati, apakah mungkin Ki Resa itu berbuat curang atau sengaja menyesatkan. Namun keduanya berpendapat, seandainya kecurigaan itu ada, seharusnya sejak awal Kiai Timbang Laras harus sudah memikirkannya. Kesan dari sikap Kiai Timbang Laras kemudian adalah seakan-akan Ki Resa harus memberikan jawab sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras. Karena kedua orang itu termangu-mangu, maka Ki Resa pun berkata, “Perbatang dan Pinuji. Sebenarnya aku juga ingn memberikan jawaban sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras. Aku memang dapat berpura-pura, memberi jawaban asal saja aku sebut di mana peti itu disembunyikan di dalam lingkungan padepokan Kiai Warangka. Tetapi sejak semula, pekerjaanku ini bukan alat untuk menipu. Karena itu, aku harus mengatakan sesuai dengan penglihatanku.” Perbatang-lah yang kemudian menjawab, “Sebenarnya sejak semula kami sudah ragu, Ki Resa. Tetapi kami tidak dapat menolak perintah Kiai Timbang Laras, meskipun kami merasa heran bahwa Kiai Timbang Laras sekarang benar-benar telah berubah. Sejak Ki Jatha Beri ada di padepokan, segala-galanya sudah lain dari sebelumnya. Aku tidak tahu, kenapa demikian besar pengaruh Ki Jatha Beri terhadap Kiai Timbang Laras.” “Jadi apakah yang akan kau lakukan?” “Kami berniat untuk kembali, menemui Kiai Timbang Laras dan melaporkan apa yang sudah terjadi.” “Bagaimana dengan Ki Jatha Beri?” “Aku akan melaporkan apa adanya. Aku justru ingin tahu tanggapan Kiai Timbang Laras dan sikap Ki Jatha Beri.” “Tetapi kalian akan dapat dihukum mati.” “Jika Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menyimpang dari kepribadiannya, maka biarlah kami menjadi korbannya.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan Kiai Timbang Laras masih mempunyai kesempatan mempergunakan penalarannya menghadapi persoalan ini.” Demikianlah, Perbatang dan Pinuji pun telah meloncat ke punggung kudanya. Namun ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, Ki Resa pun berkata, “Kau melupakan kedua orang cantrik itu.” “Kami sengaja membiarkannya.” “Jika kau memang ingin mengatakan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya, kenapa tidak kau bawa saja?” Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Perbatang itu pun berkata, “Baiklah. Jika Pinuji tidak berkeberatan, kami akan membawanya.” Pinuji memang agak ragu. Tetapi akhirnya ia pun berkata, “Baiklah. Kita akan membawanya.” Dengan demikian, maka Perbatang dan Pinuji itu pun telah menaikkan tubuh kedua orang cantrik itu ke atas kuda mereka masing-masing, dan kemudian menuntun kuda-kuda itu ke padepokan. Ketika Perbatang dan Pinuji memasuki padepokan, para cantrik pun segera mengerumuninya. “Apa yang telah terjadi?” para cantrik itu pun saling bertanya. Tetapi Perbatang dan Pinuji tidak mengatakan sesuatu. Keduanya melangkah menuju ke bangunan utama padepokan itu untuk langsung bertemu dengan Kiai Timbang Laras. Ki Timbang Laras memang masih berada di bangunan induk itu. Ia pun segera bangkit ketika ia melihat Perbatang dan Pinuji membawa tubuh dua orang cantrik di atas punggung kuda mereka. “Apa yang telah terjadi?” bertanya Kiai Timbang Laras. Perbatang dan Pinuji pun segera naik ke pendapa. Mereka berdua memang sudah berniat untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi kepada Kjai Timbang Laras. Bahkan seandainya Ki Jatha Beri duduk pula bersamanya Tetapi sikap Kiai Timbang Laras memang mengejutkan Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras tidak mempertimbangkan laporan Perbatang dan Pinuji sebagai satu ancaman bagi kemandirian perguruan Kiai Timbang Laras, tetapi sebaliknya, Kiai Timbang Laras itu menjadi sangat marah. “Jadi kau bunuh saudara-saudara sendiri?” “Tetapi kami mempunyai alasan yang kuat, kenapa hal ini kami lakukan, Kiai.” “Apapun alasannya, apakah aku pernah mengajarkan kepadamu untuk membunuh saudara-saudara kita sendiri?” “Tetapi Kiai juga tidak pernah mengajarkan untuk menculik perempuan dan anak-anak.” “Itu tergantung pada kepentingannya. Kau harus menerapkan ajaranku dengan bijaksana.” Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Sementara itu Perbatang masih mencoba untuk menjelaskan, “Kiai. Apakah Kiai tidak merasa tersinggung jika ada orang lain yang datang ke padepokan ini justru untuk mengawasi kita? Apakah orang-orang baru yang sejak semula memang para pengikut Ki Jatha Beri itu, suatu saat tidak akan mengganggu kebebasan kita di dalam perguruan kita sendiri?” “Tutup mulutmu, Perbatang!” bentak Kiai Timbang Laras, “Aku justru memerlukan Ki Jatha Beri. Ia akan dapat memberikan terang bagi padepokan kita, serta memberikan harapan atas masa depan yang lebih baik.” Perbatang yang menyadari bahwa Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menjadi marah, tidak berkata apapun lagi. Mereka menyadari apa yang akan terjadi atas diri mereka. Sebenarnyalah Kiai Timbang Laras telah memerintahkan untuk menangkap Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras justru memberitahukan kepada Ki Jatha Beri, bahwa dua orang cantrik yang sejak sebelumnya adalah para pengikut Ki Jatha Beri, telah dibunuh oleh Perbatang dan Pinuji. “Mereka harus dihukum mati!” teriak Ki Jatha Beri, “Aku sendiri yang akan menghukum mereka!” “Silakan, Ki Jatha Beri,” sahut Kiai Timbang Laras. Perbatang dan Pinuji tidak mempunyai kesempatan untuk membela diri. Semula mereka berharap bahwa Kiai Timbang Laras akan melindunginya. Tetapi ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Karena itu, maka keduanya hanya dapat pasrah, apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Bahkan mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk di saat kematian mereka, karena mereka akan mati di tangan Ki Jatha Beri. Ki Jatha Beri yang marah itu telah memerintahkan agar Perbatang dan Pinuji dimasukkan ke dalam bilik tertutup. Mereka akan menjalani hukuman mati di keesokan harinya. Ki Jatha Beri pun telah memerintahkan empat orang cantrik yang sejak semula adalah pengikut Ki Jatha Beri untuk menjaga bilik itu. “Dua orang di depan dan dua orang di belakang,” geram Ki Jatha Beri. Bahkan ia menambahkan, “Beri isyarat jika keduanya berusaha untuk melarikan diri. Jika kalian lengah dan keduanya terlepas, maka kalianlah akan menjadi gantinya. Besok kalian akan aku hukum mati menurut caraku.” Perbatang dan Pinuji tidak melawan. Keduanya pun kemudian telah dimasukkan ke dalam bilik dengan tangan dan kaki terikat pada tiang di dalam bilik itu. Tidak ada kemungkinan bagi keduanya untuk melarikan diri. Dalam pada itu, para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras, ternyata telah tersinggung pula. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu. Kiai Timbang Laras, pemimpin dan guru mereka yang mereka hormati dan mereka takuti, justru telah menjerumuskan Perbatang dan Pinuji ke dalam keadaan yang paling sulit. Keduanya besok akan dihukum mati dengan cara yang barangkali belum pernah mereka lihat sebelumnya Malam itu Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang cantrik yang sejak sebelum berada di padepokan adalah pengikutnya, untuk menyiapkan hukuman mati itu. Para cantrik padepokan Kiai Timbang Laras tidak tahu pasti, apa yang telah dibuat oleh orang-orang itu. Mereka membuat tiang dan kemudian menanamnya di halaman padepokan. Dua pasang patok kayu yang kuat. Tetapi para cantrik itu membayangkan bahwa besok mungkin Perbatang dan Pinuji akan diikat pada dua pasang patok kayu itu. Tangan mereka akan direntangkan. Demikian pula kaki mereka. Selanjutnya mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Dalam kegelisahan itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras hanya dapat mengusap dada bahwa Ki Jatha Beri itu masih dapat tidur nyenyak. Begitu ia marah-marah dan memerintahkan membuat alat untuk menghukum mati Perbatang dan Pinuji, orang itu langsung masuk ke dalam biliknya dan tidur mendengkur. “Begitu tidak berharganya nyawa Perbatang dan Pinuji di mata Ki Jatha Beri.” Tetapi para cantrik itu tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang terikat kaki dan tangannya di dalam sebuah bilik yang sempit benar-benar sudah pasrah. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mereka merasakan ikatan pada tangan dan kakinya itu begitu kuat, sehingga tidak mungkin untuk dapat dilepaskan lagi. Sementara itu, ada empat orang yang berjaga-jaga di luar. Dua orang mengawasi bagian depan dan dua orang di bagian belakang bilik itu. Bagi Perbatang dan Pinuji, sisa malam itu terasa amat panjang. Mereka ingin matahari segera terbit. Jika mereka harus mati, biarlah kematian itu segera datang, meskipun mereka sadar bahwa cara yang paling buruk akan terjadi pada saat kematian mereka. Dalam pada itu, sisa malam itu terasa menjadi semakin dingin di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan para cantrik bagaikan dicengkam oleh kegelisahan. Dua orang cantrik yang meronda berkeliling merasa tengkuk mereka meremang. Namun mereka berjalan terus. Untuk mengusir ketegangan yang menyusup ke dalam jantung mereka, seorang di antara mereka pun berdesis, “Kasihan Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji.” “Ya,” yang lain menyahut, “aku tidak tahu kenapa Kiai Timbang Laras benar-benar berubah. Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji adalah dua orang yang termasuk di antara mereka yang dekat dengan Kiai Timbang Laras. Keduanya adalah orang-orang yang dipercaya. Bahkan kedua orang itu pula yang diperintahkan untuk menyertai Ki Resa ke padepokan Kiai Warangka.” “Semuanya sudah berubah. Bahkan sikap Kiai Timbang Laras dengan saudara-saudara seperguruannya juga sudah berubah. Jika dahulu Kiai Timbang Laras sangat menghormati Kiai Warangka, sekarang sama sekali tidak. Bahkan Kiai Timbang Laras itu sempat mencurigai kakak seperguruannya itu.” “Ki Jatha Beri telah menebarkan racun di padepokan ini,” geram yang lain. Keduanya terdiam. Mereka melangkah sampai di sudut padepokan. Beberapa saat mereka berhenti. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita kembali ke gardu.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa ada ketenangan di sini. Di gardu itu ada cantrik yang baru, yang sebelumnya adalah pengikut Ki Jatha Beri. Di sana kita tidak dapat berbicara bebas seperti ini.” Kawannya mengangguk-angguk. Bahkan kemudian orang itu duduk di atas sebuah batu sambil berkata, “Baiklah. Kita beristirahat di sini sebentar.” Namun ketika kawannya juga akan duduk, mereka terkejut. Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari balik gerumbul, sudah di dalam dinding padepokan. Karena itu, maka kedua orang cantrik itu dengan sigap meloncat bangkit. Senjata mereka pun segera teracu kepada sosok tubuh yang tiba-tiba muncul itu. Tetapi orang itu mengacukan kedua tangannya sambil berdesis, “Sabar Ki Sanak, sabar.” “Siapa kau?” bertanya salah seorang cantrik itu. “Apakah kau tidak mengenal aku?” bertanya orang itu. “Ki Resa,” desis cantrik itu. “Ya Aku ingin mendapat keterangan tentang Perbatang dan Pinuji. Semula aku akan mencarinya sendiri. Tetapi setelah aku mendengar pembicaraan kalian, maka aku memberanikan diri untuk menemui kalian. Terus-terang, aku ingin menyelamatkan mereka.” “Maksud Ki Resa?” “Aku tidak akan melibatkan kalian. Aku hanya ingin kalian memberitahu, di mana sekarang Perbatang dan Pinuji.” “Keduanya ditahan sekarang. Besok pagi mereka akan dihukum mati. Hukuman itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Jatha Beri dengan caranya.” “Apakah Kiai Timbang Laras tidak melindungi mereka?” “Itulah yang kami sesalkan. Kiai Timbang Laras justru ikut menghukum mereka dengan menyerahkan mereka kepada Ki Jatha Beri.” “Baiklah aku berterus terang kepada kalian. Tunjukkan kepadaku, di mana mereka ditahan. Aku akan berusaha membebaskan mereka, meskipun aku tahu bahwa usaha itu akan sangat berbahaya. Aku minta kalian tidak memberikan isyarat. Seperti sudah aku katakan, aku tidak akan melibatkan kalian.” “Isyarat apa yang Ki Resa maksudkan?” “Kalian jangan memberi isyarat kepada para cantrik bahwa seseorang telah menyusup ke dalam padepokan ini.” Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa.” Cantrik itu pun kemudian memberikan ancar-ancar di mana Perbatang dan Pinuji ditahan. “Terima kasih. Doakan agar aku berhasil menyelamatkan kedua orang saudara seperguruan kalian, yang menurut pendapatku tidak bersalah itu.” Demikianlah, Ki Resa pun segera menyusup kembali ke dalam gerumbul-gerumbul perdu. Namun kemudian, orang itu telah bergeser untuk melaksanakan rencananya. Sementara itu, langit sudah mulai dibayangi oleh cahaya fajar. Sisa malam pun menjadi semakin sempit Ketika burung-burung liar bernyanyi di pepohonan, serta ayam jantan berkokok saling bersahutan, maka padepokan itu sudah mulai menjadi sibuk. Di dapur perapian sudah menyala. Para cantrik yang bertugas sudah menjerang air untuk membuat minuman. Namun tiba-tiba padepokan Kiai Timbang Laras itu menjadi gempar. Para cantrik yang berjaga-jaga di depan dan di belakang bilik tahanan Perbatang dan Pinuji telah terbaring di tanah. Mereka sudah mati terbunuh. Nampaknya empat orang itu tidak sempat memberikan perlawanan sama sekali. Para cantrik pun menjadi sibuk. Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri, maka keduanya menjadi sangat marah. Beberapa orang pengikut Ki Jatha Beri pun telah mengumpat-umpat kasar. Empat orang di antara mereka terbunuh, setelah dua orang sebelumnya sudah dibunuh pula oleh Perbatang dan Pinuji. Ubun-ubun Ki Jatha Beri bagaikan terbakar. Dengan serta merta maka mereka yang bertugas berjaga-jaga malam itu segera dipanggil. Namun yang lebih menggemparkan lagi, ternyata Perbatang dan Pinuji sudah tidak ada di dalam bilik itu. Tali pengikat tangan dan kakinya terlepas tanpa bekas terpotong tajamnya senjata. Dua kelompok cantrik yang bertugas malam itu telah menghadap. Sekelompok yang bertugas sampai tengah malam, sedang yang sekelompok yang bertugas sejak tengah malam. Tetapi kedua kelompok cantrik itu tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa. Mereka justru meronda mengelilingi padepokan. Adapun bilik yang dipergunakan untuk menahan Perbatang dan Pinuji berada di tengah-tengah padepokan. Sedangkan kelompok-kelompok cantrik yang bertugas itu terdiri dari cantrik yang sudah lama berada di padepokan itu bersama-sama dengan para cantrik yang baru, yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri. Dengan demikian, Ki Jatha Beri mengalami kesulitan untuk begitu saja menuduh para cantrik kawan-kawan Perbatang dan Pinuji-lah yang telah melepaskan kedua orang tawanan itu, karena di dalam tugas para cantrik itu sudah berbaur. Apalagi para pengikut Ki Jatha Beri itu sengaja mengawasi para cantrik yang telah lebih dahulu berada di padepokan itu. Kiai Timbang Laras pun ternyata telah ikut menjadi sangat marah. Kiai Timbang Laras sebagai pemimpin padepokan telah mengumpulkan semua cantrik. Dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya, Kiai Timbang Laras itu telah mengancam, “Jika akhirnya aku mengetahui siapa yang telah melakukannya, maka hukuman yang belum pernah mereka bayangkan akan aku terapkan.” Para cantrik itu hanya dapat diam sambil menundukkan wajah mereka. Para cantrik itu memang menjadi ketakutan melihat kemarahan Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri. Perasaan yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji masih berada dalam perjalanan. Mereka dengan cepat menjauhi padepokan yang telah mereka huni bertahun-tahun. Sementara itu, Kiai timbang Laras dan Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang berkuda untuk mencari kedua orang yang berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya itu. “Tangkap mereka hidup-hidup. Aku sendiri yang akan menghukum mereka,” geram Ki Jatha Beri. Tetapi Perbatang dan Pinuji sudah menjadi semakin jauh. Kiai Resa yang menyertai keduanya, berjalan sambil menuntun kudanya. “Kita sudah jauh dari padepokan,” berkata Ki Resa. “Kenapa Ki Resa berusaha membebaskan kami?” bertanya Perbatang. Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu bahwa seharusnya kalian berdua tidak dihukum mati.” “Kiai Timbang Laras tidak mau melindungi kami berdua,” desis Pinuji. “Itulah yang mengherankan kami,” sambung Perbatang, “segala-galanya sudah berubah.” “Karena itu, aku berusaha untuk menyingkirkan kalian dari bilik itu.” “Apakah Ki Resa tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa kami berdua masih tetap akan membunuh Ki Resa? Apalagi dalam keadaan terjepit seperti sekarang. Jika kami berhasil membawa Ki Resa kembali ke padepokan hidup atau mati, mungkin Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri akan memaafkan kami.” Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku masih percaya bahwa kalian berdua bukan orang yang tidak berjantung. Namun seandainya demikian, aku pun masih percaya bahwa aku akan dapat menyelamatkan diri. Aku yakin, jika terjadi benturan kekerasan di antara kita, maka aku-lah yang akan membunuh kalian berdua.” Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin Ki Resa benar. Karena itu, lebih baik kami tidak mencobanya.” Ki Resa masih tertawa. Katanya, “Kesombongan kadang-kadang memang ada gunanya.” Namun Pinuji-lah yang kemudian bertanya, “Kita akan ke mana sekarang, Ki Resa?” “Aku akan mengajak kalian pulang ke rumahku. Aku harus menyingkirkan keluargaku. Jika pikiran kedua orang yang kalian bunuh itu juga tumbuh di kepala kawan-kawannya, maka keluargaku akan terancam.” “Jika demikian, aku ingin mempersilakan Ki Resa mendahului kami. Kami juga akan pergi ke rumah Ki Resa. Tetapi sebaiknya Ki Resa cepat-cepat pulang dan menyelamatkan keluarga Ki Resa.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mendahului kalian. Tetapi aku berharap bahwa kalian langsung menuju ke rumahku.” “Baik, Ki Resa. Kami akan langsung pergi ke rumah Ki Resa.,” sahut Perbatang. Ki Resa yang tiba-tiba saja teringat keselamatan keluarganya segera meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, kuda itu pun telah berlari di jalan bulak yang panjang. Perbatang dan Pinuji tidak menempuh jalan yang sama. Mereka justru menyusup melalui jalan pintas. Lewat lorong-lorong kecil dan jalan setapak. Keduanya menduga bahwa Ki Jatha Beri dan Ki Timbang Laras tidak akan berdiam diri. Mereka tentu memerintahkan para cantrik untuk mencarinya. Dalam pada itu, Ki Resa memacu kudanya secepat-cepatnya. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah atau mereka yang sedang berjalan dan berpapasan, memandangi orang yang berpacu itu dengan dahi yang berkerut. Seorang di antara mereka yang berdiri di pematang berdesis, “Orang yang tidak tahu diri. Apa dikiranya jalan itu milik kakeknya? Jika kuda itu menyentuh orang yang sedang berjalan, akibatnya akan sangat buruk.” Demikian pula orang-orang yang berjalan kaki. Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu membuat mereka terbatuk-batuk. Tetapi Ki Resa tidak menghiraukan mereka. Ia ingin segera sampai di rumahnya. Ki Resa menarik nafas panjang demikian ia memasuki halaman rumahnya. Ia tidak melihat suasana yang mencemaskan. Ia melihat keluarganya masih dalam keadaan tenang. Ki Resa tidak mau membuat keluarganya gelisah. Tetapi ia pun tidak ingin keluarganya menjadi korban. Karena itu, maka Ki Resa ingin menyampaikan persoalan yang sedang dihadapinya itu dengan berhati-hati. Betapapun Ki Resa merasa gelisah, namun ia tidak menunjukkan kegelisahannya itu. Dengan wajah jernih, Ki Resa memanggil anak perempuannya yang tinggal bersamanya. Anak perempuannya yang sudah ditinggal suaminya meninggal dunia. “Di mana ibumu?” bertanya Ki Resa “Di belakang, Ayah. Ibu sedang menampi beras.” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Panggil ibumu dan panggil kedua orang anakmu.” Anak perempuan Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Resa berkata, “Aku menunggu di sini.” “Ada apa sebenarnya Ayah?” bertanya anak perempuannya itu. Ki Resa mencoba untuk menghapus kesan kegelisahan itu di wajahnya. Katanya, “Panggillah. Aku ingin berbicara dengan kalian.” Anak perempuannya itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera memanggil ibunya dan kedua orang anaknya yang sedang bermain di halaman belakang, di dekat neneknya menampi beras. Sejenak kemudian, mereka pun telah terkumpul. Ki Resa, istrinya, anak perempuannya dan dua orang cucunya yang masih kecil. “Nyi,” berkata Ki Resa kepada istrinya, “bukan maksudku melibatkan kalian dalam kesulitan yang aku alami karena pekerjaanku.” Wajah istrinya berkerut. Meskipun Ki Resa berusaha untuk mengatakan dengan sangat berhati-hati, tetapi istrinya mampu menangkap kegelisahan di dalam hati suaminya. Bahkan anaknya pun telah mendesaknya, “Ada apa sebenarnya? Sebaiknya Ayah berterus terang. Kami memaklumi tugas-tugas Ayah, sehingga jika terjadi sesuatu yang akan menyangkut diri kami, sebaiknya Ayah berterus terang. Kami akan berusaha membantu menurut kemampuan kami.” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku akan berterus terang,” suara Ki Resa merendah, “aku ingin minta kalian meninggalkan rumah ini untuk sementara.” “Kenapa, Ayah?” bertanya anak perempuannya. “Aku berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang sedang kehilangan kendali nalarnya. Mereka akan membunuh aku. Tetapi itu tidak penting. Yang membuat aku gelisah, justru karena mereka tidak berhasil membunuh aku, maka mereka akan mengambil keluargaku dan memaksa aku untuk menyerah.” Anak perempuannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ayah. Aku adalah anak Ayah. Bukankah Ayah pernah serba sedikit memberi petunjuk, bagaimana aku harus membela diri?” “Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan anak-anakmu dan ibumu?” “Biarlah ibu membawa anak-anak bersembunyi di rumah Paman di ujung padukuhan. Aku akan berada di rumah ini bersama Ayah. Kecuali jika Ayah juga ingin menghindari mereka. Aku akan menyertai Ayah.” “Yang kita hadapi adalah tidak hanya satu dua orang. Tetapi sepadepokan. Karena itu, sebaiknya kau antarkan ibumu ke rumah pamanmu. Biarlah aku menunggu di sini.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia berkata, “Kau tentu tidak dapat membayangkan, siapa yang akan kita hadapi. Mereka adalah orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang sedang terpengaruh oleh sifat-sifat hitam Ki Jatha Beri.” Anak perempuan Ki Resa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Siapapun mereka, Ayah. Aku tidak dapat membiarkan Ayah sendiri menghadapi mereka.” Ki Resa memang sangat bimbang. Ia tidak akan sampai hati menjerumuskan anak perempuannya ke dalam kesulitan. Bahkan mungkin hidupnya akan dihabisi dengan cara yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berbincang, terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Tidak hanya satu dua ekor kuda. Tetapi beberapa. “Mereka datang,” desis Ki Resa. Anak perempuannya pun segera bangkit sambil mendorong kedua anaknya, “Ibu, bawa mereka pergi lewat regol butulan.” Nyi Resa tidak ingin terlambat. Karena itu, maka tanpa bertanya lagi kedua orang cucunya telah dibawanya menyingkir. Anak Ki Resa itu pun dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Ketika ia keluar lagi, maka ia telah mengenakan pakaian seorang laki-laki. Dalam pada itu, beberapa ekor kuda yang berderap di jalan padukuhan itu langsung menuju ke rumah Ki Resa. Agaknya satu dua orang cantrik telah melihat rumahnya, sehingga ia telah membawa kawan-kawannya untuk menangkap Ki Resa. Ketika mereka berangkat, Ki Jatha Beri telah meneriakkan perintah, “Tangkap Perbatang dan Pinuji! Jika Resa tidak ada di rumahnya, maka bawa anak atau istrinya atau cucunya!” Karena orang-orang berkuda itu belum menemukan Perbatang dan Pinuji, maka mereka pun telah menuju ke rumah Ki Resa. Jika mereka tidak membawa seorang pun kembali ke padepokan, maka Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras tentu akan menjadi semakin marah. Beberapa saat kemudian, sebelas orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Resa. Jumlah yang tidak tanggung tanggung. Kelompok-kelompok yang dikirim untuk mencari Perbatang dan Pinuji, bahkan juga Ki Resa, harus meyakinkan mampu menangkap ketiga orang itu hidup-hidup. Sejenak kemudian halaman rumah Ki Resa itu telah penuh dengan kuda. Sementara itu di tangga rumahnya, Ki Resa dan anak perempuannya yang berpakaian seperti seorang laki-laki, berdiri tegak dengan pedang di lambung. “Ki Resa,” desis seorang cantrik. Ia termasuk seorang cantrik yang baru, tetapi sebelumnya ia adalah pengikut Ki Jatha Beri. Justru cantrik yang baru itulah yang memimpin sekelompok cantrik yang mendapat perintah untuk mencari Perbatang dan Pinuji. Tetapi kelompok itu bukan satu-satunya kelompok yang keluar dari padepokan. Tetapi ada tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang, dengan arah yang berbeda-beda. Sementara cantrik itu pun berkata selanjutnya, “Kami mendapat perintah untuk membawa Ki Resa ke padepokan.” “Kenapa?” bertanya Ki Resa. “Bertanyalah kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri.” “Jika kalian ingin membawa aku, maka kalian harus dapat mengatakan apa keperluannya. Aku sangat menghargai waktuku.” “Kau tidak usah banyak bicara, Ki Resa. Kau harus menyerahkan kedua tanganmu. Kami akan mengikatnya dan membawamu menghadap Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri.” “Jangan berkata begitu Ki Sanak,” jawab Ki Resa, “aku tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu.” “Jangan banyak bicara! Kami masih harus mencari Perbatang dan Pinuji,” berkata cantrik itu. Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa dengan Perbatang dan Pinuji?” “Keduanya harus ditangkap. Mereka telah membunuh saudara-saudara kami. Mereka harus menjalani hukuman mati.” “Dengan demikian Perbatang dan Pinuji itu jelas bersalah. Tetapi apakah aku juga bersalah?” “Cukup!” bentak cantrik itu, “Menyerahlah!” Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku lebih senang mati di sini daripada mati di padepokan kalian. Apalagi mati di bunuh oleh Ki Jatha Beri, orang yang tidak dapat menempatkan diri. Bukankah ia berada di padepokan Kiai Timbang Laras? Tetapi seakan-akan Ki Jatha Beri-lah yang berkuasa. Tetapi menurut pendapatku, Kiai Timbang Laras juga salah. Ia terlalu lemah menghadapi sikap Ki Jatha Beri. Seharusnya Kiai Timbang Laras memberikan perlindungan kepada Perbatang dan Pinuji.” “Cukup!” bentak cantrik itu, “Kau tidak usah mengigau Ki Resa. Sekarang, serahkan tanganmu!” Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba Ki Resa pun berkata, “Baiklah. Marilah. Jika kalian memang ingin mengikat aku, ikatlah. Jumlah kalian memang terlalu banyak untuk dilawan..” Cantrik itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengira bahwa begitu mudahnya Ki Resa menyerah. Sementara itu anak perempuan Ki Resa yang berpakaian laki-laki itu menjadi tegang. Tetapi ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia menduga bahwa ayahnya tidak benar-benar akan menyerah. Dalam pada itu, dengan isyarat cantrik yang memimpin sekelompok kawan-kawannya itu memberi perintah kepada kedua orang kawannya. Dua orang cantrik yang sejak semula memang pengikut Ki Jatha Beri. Ki Resa sudah menduganya menilik ujud dan sikapnya. Tetapi ia masih meyakinkan dirinya, “Aku belum pernah melihat kalian berdua.” “Tutup mulutmu!” bentak salah seorang di antara kedua orang cantrik itu. Namun kemudian iapun berkata, “Aku orang baru.” “Apakah kalian berdua semula juga murid Ki Jatha Beri?” Dengan bangga cantrik itu menjawab, “Ya. Kami adalah murid-murid Ki Jatha Beri.” Ki Resa tidak bertanya lagi. Seorang dari kedua orang cantrik itu membawa seutas tali ijuk yang kuat untuk mengikat tangan Ki Resa. Sementara Ki Resa telah menjulurkan kedua belah tangannya. “Jangan terlalu keras,” berkata Ki Resa sambil tersenyum. Tanpa berpikir panjang, seorang di antara mereka telah memegang pergelangan tangan Ki Resa, sedang yang seorang lagi melingkarkan tali ijuk itu. Namun tiba-tiba kedua orang itu menjerit. Keduanya terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah. Demikian keduanya bangkit berdiri, tangan mereka sudah menjadi merah kehitam-hitaman, seakan-akan kedua tangan mereka telah terbakar. Beberapa orang cantrik yang masih berada di punggung kuda mereka itu pun terkejut. Ketika mereka menyadari apa yang terjadi, maka cantrik yang memimpin sekelompok orang yang akan menangkap Ki Resa itu berteriak, “Kau licik, Ki Resa! Curang dan tidak tahu diri! Kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu akan dapat membuatmu menjadi semakin sulit!” Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku sudah berada dalam kesulitan sejak semula. Karena itu, aku tidak akan menjadi cemas, bahwa aku akan menjadi semakin sulit.” “Sekarang menyerahlah! Jangan licik!” “Siapa yang licik?” sahut Ki Resa, “Apapun yang terjadi, aku sudah siap. Sudah aku katakan bahwa bagiku lebih baik mati di sini daripada mati di tangan Jatha Beri. Bukankah kalian tahu bahwa Ki Jatha Beri tidak lagi berjantung seperti kita? Jantung Ki Jatha Beri itu berbulu.” “Diam kau iblis!” geram cantrik yang menjadi pemimpin di antara mereka. Lalu tiba-tiba cantrik itu berteriak, “Kita akan menangkapnya hidup-hidup. Bunuh orang yang membantunya. Kita tidak memerlukan mereka.” Para cantrik itu pun segera berloncatan turun. Mereka menambatkan kuda-kuda mereka di halaman. Dua orang yang tangannya bagaikan terbakar itu telah bersiap pula melibatkan diri, meskipun perasaan sakit dan nyeri terasa menyengat-nyengat. Namun demikian, mereka masih dapat mempergunakan kaki mereka. Ki Resa pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Setidak-tidaknya masih ada delapan orang yang harus dilawannya, bersama anak perempuannya yang masih belum sepenuhnya dapat diandalkan. Jika Ki Resa kemudian menjadi cemas, bukannya karena dirinya sendiri. Tetapi justru karena anak perempuannya. Sejenak kemudian, para cantrik itu pun mulai menebar. Mereka mengurung Ki Resa agar tidak sempat melarikan diri. Namun para cantrik itu pun menyadari bahwa Ki Resa adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun jumlah para cantrik itu terlalu banyak. Dengan senjata teracu mereka telah bersiap untuk meloncat menyerang dari beberapa arah. Dua di antara para cantrik itu mengarahkan perhatian mereka kepada anak Ki Resa yang berpakaian seperti laki-laki itu. Tetapi tidak seorang pun di antara para cantrik itu yang mengetahui bahwa anak Ki Resa itu seorang perempuan. Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah siap untuk bertempur, tiba-tiba saja mereka terkejut. Tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berkata lantang, “Jadi, inikah para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras?” Semua orang yang ada di halaman ini berpaling. Yang berdiri di regol halaman rumah Ki Resa itu adalah Perbatang dan Pinuji. Cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Kebetulan sekali, Perbatang dan Pinuji.” “Kenapa kebetulan?” bertanya Pinuji. “Kami mendapat tugas untuk menangkap kalian hidup-hidup, bersama Ki Resa.” Tetapi Pinuji tertawa. Katanya, “Untuk menangkap Ki Resa sendiri saja, belum tentu kalian mampu. Apalagi bersama kami berdua, dan barangkali ada seorang yang lain yang akan berpihak kepada Ki Resa.” “Setan kau berdua! Jangan mencoba melawan kami, jika kalian tidak ingin nasib kalian menjadi semakin buruk.” “Apa pedulimu dengan nasib kami? Kami juga tidak peduli akan nasib kalian. Biarlah kalian semuanya akan mati di sini.” Cantrik yang memimpin kelompok itu pun kemudian berteriak memberikan perintah, “Tangkap semuanya hidup-hidup! Biarlah Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras memberikan hukuman bagi mereka karena pengkhianatan mereka.” Perbatang tertawa pula. Katanya, “Pertempuran yang menarik. Agaknya kami-lah yang akan membunuh kalian. Kalian agaknya mendapat perintah untuk menangkap kami hidup-hidup. Karena itu, kami tidak akan takut mati dalam pertempuran ini. Tetapi sebaliknya kami dapat membunuh kalian sesuka hati kami.” “Licik kau! Tetapi kau tidak akan lepas dari tanganku.” Perbatang dan Pinuji tertawa pula berkepanjangan. Sementara Ki Resa menyahut, “Aku juga menjadi kasihan kepada para cantrik ini. Mereka tidak boleh membunuh, tetapi mereka boleh dibunuh.” Pemimpin dari para cantrik itu pun segera berteriak, “Cepat, tangkap mereka! Jangan sampai lepas!” Sementara itu Perbatang pun berteriak pula, “Maaf, Ki Resa! Kami akan ikut dalam permainan yang nampaknya akan sangat menarik ini!” “Silakan,” jawab Ki Resa, “bukankah mereka selain mencari aku, juga mencari kalian berdua?” Perbatang dan Pinuji pun kemudian telah mengambil jarak. Mereka pun segera bersiap dengan senjata di tangan. Mereka tidak mau ditangkap hidup-hidup oleh orang-orang yang akan dapat membawa mereka ke dalam satu malapetaka yang sangat sulit. Para cantrik itu pun mulai menyerang. Bahkan cantrik yang tangannya telah terbakar itu pun ikut pula. Mereka mencoba untuk mempergunakan kaki mereka atau tubuh mereka untuk menghalangi orang-orang buruan itu melarikan diri. Tetapi tiga dari antara para cantrik itu nampak ragu-ragu. Mereka adalah para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan mereka menjadi demikian tertekan sehingga mereka tidak segera dapat mengambil sikap. Rasa-rasanya sulit bagi mereka untuk bertempur melawan Perbatang dan Pinuji, yang sudah sejak lama berkumpul dalam satu padepokan. Sementara para cantrik yang lain itu adalah orang-orang baru, yang justru ingin menunjukkan kekuasaan mereka. Perbatang dan Pinuji melihat keragu-raguan mereka. Meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi keduanya tidak dengan serta-merta menyerang mereka pula. Dengan demikian yang langsung bertempur dengan bersungguh-sungguh adalah delapan orang yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri, sementara dua di antara mereka sudah tidak banyak berdaya. Karena itu, pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Bahkan anak perempuan Ki Resa pun menunjukkan kemampuannya pula. Tanpa mengucapkan sapatah kata pun, anak Ki Resa itu berhasil mendesak seorang lawannya. Seorang cantrik yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Betapapun cantrik itu menyerangnya dengan keras dan kasar, namun sulit baginya untuk mengalahkan anak Ki Resa itu, Sementara itu Ki Resa dengan cepat pula telah melumpuhkan seorang di antara para cantrik itu. Bahkan kemudian menyusul seorang lagi. Keduanya terkapar di halaman tanpa dapat bergerak lagi. Pemimpin para cantrik yang melihat ketiga orang cantrik Kiai Timbang Laras itu ragu-ragu telah berteriak, “Kalian juga akan berkhianat?” Ketiga orang cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka tidak segera terjun ke medan pertempuran. Justru karena itu, maka seorang demi seorang cantrik lainnya itu pun berjatuhan. Luka yang menganga di tubuh mereka telah mengalirkan darah yang merah segar. Dalam pada itu, pemimpin dari para cantrik itu tidak lagi melihat kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Karena itu, ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dengan orang-orangnya yang tersisa. Namun ia masih sempat berteriak kepada para cantrik yang ragu-ragu, “Aku akan melaporkan pengkhianatanmu ini!” Para cantrik itu tidak menjawab. Mereka masih tetap ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Sementara itu, para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu sudah semakin tidak berdaya Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu masih berlangsung, sementara cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu sudah mengambil keputusan untuk meninggalkah arena pertempuran, terdengar derap kaki kuda mendekati halaman rumah Ki Resa itu. Dengan demikian maka pertempuran yang berlangsung di halaman itu seakan-akan telah terhenti. Ki Resa pun menjadi berdebar-debar. Yang memasuki halaman rumahnya adalah sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang sebagian besar di antara mereka adalah para pengikut Ki Jatha Beri. Kedatangan mereka telah membesarkan hati para cantrik yang masih mampu bertahan. Bahkan cantrik yang memimpin kawan-kawannya yang datang lebih dahulu itu pun berteriak, “Bagus! Sekarang saatnya kita menyeret ketiga orang itu di belakang kaki kuda kita. Kita akan mengikat leher mereka dan menariknya di belakang kuda kita.” Sepuluh orang cantrik telah memasuki halaman rumah itu. Dua di antara mereka adalah cantrik yang memang sudah lama berada di padepokan Kiai Timbang Laras. “Apa yang terjadi di sini?” bertanya cantrik yang memimpin kelompok kedua itu. “Pengkhianatan,” jawab pemimpin dari sekelompok pertama. “Untunglah kami datang. Hampir saja kami mengambil arah lain dari perburuan kami. Tetapi kami ingin singgah dan melihat rumah orang yang bernama Resa itu.” “Kita tidak saja menangkap Resa, Perbatang dan Pinuji. Tiga orang cantrik yang bersamaku itu juga berkhianat.” “Mereka tidak akan kita tangkap hidup-hidup. Kita ikat kakinya dan kita akan menyeretnya di belakang kuda kita yang akan kita pacu dengan cepat.” Namun tiba-tiba saja Perbatang itu tertawa. Katanya, “Apakah kalian tahu siapakah yang dimaksud dengan pengkhianat?” “Persetan!” geram cantrik yang memimpin kelompok pertama, “Kita sudah kehilangan banyak waktu.” “Cepat! Kita selesaikan mereka! Kita tangkap Resa, Perbatang dan Pinuji hidup-hidup,” sahut cantrik yang memimpin kelompok kedua, “tetapi itu bukan berarti kalian harus membiarkan kepala kalian dibelah sekedar untuk membiarkan mereka hidup.” Ki Resa-lah yang tertawa. Katanya, “Nah, cantrik yang ini nampaknya lebih cerdik.” Cantrik yang memimpin kelompok pertama berteriak pula, “Persetan kau, Resa! Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.” Sejenak kemudian, para cantrik itu pun sudah menghambur mempersiapkan diri mereka masing-masing. Mereka pun sudah memegang senjata di tangan mereka pula. Dengan garangnya mereka mengacukan senjata mereka. Namun tiga orang cantrik murid Kiai Timbang Laras yang datang lebih dahulu masih juga ragu-ragu. Dua orang cantrik Kiai Timbang Laras yang datang kemudian, yang sudah bersiap untuk bertempur pula, telah tertegun melihat sikap saudara-saudara mereka. Apalagi ketika mereka melihat Perbatang dan Pinuji. Dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang cantrik dari ketiga orang yang datang bersama kelompok yang terdahulu itu berteriak, “Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji, aku berdiri di pihakmu!” “Setan kau! Pengkhianat!” teriak cantrik yang memimpin kelompok itu, “Aku cincang kau sampai lumat!” Belum lagi gema suaranya lenyap, cantrik padepokan Kiai Timbang Laras yang datang kemudian itu pun berteriak juga, “Aku juga berdiri di pihak Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji!” “Gila!” cantrik yang memimpin kelompok yang kedua itu berteriak marah, “Kalian akan dihukum picis.” Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Bahkan mereka pun segera mempersiapkan senjata mereka dan siap untuk terlibat dalam pertempuran itu. Sejenak kemudian pertempuran pun terjadi dengan garangnya. Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras namun yang mengalir dari sumber yang berbeda itu, telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para cantrik yang merasa lebih lama berada di padepokan itu, merasa bahwa orang-orang baru itu telah mendesak mereka dengan cara yang licik. Bukan karena mereka telah menunjukkan kelebihan di bidang apapun, tetapi semata-mata karena mereka datang bersama Ki Jatha Beri. Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Ki Resa menjadi gempar. Mereka tahu bahwa di halaman rumah Ki Resa telah terjadi pertempuran. Tetapi mereka tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak berani melibatkan diri ke dalam pertempuran itu. Namun mereka juga mencemaskan nasib Ki Resa, yang menurut pengertian mereka telah diserang oleh orang-orang berkuda yang jumlahnya banyak sekali. Namun dalam pada itu, Ki Resa sendiri sama sekali tidak menjadi cemas. Ia bertempur tidak terlalu jauh dari anak perempuannya. Sementara itu di beberapa tempat yang terpisah, saudara-saudara seperguruan Perbatang dan Pinuji telah bertempur di pihaknya. Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka benar-benar merasa dikhianati oleh murid-murid Kiai Timbang Laras. Sementara itu para murid kiai timbang Laras itu pun tidak sempat memikirkan apa yang akan mereka lakukan kemudian, setelah mereka menentang perintah guru dan sekaligus pemimpin padepokannya itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Para pengikut Ki Jatha beri jumlahnya memang lebih banyak. Tetapi lawan mereka, terutama Perbatang dan Pinuji, memiliki banyak kelebihan dari para pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur dengan keras dan kasar itu. Namun agaknya kedua belah pihak telah dibakar oleh kemarahan dan bahkan dendam. Perbatang dan Pinuji merasa tersisih dari padepokan yang telah dihuninya bertahun-tahun. Bahkan ketika Ki Jatha Beri berniat menghukum mati dengan cara yang paling tidak terhormat, Kiai Timbang Laras, gurunya dan bahkan pemimpinnya, sekali tidak memberinya perlindungan. Karena itu, dendamnya kepada Ki Jatha Beri dan orang-orangnya bagaikan membakar ubun-ubun. Sementara itu, para cantrik yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri pun menjadi dendam pula, karena mereka merasa dikhianati. Para cantrik yang pergi bersama mereka itu seakan-akan telah menusuk mereka dari belakang. Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin keras. Kedua belah pihak benar-benar bertempur antara hidup dan mati. Kedua belah pihak tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berusaha membunuh lawannya sebanyak-banyaknya. Semakin banyak mereka membunuh, maka mereka akan menjadi semakin banyak mendapat kepuasan. Namun ternyata Ki Resa adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka setiap kali cantrik yang berada di sekitarnya pun telah terlempar beberapa langkah surut. Terbanting di tanah atau jatuh terjerembab. Namun kemudian lawan-lawan Ki Resa menjadi semakin parah lagi. Ki Resa terkejut ketika ia melihat anak perempuannya itu meloncat jauh untuk mengambil jarak. Bahkan kemudian jatuh berguling beberapa kali. Ketika perempuan itu bangkit maka lengannya telah terluka. Darah mulai mengalir dari lukanya itu. “Kenapa kau, he?” bertanya Ki Resa dengan cemas. Anaknya tidak menjawab. Ia tidak ingin diketahui bahwa ia adalah seorang perempuan, meskipun nampaknya lawannya mulai curiga dengan sikapnya. Namun dalam pada itu, kecemasan Ki Resa tentang anaknya, akibatnya menjadi sangat buruk bagi para pengikut Ki Jatha Beri. Ki Resa benar-benar menjadi marah bahwa anaknya telah terluka, sehingga darah mulai membasahi bajunya. Apalagi ketika kemudian melawan dua orang, anaknya itu mulai terdesak. Bahkan telah tersudut dalam bahaya. Karena itu, maka Ki Resa itu pun telah menghentakkan ilmunya. Dalam saat yang terhitung singkat, kedua orang yang bertempur melawan anaknya itu telah dilemparkannya dari arena. Keduanya terpelanting jatuh dan tidak bangkit kembali. Demikian pula Perbatang dan Pinuji yang mendendam kepada para pengikut Ki Jatha Beri. Mereka tidak pernah mempertimbangkan untuk mengampuni lawan-lawannya. Karena itu, maka seorang demi seorang para pengikut Ki Jatha Beri itu jatuh tersungkur. Para murid Kiai Timbang Laras memang tidak ingin berbuat tanggung-tanggung. Senjata mereka tidak sekedar menggores lambung atau mengoyak bahu lawannya. Tetapi senjata-senjata mereka telah membelah perut lawannya dan menukik menghunjam jantung. Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu menyadari bahwa mereka tidak mempunyai harapan lagi. Lawan mereka yang jumlahnya lebih sedikit itu ternyata mampu mengalahkan mereka. Terutama karena di antara mereka terdapat Ki Resa, Perbatang dan Pinuji. Pada saat-saat terakhir, kedua orang cantrik yang memimpin kedua kelompok kawan-kawannya memburu Perbatang, Pinuji dan Ki Resa itu tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, mereka pun telah memutuskan untuk menghindar dari pertempuran. Apalagi setelah sebagian besar kawan-kawannya terkapar mati di halaman rumah Ki Resa itu. Kedua orang itu pun akhirnya saling memberikan isyarat yang hanya mereka ketahui di antara mereka saja. Bahkan kawan-kawan mereka tidak mengetahui isyarat itu. Namun ketika kedua orang itu dengan tangkas meloncat keluar dari arena, maka Perbatang dan Pinuji yang mencurigai sikap keduanya dengan cepat telah memotong jalan mereka. “Jangan lari Ki Sanak!” berkata Perbatang, “Kau sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Karena itu kalian tentu termasuk orang-orang terpilih, sehingga kalian tentu memiliki kelebihan dari para cantrik yang lain, termasuk kami berdua.” “Persetan!” geram salah seorang dari mereka, “Apa maumu?” “Aku hanya ingin memperingatkanmu. Tidak sepantasnya para pemimpin melarikan diri dan membiarkan anak buahnya mati terbakar panasnya api pertempuran.” “Persetan dengan igauanmu!” geram cantrik itu sambil menyerang Perbatang. Tetapi Perbatang telah benar-benar bersiap menghadapinya. Karena itu, ia pun segera bergeser memiringkan tubuhnya. Serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun ketika cantrik itu bersiap untuk menyerangnya kembali, justru Perbatang-lah yang telah meloncat mendahuluinya. Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak, sehingga serangan Perbatang pun tidak mengenai sasarannya. Sementara itu, Pinuji telah bertempur dengan cantrik yang memimpin kelompok yang lain. Pinuji yang bergerak dengan cepat dan tangkas itu memaksa lawannya untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi sulit bagi kedua cantrik itu untuk mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Dengan demikian, keadaan kedua orang cantrik itu pun menjadi semakin sulit Sementara itu, kawan-kawannya menjadi semakin menyusut. Tidak seorang pun di antara para cantirk itu yang dapat lolos. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang terkapar di halaman rumah Ki Resa itu masih hidup. Tubuh-tubuh yang terbujur lintang itu sama sekali tidak lagi ada yang bernafas. Kedua orang cantrik itu melihat keadaan kawan-kawannya dengan jantung yang berdebaran. Tetapi mereka pun menyadari, apa yang akan terjadi atas diri mereka. Namun seorang di antara para cantrik itu berkata, “Jangan bangga dengan kemenangan kecilmu. Besok, kalian akan mendapat hukuman yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya.” “Tidak akan ada orang yang tahu, apa yang terjadi,” berkata Perbatang. “Ki Jatha Beri mempunyai beribu telinga dan beribu pasang mata.” “Tetapi Ki Jatha Beri tidak mampu mencari kami berdua bersama Ki Resa.” “Sekarang belum. Tetapi pada saatnya pasti.” Perbatang tertawa. Katanya, “Apapun yang terjadi atas diri kami, kau sudah tidak akan melihatnya lagi, karena sebentar lagi kau akan mati. Kemudian kami semua akan bersembunyi di padepokan Kiai Warangka. He, dengar! Camkan ini! Tetapi kalian tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri atau kepada Kiai Timbang laras.” “Persetan kau!” geram cantrik itu. Perbatang tertawa berkepanjangan sambil bertempur dengan garangnya. Sebenarnyalah bahwa Perbatang dan Pinuji telah mendesak kedua lawannya sehingga mereka kehilangan kesempatan sama sekali. Kedua cantrik itu pun menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan pertempuran. Mereka pun tidak akan dapat lolos pula dari tangan Perbatang dan Pinuji. Namun mereka tidak akan menyerah, karena mereka menyadari bahwa menyerah tidak akan ada gunanya. Dengan demikian, dengan tanpa harapan kedua orang cantrik itu bertempur terus. Saat-saat terakhir itu pun akhirnya datang pula. Pinuji memang sudah tidak sabar lagi. Dengan garangnya, ia menyerang lawannya dengan putaran pedangnya yang cepat Lawannya masih berusaha untuk melawan sejauh dapat dilakukan. Tetapi kesempatannya menjadi semakin kecil. Orang-orang yang lain ternyata tidak mencampuri pertempuran itu. Para cantrik murid-murid Kiai Timbang Laras, Ki Resa dan anak perempuannya, sama sekali tidak ikut melibatkan diri. Mereka memang membiarkan Perbatang dan Pinuji bertempur seorang melawan seorang dengan kedua cantrik itu. Orang-orang yang berdiri di halaman itu menahan nafasnya ketika mereka mendengar desah tertahan. Pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur melawan Pinuji itu terdorong beberapa langkah surut. Tangan kirinya memegangi lambungnya. Sementara darah dengan derasnya mengucur dari sela-sela jari-jarinya. Pinuji tidak membiarkan lawannya itu mengambil jarak. Ketika cantrik itu meloncat menjauh, Pinuji telah melenting memburunya. Ujung pedangnya terjulur lurus menggapai dadanya. Dengan satu hentakan yang kuat, Pinuji telah menekan pedang itu, sehingga ujungnya menghujam sampai ke jantung. Orang itu berteriak. Bukan karena kesakitan. Tetapi karena kemarahan, kebencian dan dendam yang bergejolak di dalam dadanya. Alangkah sakitnya, ketika ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak akan mampu membalaskan dendamnya itu. Sejenak kemudian suaranya itu pun lenyap ditelan gemeresiknya suara angin di dedaunan. Angin yang basah tiba-tiba bertiup kencang. Di langit mendung mengambang hanyut ke utara. Pinuji telah kehilangan lawannya. Cantrik itu mati terkapar di halaman sebagaimana kawan-kawannya. Namun cantrik yang bertempur melawan Perbatang pun tidak mempunyai kesempatan lagi. Perbatang memang ingin menghabisi lawannya. Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang akan memberikan laporan kepada Ki Jatha Beri tentang peristiwa yang telah terjadi di halaman rumah Ki Resa itu. Sejenak kemudian, cantrik itu pun telah terlempar pula. Ayunan senjata Perbatang yang menyilang telah mengoyak dada lawannya, sehingga luka telah menganga. Cantrik itu pun terbanting jatuh. Ia hanya sempat menggeliat dengan berdesah. Namun kemudian, tubuhnya pun menjadi diam. Dengan demikian, pertempuran pun benar-benar telah berhenti. Langit menjadi semakin muram. Mendung menjadi semakin tebal menggantung di langit. Sejenak kemudian, titik-titik hujan pun mulai jatuh. Beberapa orang tetangga Ki Resa masih saja bertanya-tanya, apa yang terjadi. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang memberanikan diri untuk datang dan memasuki halaman itu. Sejenak Ki Resa dan para murid Kiai Timbang Laras itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mengubur orang-orang yang terbunuh itu di kebun belakang. Jauh di bawah rumpun bambu yang lebat. Tempat yang jarang sekali disentuh oleh keluarga Ki Resa sendiri. Namun anak perempuan Ki Resa sempat berbisik di telinga ayahnya, “Bagaimana jika ibu mengetahuinya?” “Pada suatu saat, kita akan memindahkannya,” jawab Ki Resa, “kita akan menguburkannya di kuburan. Namun tidak sekarang.” Anak perempuannya mengangguk-angguk. Demikianlah, di bawah hujan yang akhirnya bagikan tercurah dari langit, Ki Resa, Perbatang, Pinuji dan para cantrik murid Kiai Timbang Laras itu menggali lubang, mengusung sosok tubuh orang-orang yang telah terbunuh itu ke kebun yang masih merupakan hutan bambu di belakang. Mereka telah menguburkan tubuh-tubuh itu di antara rumpun-rumpun bambu. Hujan yang lebat itu seakan-akan telah menghapus segala jejak dari pertempuran yang telah terjadi. Tetangga-tetangga Ki Resa pun harus menunggu hujan menjadi reda untuk datang dan bertanya, apa yang telah terjadi di halaman rumah itu. Namun kemudian para cantrik Kiai Timbang Laras itu harus menunggu hujan menjadi terang dengan pakaian basah kuyup. Mereka duduk di serambi sambil berbincang apa yang akan mereka lakukan kemudian. Pada suatu saat Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras akan dapat mendengar apa yang telah terjadi. meskipun mereka sudah berusaha untuk menghapuskan segala jejak. Namun Ki Resa-lah yang kemudian berkata, “Aku anjurkan kepada kalian agar kalian datang dan mohon perlindungan kepada Kiai Warangka. Aku yakin bahwa Kiai Warangka tidak akan berkeberatan sama sekali. Meskipun demikian, harus dipikirkan kemungkinan bahwa kehadiran kalian akan memperburuk hubungan antara Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras.” Perbatang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ki Resa. Tetapi kita pun harus berterus terang tentang kemungkinan bahwa hubungan kedua orang saudara seperguruan itu akan bertambah buruk.” Pinuji-lah yang kemudian berkata, “Tetapi kita tidak mempunyai pilihan lain. Mudah-mudahan Kiai Warangka tidak berkeberatan memberi perlindungan kepada kita, karena Kiai Timbang Laras sudah tidak lagi dapat kita harapkan.” “Kalian memang harus mencoba,” berkata Ki Resa, “tetapi aku percaya bahwa Kiai Warangka akan dapat memberikan perlindungan kepada kalian.” Tetapi Perbatang pun kemudian bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Ki Resa sendiri?” Ki Resa tertawa. Katanya, “Jangan pikirkan aku dan anakku. Kami dapat melindungi diri kami sendiri. Jika perlu, kami dapat mengungsi ke tempat yang tidak akan dapat ditemukan oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Bahkan jika perlu kami juga akan menghubungi Kiai Warangka. Bukankah di padepokan Kiai Warangka ada seorang yang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan’Menoreh? Jika aku terjepit karena diburu oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras, aku akan dapat lari ke Tanah Perdikan Menoreh.” Perbatang dan Pinuji mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang cantrik bertanya, “Bagaimana dengan kuda-kuda itu Kakang Perbatang? Perbatang mengerutkan dahinya. Ada banyak kuda di halaman. Kuda-kuda itu tentu akan menarik perhatian banyak orang. Namun tiba-tiba saja Perbatang itu pun berkata, “Mumpung hujan lebat. Ki Resa, apakah Ki Resa sependapat jika kuda-kuda itu aku bawa ke padepokan Kiai Warangka?” Ki Resa mengangguk sambil menjawab, “Aku kira itu lebih baik. Di sana kuda-kuda itu akan terpelihara.” “Jika demikian, mumpung hujan masih turun,” berkata Pinuji, “bahkan nampaknya telah menjadi deras lagi.” Akhirnya mereka pun sepakat. Justru pada saat hujan lebat, tidak akan banyak orang yang melihat apa yang telah merela lakukan. Demikianlah, sejenak kemudian Perbatang, Pinuji dan para cantrik pun telah bersiap untuk membawa kuda-kuda yang berada di halaman rumah itu ke padepokan Kiai Warangka. Sementara Ki Resa berniat untuk melindungi diri sendiri bersama keluarganya. Perbatang, Pinuji dan para cantrik itu pun kemudian telah membawa kuda-kuda itu menembus hujan yang lebat. Memang tidak banyak orang yang sempat melihat, karena mereka telah berlindung di dalam rumah mereka masing-masing. Perjalanan ke padepokan Kiai Warangka termasuk perjalanan yang agak panjang. Sementara itu, cuaca menjadi semakin buram. Meskipun malam belum turun, tetapi suasananya sudah melampaui suasana senja. Hari itu, Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras menunggu kedatangan orang-orang yang ditugaskan untuk memburu Perbatang dan Pinuji, bahkan Ki Resa, dengan jantung yang berdebaran. Ketika matahari mulai turun dan kemudian bersembunyi di balik mendung, mereka menjadi semakin gelisah. Sekelompok cantrik yang juga mendapat perintah untuk memburu Perbatang dan Pinuji sudah kembali ke padepokan. Mereka dengan jantung yang berdenyut semakin cepat oleh kecemasan, telah melaporkan bahwa mereka tidak berhasil menemukan Perbatang dan Pinuji. Mereka juga tidak bertemu dengan ke Resa. “Kalian tidak pergi ke rumah Ki Resa?” “Belum seorang pun di antara kami yang pernah melihat rumah Ki Resa,” jawab cantrik yang memimpin kelompok itu, yang kebetulan juga pengikut Ki Jatha Beri. Ki Jatha Beri hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Kiai Timbang Laras pun bertanya, “Di mana kedua kelompok cantrik yang lain yang keluar padepokan bersama dengan kalian?” “Kami telah pergi memencar,” jawab cantrik itu, “kami mengambil arah yang berbeda-beda.” Ki Timbang Laras pun kemudian berkata, “Mudah-mudahan salah satu kelompok di antara mereka berhasil, meskipun seandainya hanya membawa Ki Resa saja.” “Tetapi yang paling bersalah adalah Perbatang dan Pinuji,” geram Ki Jatha Beri, “mereka telah membunuh saudara mereka sendiri.” Ya,” Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk, “mereka memang harus dihukum berat.” “Hukuman mati dengan caraku. Aku yang akan melaksanakan hukuman itu sendiri.” Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk mengiakan. Namun demikian mereka menjadi cemas. Langit menjadi semakin gelap oleh mendung yang tebal. Meskipun di padepokan Kiai Timbang Laras hujan belum turun, tetapi di sisi lain nampaknya air tercurah dari langit. Bahkan sampai malam turun, kedua kelompok cantrik yang lain masih belum kembali. Agaknya mereka benar-benar ingin kembali ke padepokan sambil membawa buruan mereka. “Mereka takut pulang sebelum mereka berhasil, meskipun hanya seorang saja di antara mereka. Atau setidak-tidaknya keluarga Ki Resa, yang dapat dipergunakan untuk memancing Ki Resa itu sendiri agar datang ke padepokan ini,” berkata Kiai Timbang Laras. Ki Jatha Beri mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka berhasil. Betapapun kecil hasilnya.” Tetapi sampai kesabaran mereka sampai ke batas, dua kelompok para cantrik yang telah dikirim untuk memburu Perbatang dan Pinuji yang berhasil lolos dari bilik tahanan mereka, serta Ki Resa, tidak juga kembali Dalam pada itu, kedatangan Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras memang telah mengejutkan Kiai Warangka serta Ki Jayaraga, yang untuk sementara masih berada di padepokan Kiai Warangka. Ketika kemudian Kiai Warangka mendengar dari Perbatang dan Pinuji apa yang telah terjadi di padepokan Kiai Timbang Laras, maka Kiai Warangka pun kemudian berdesis, “Aku sudah mengira, bahwa ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi di padepokan Timbang Laras.” Ki Serat Waja menarik nafas panjang. Katanya, “Sayang sekali. Kenapa Kakang Timbang Laras begitu mudahnya terpengaruh oleh Ki Jatha Beri. Apa yang telah terjadi sebenarnya dengan Kakang Timbang Laras?” “Nampaknya memang tidak ada apa-apa yang terjadi,” jawab Perbatang, “hanya setiap kali Kiai Timbang Laras pergi meninggalkan padepokan untuk satu dua hari bersama Ki Jatha Beri. Namun kemudian kembali lagi. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Segalanya berjalan seperti biasanya. Namun perubahan sikap dan sifat Kiai Timbang Laras-lah yang kemudian telah menggelisahkan kami. Nampaknya pengaruh Ki Jatha Beri perlahan-lahan telah menyusup dan bahkan kemudian mencengkam jantung Kiai Timbang Laras tanpa disadari.” Kiai Warangka mendengarkan keterangan Perbatang dan Pinuji dengan seksama. Dengan nada berat Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan memberikan perlindungan kepada kalian di sini. Tetapi jika kelak Timbang Laras datang untuk mengambil kuda-kudanya, maka biarlah kuda-kuda itu dibawanya.” “Tetapi bagaimana dengan kami?” bertanya Pinuji. “Kalian kami terima sebagai keluarga kami Jika Timbang Laras tidak lagi dapat melindungi kalian, maka biarlah kami berusaha melindungi kalian.” “Terima kasih, Kiai,” berkata Pinuji dengan nada berat, “kami memang merasa seakan-akan anak ayam yang kehilangan induk. Karena itu, kami akan merasakan kehangatan perlindungan Kiai serta keluarga padepokan ini.” “Apakah Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri mengetahui bahwa kalian berada di sini sekarang?” bertanya Ki Jayaraga. “Agaknya sekarang belum. Tetapi pada suatu saat, agaknya mereka akan mengetahuinya pula,” jawab Perbatang. “Baiklah,” desis Kiai Warangka, “apapun yang akan terjadi, itu adalah akibat dari kesediaan kami melindungi kalian. Sebenarnya perlindungan kami terutama kami tujukan terhadap perlakuan Ki Jatha Beri. Orang itu tidak berhak untuk menghukum kalian. Sementara itu Timbang Laras telah kehilangan kepribadiannya. Bahkan Timbang Laras telah datang ke padepokan ini untuk mempertanyakan peti tembaga itu.” Perbatang dan Pinuji serta para cantrik yang ikut bersama mereka merasa menjadi tenang karena kesediaan Kiai Warangka melindungi mereka. Karena dengan demikian, mereka tidak lagi merasa sebagai orang-orang liar yang tidak mempunyai tempat untuk hinggap, sedangkan burung di langit saja mempunyai sarang untuk tinggal.. “Nah, jika demikian, kalian harus mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Cobalah hidup dengan cara dan kebiasaan sebagaimana orang-orang padepokan ini. Selain itu kalian pun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu yang terjadi di sini. Meskipun sumber ilmu kalian sama dengan kami di sini, tetapi ada unsur-unsur yang arah perkembangannya berbeda dan masih harus disesuaikan,” berkata Kiai Warangka. “Terima kasih, Kiai. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Kami akan menyesuaikan dengan kehidupan di padepokan ini, dan kami akan mengerjakan tugas apapun yang dibebankan kepada kami.” Demikianlah, sejak hari itu beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras telah berada di padepokan Kiai Warangka. Mereka mencoba menyesuaikan diri dengan kesungguhan hati. Sementara para cantrik dari padepokan Kiai Warangka pun berusaha memberikan tempat dan kesempatan sebaik-baiknya kepada mereka. Sementara itu, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri harus menunggu tanpa akhir kedatangan kedua kelompok cantrik yang memburu Perbatang dan Pinuji. Sementara sebagian besar dari para cantrik itu adalah justru para pengikut Ki Jatha Beri, sehingga karena kemarahan Kiai Jatha Beri maka rasa-rasanya ubun-ubunnya telah terbakar. Namun orang-orangnya itu pun tidak dapat ditemukannya pula. Namun akhirnya Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras telah mengambil kesimpulan bahwa para cantrik agaknya telah dibinasakan oleh Ki Resa. “Ternyata Ki Resa tentu tidak sendiri,” berkata Ki Jatha Beri, “ia tentu mempunyai beberapa orang pengikut, atau mungkin murid-muridnya yang telah membantunya.” “Kita harus menyelidikinya,” desis Kiai Timbang Laras. “Tetapi kita harus berhati-hati. Ki Resa tidak boleh lepas dari tangan kita, sementara kita sadari bahwa Ki Resa adalah seorang berilmu tinggi,” geram Ki Jatha Beri. Tetapi Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak segera dapat menemukan Ki Resa yang hilang dari rumahnya. Bukan hanya Ki Resa sendiri, tetapi seluruh keluarganya. Demikian pula Perbatang dan Pinuji. Jejaknya sama sekali tidak tercium oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa keduanya justru berada di padepokan Kiai Warangka. Namun demikian, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak menghentikan usahanya untuk mendapatkan peti tembaga yang diduga disimpan oleh Kiai Warangka. Sehingga setelah Kiai Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras merasa tidak lagi dapat menemukan Ki Resa, Perbatang dan Pinuji, maka perhatian mereka kembali tertuju kepada peti tembaga itu. Dalam pada itu, di tanah Perdikan Menoreh, telah diselenggarakan penyambutan para pengawal yang kembali dari Mataram. Setelah mereka mendapat sambutan yang hangat di Kotaraja, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana juga para pengawal dari berbagai tempat, termasuk dari para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, telah kembali ke tempat masing-masing. Swandaru pun telah membawa pasukan pengawalnya kembali pulang, dengan kebanggaan bahwa mereka telah ikut serta memenangkan sebuah pertempuran yang besar di Pati. Namun sebelum berpisah dengan Agung Sedayu yang masih belum pulih kembali, ia sempat berpesan, “Kakang. Tidak jemu-jemunya aku menasihatkan agar Kakang bersedia menyediakan waktu sedikit di setiap hari untuk kepentingan Kakang pribadi. Jika Kakang hanya menekuni tugas-tugas Kakang, maka rasa-rasanya memang tidak akan pernah ada waktu luang. Tetapi sebagai seorang Lurah prajurit, maka Kakang memerlukan bekal yang lebih tinggi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Dalam tugas-tugas Kakang selanjutnya, Kakang seharusnya telah meningkatkan ilmu Kakang sampai ke puncak.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Adi Swandaru. Aku akan menyisihkan waktu untuk itu.” Swandaru tersenyum. Katanya, “Kakang akan lekas sembuh dan pulih kembali. Tetapi sayang, aku belum mempunyai kesempatan singgah. Mungkin dalam waktu dekat aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Kami menunggu kedatanganmu, Swandaru.” Ketika kemudian mereka berpisah, Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya dapat menahan diri. Sementara Agung Sedayu sendiri tidak pernah menyanggah pesan-pesan yang selalu diberikan oleh Swandaru. Sebenarnya Panembahan Senapati sendiri serta Ki Patih Mandaraka minta agar Agung Sedayu untuk sementara tetap berada di Mataram. Namun Agung Sedayu ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan pasukannya. Dalam pada itu, secara khusus Panembahan Senapati telah menemui Agung Sedayu yang masih lemah. Tanpa ada orang lain, Panembahan Senapati berkata kepada Agung Sedayu, “Kita pernah melakukan pengembaraan bersama, Agung Sedayu. Aku mengenalmu dengan baik dan kau mengenal aku dengan baik. Kita pernah mencoba mencari, menerawang sisi-sisi dari kehidupan. Kita pernah belajar membaca arti dari kediaman yang sepi, tetapi juga gejolak angin prahara yang bagaikan mengguncang perbukitan. Kita pernah duduk sambil bercanda dengan hangatnya perapian di saat-saat dingin mencengkam. Tetapi kita juga pernah berlaga dengan panasnya matahari yang membakar hutan-hutan di lereng pegunungan. Bahkan juga getar panasnya api yang terpancar dari berbagai macam ilmu yang tinggi. Kita juga pernah berendam dalam tenangnya air sendang yang bening, tetapi kita juga pernah hanyut dan berenang menentang arus banjir bandang. Bukan saja banjir bandang yang tumpah dari derasnya air hujan di lereng pegunungan yang gundul karena ulah kita, tetapi banjir bandang yang menderu dari dahsyatnya ilmu kanuragan.” Agung Sedayu yang masih lemah itu hanya mengangguk-angguk saja. bersambung ApiDi Bukit Menoreh ( 001~396) Skip to main content. Due to a planned power outage on Friday, 1/14, between 8am-1pm PST, some services
| Одጮ устሹдի ниշефθжωпс | Եс клаб |
|---|---|
| Յուвочխл τ ей | Оξα ռяኤաνοсриጱ ψ |
| Оракаյስζ уፎи | Քግλխпеξፒм αрεхо гиኇεцаጹ |
| А υկукθփ | Жузи ሞօ իжиδθцሷх |
| Εйιሳолерու исвωኦሹ | ԵՒթоዑυξо риռεц σևц |
| Асι рсቿго эኾич | Уզεзи ечጎջ խрсиճеሓαμո |
APIDI BUKIT MENOREH EPS 393 SIDANTI masih saja diam mematung, dengan tanpa memandanginya Pandan Wangi mengulangi, “Marilah Kakang. Bilikmu telah tersedia. Aku juga telah menyediakan pakaian danKisah47 Ronin. kecil di belakang kastil. Saat mendaki bukit, angin makin kencang dan dia merapatkan mantelnya lebih kencang lagi. Sambil menoleh ke belakang, dia bisa melihat menara-menara kastil yang samar-samar di kegelapan langit malam; di puncak bukit di depan-nya mulai terlihat sekumpulan kecil nisan. APIDI BUKIT MENOREH EPS 400 Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh sedang menceriterakannya kepada puterinya, Pandan Wangi, dan Paguhan yang kemudian menamakan dirinya Ki Tambak Wedi sedang PE1H.